NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Curhatan Hati

..."Anak yang kehilangan salah satu orang tuanya seolah kehilangan salah satu penyangga hidup. Seperti manusia yang kehilangan salah satu kakinya. Dia mungkin bisa hidup, tapi tidak sempurna."...

...\~ Claudia Daisy Berliana \~...

***

Adhan baru saja selesai menunaikan salat Subuh. Ia berniat kembali ke kamar Serena untuk memastikan, apakah gadis itu sudah bangun atau belum? Namun, saat hendak membuka pintu, matanya tanpa sengaja menangkap sosok Serena yang tengah khusyuk menunaikan salat dalam posisi duduk di atas ranjang, sesuai rukhsah bagi orang yang sedang sakit. Cahaya lembut dari lampu rumah sakit menyinari wajahnya yang teduh, sementara bibirnya bergerak lirih melantunkan doa, menciptakan ketenangan yang begitu mendalam.

Pemandangan itu menusuk relung hati Adhan. Ia terpaku, merasakan sesuatu yang menghangat di dadanya—perasaan asing yang selalu muncul setiap kali ia berada di dekat Serena. Getaran halus yang selalu menyusup tanpa izin ke dalam jiwanya, menciptakan perasaan aneh yang sulit dikendalikan. Sekali lagi, Serena menyeretnya dalam perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.

Ia akhirnya menghela napas panjang, berusaha meredam gejolak di hatinya.

Adhan sepenuhnya sadar, bahwa menginginkan seseorang yang hatinya telah dimiliki orang lain adalah hal yang keliru. Itu terlalu kejam, dan dia tidak ingin merebut kebahagiaan orang lain hanya karena keegoisannya semata. Jika memang takdir telah menentukan, maka jodoh tidak akan ke mana.

Tak ingin larut dalam perasaan yang begitu rumit, Adhan mengurungkan niatnya untuk masuk. Dia memilih untuk menutup pintu, berbalik dan pergi dari sana. Kali ini, tujuannya berubah—ia akan mencari sarapan untuk Serena dan dirinta. Setidaknya, dia ingin melakukan sesuatu yang berguna, meski Serena tidak akan pernah melihat ke arahnya.

Selama gadis itu baik-baik saja, itu sudah lebih dari cukup baginya. Karena tidak selamanya mencintai itu, harus memiliki sepenuhnya.

***

Di balik jendela yang berembun, Serena menatap langit yang perlahan cerah, bermandikan cahaya mentari pagi. Namun, kehangatan itu tak mampu mengusir rasa sepi yang kembali merayap masuk ke dalam hatinya, membuat suasana terasa lebih dingin dari biasanya.

Terdengar suara derit halus pintu yang terbuka, membuat lamunan Serena buyar seketika. Dia lantas menoleh ke arah datangnya suara itu, dan mendapati seseorang muncul di ambang pintu.

Sosok itu adalah Adhan, dia datang bersama dengan seorang wanita yang terlihat masih muda. Seseorang yang beberapa waktu lalu memperkenalkan dirinya sebagai Claudia, bibi Adhan.

Di tangannya, Caludia membawa sebuah keranjang berisi aneka buah segar yang tersusun rapi. Senyum hangat terukir di wajahnya yang cantik, memancarkan ketulusan. Melihat itu, Serena tak bisa menahan diri untuk ikut tersenyum, seolah kehangatan itu menular begitu saja.

"Serena, bagaimana kabarmu? Saya langsung datang ke sini waktu dengar kalau kamu sakit," ujar Claudia penuh perhatian. Raut wajah khawatirnya terpampang jelas, terukir di sana.

"Saya juga membawakan buah-buahan untukmu. Semoga kamu lekas sembuh, ya," sambungnya sambil menyerahkan keranjang buah tangan yang ia bawa khusus untuk Serena.

Serena tersenyum kecil, menerima perhatian yang ditunjukkan oleh Claudia dengan penuh syukur. Tak lupa, ia juga mengucapkan rasa terima kasihnya. "Terima kasih banyak, Mbak. Mbak sampai repot-repot membawa buah tangan untuk saya."

Claudia duduk di atas kursi tunggal di samping Serena, kemudian menatap gadis itu dengan lembut. "Nggak repot sama sekali kok."

Claudia tiba-tiba menoleh ke arah Adhan seolah memberi isyarat. Adhan yang mengerti mencari alasan undur diri. Barulah setelah itu, Claudia bisa berbincang lebih dalam dengan Serena.

"Maaf sebelumnya kalau saya terdengar lancang," ucap Claudia dengan hati-hati. "Tapi tolong, jangan marah pada Adhan, ya. Ini murni karena saya khawatir sama kamu. Kalau kamu butuh seseorang untuk bicara, kamu bisa datang pada saya, Serena. Kebetulan, pekerjaan saya adalah psikolog. Mungkin, saya bisa membantu kamu. Setidaknya, dengan membantu meringankan perasaanmu."

Claudia menatap Serena dengan lembut sebelum melanjutkan, "Saya dengar kamu tidak memberitahu keluargamu soal kondisi kesehatanmu. Boleh saya tahu, kenapa? Karena bagaimanapun juga, orang tuamu berhak tahu kalau anak mereka sedang sakit."

Serena terdiam. Pandangannya jatuh ke lantai, seolah mencari sesuatu di sana—sesuatu yang bisa menjelaskan kebisuan dan gemuruh perasaannya.

Melihat perubahan ekspresi gadis itu, Claudia tiba-tiba merasa tidak enak hati. Seakan baru saja menginjak ranjau yang tak seharusnya ia sentuh. Tapi, bukankah wajar jika ia bertanya demikian? Saat seseorang dirawat di rumah sakit, keluarga biasanya adalah pihak pertama yang dihubungi. Namun, sejak Serena dirawat, Adhan mengatakan bahwa tak ada satu pun anggota keluarganya yang datang. Itu membuat Claudia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi?

Sebelum Claudia bisa mencari kata-kata untuk mengalihkan suasana, bahunya menegang saat melihat Serena menitikkan air mata. Tangisan itu tanpa suara sama sekali, hanya mengalir deras, dan cukup sebagai simbol dari perasaan yang ia pendam selama ini.

"Serena, maaf kalau saya sudah melewati batas. Saya nggak bermaksud membuat kamu sedih," ujar Claudia, akhirnya tak ingin terlalu memaksa Serena untuk menceritakan apa yang sebenarnya sedang dialami oleh gadis itu. "Kalau kamu nggak mau cerita, nggak apa-apa. Sebagai gantinya, saya yang akan menjadi wali kamu selama kamu sakit. Kamu pasti merasa segan dengan Adhan, kan?"

Serena meneguk ludah dengan susah payah, kemudian menyeka air matanya yang terus mengalir.

"Enggak, Mbak. Saya paham kenapa Mbak bertanya seperti itu." Ia menarik napas panjang, suaranya terdengar getir. "Saya hanya ... saya hanya belum siap untuk bertemu dengan mereka."

Claudia hanya diam, mendengarkan.

"Sebenarnya ...." Serena menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah. "Saya … memutuskan untuk pergi … dari rumah setelah … setelah Ayah menikah lagi. Meski saya bilang …, saya baik-baik aja, saya menerima … keputusannya. Tapi …, hati kecil saya belum bisa menerimanya."

Claudia menatap Serena dengan penuh simpati. Dia baru menyadari di balik diamnya Serena selama ini, ternyata dia menyimpan begitu banyak luka dan trauma.

"Saya tahu …, Ayah berhak untuk bahagia setelah berkali-kali dikhianati oleh Ibu. Ibu sambung saya juga orang yang baik, dia memperlakukan saya dengan baik. Tapi tetap saja, rasanya begitu sulit untuk menerima kenyataan bahwa keluarga saya benar-benar sudah hancur."

Suaranya bergetar, seperti kaca yang hampir retak. Air mata yang tadi sempat berhenti kini kembali jatuh, lebih deras dari sebelumnya.

"Saya selalu bertanya-tanya pada diri saya sendiri ...." Serena menelan ludah, suaranya serak. "Sebenarnya kesalahan apa yang sudah saya perbuat? Apa saya ini anak yang jahat? Anak yang durhaka? Makanya Ibu terus berselingkuh dan pada akhirnya pergi meninggalkan saya?"

Tangis Serena semakin pecah. Bahunya bergetar. Kebencian, kemarah, dan perasaan kecewa yang selama ini menumpuk dalam dadanya meluap begitu saja, seperti badai yang porak-poranda.

Claudia, yang mendengar cerita itu, tidak dapat berkata-kata.

Sejujurnya, dia sedikit terkejut dengan cerita yang Serena bagikan. Gadis yang terlihat manis, tenang, dan ramah ini, ternyata menyimpan luka yang begitu dalam dan besar. Bahkan jika Claudia yang mengalami, ia tidak tahu apakah bisa melewatinya dengan kuat. Karena nyatanya, anak yang kehilangan salah satu orang tuanya seolah kehilangan salah satu penyangga hidup, seperti manusia yang kehilangan salah satu kakinya. Dia mungkin bisa hidup, tapi tidak sempurna.

Claudia menatap mata Serena yang dipenuhi air mata. Ia membiarkan keheningan sejenak menyelimuti mereka, memberi ruang bagi Serena untuk bernapas. Dengan lembut, Claudia mengusap punggung tangan Serena yang masih gemetar.

"Kamu tahu, Serena? Rasa sakit yang kamu rasakan itu wajar. Tidak ada yang salah jika kamu memilih pergi dan menutup diri dari segala hal yang membuatmu terluka. Kadang, hidup memberikan ujian yang terasa begitu tidak adil, seolah dunia sudah meninggalkan kita sendirian, terjebak dalam sesuatu yang tidak kita sukai. Tapi itu tidak berarti kamu pantas menanggung semua ini, apalagi menganggap dirimu anak yang jahat dan durhaka."

Mendengar nasihat itu, Serena merasa seperti menemukan oasis di tengah padang tandus—di tempat di mana hatinya selalu meronta karena dahaga akan kehangatan dan kepedulian.

Hidup yang Serena jalani terasa begitu berat. Dia selalu memendam semuanya sendiri, terperangkap dalam kesedihan yang tak bisa ia bagi dengan siapapun, bahkan dengan Brian sekali pun.

Bukan sekadar simpati yang Serena butuhkan, melainkan seseorang yang benar-benar memahaminya. Seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi, yang meyakinkannya bahwa ia adalah sosok yang berharga, dan dia tidaklah sendirian di dunia ini.

"Serena, kamu tidak bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat oleh orang tuamu," lanjut Claudia. "Perselingkuhan dan bahkan perpisahan mereka, itu bukan salahmu. Itu adalah pilihan mereka, dan apa pun alasan di baliknya, itu bukan karena kamu kurang berharga atau kurang baik. Kamu berhak merasa kecewa, marah, atau bahkan bingung. Luka yang kamu rasakan saat ini akan butuh waktu untuk sembuh. Jangan jadikan luka itu membuatmu hancur dan merasa tidak pantas untuk bahagia. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat, kamu adalah anak yang kuat, lebih dari yang kamu sadari. Mbak percaya, kamu akan melewatinya. Kalau kamu merasa kesulitan, maka datanglah pada Mbak. Mbak akan membantumu melewatinya."

Serena mengusap pipinya yang basah. "Saya ingin seperti itu. Saya ingin mengakui kalau itu bukan salah saya. Semua yang terjadi adalah pilihan mereka. Tapi, kenapa rasanya tetap menyakitkan?"

"Karena kamu peduli, Serena. Karena kamu mencintai keluargamu, dan kehilangan yang kamu rasakan itu nyata. Tidak apa-apa kalau kamu merasa sakit. Tapi ingatlah, sesudah hujan pasti ada pelangi. Sesudah malam yang gelap, matahari akan bersinar terang. Kamu bukan orang jahat, dan kamu berhak mendapatkan kebahagiaan."

Claudia menarik napas panjang sebelum melanjutkan. Ternyata, memberi nasihat untuk orang lain juga membutuhkan keteguhan hati. "Kamu nggak sendirian, Serena. Sekarang, bertambah satu orang lagi yang akan peduli padamu, yaitu Mbak. Mbak dengar, kamu sudah sudah punya tunangan? Kamu pasti sudah menghubungi tunanganmu, bukan?

Wajah Serena semakin muram. Ia menundukkan kepala, menatap jemarinya yang saling menggenggam erat.

"Saya ... saya sudah putus dengan tunangan saya, Mbak," kata Serena dengan lirih, suaranya nyaris tak terdengar.

Claudia menghela napas kasar. Ia merasa begitu bodoh karena terus mengatakan hal-hal yang justru membuat suasana semakin tidak nyaman.

"Saya minta maaf sekali lagi, Serena," ucapnya dengan tulus.

"Tidak apa-apa, Mbak. Terima kasih sudah mau mendengarkan curhatan saya. Sekarang, perasaan saya sedikit lebih baik," jawab Serena dengan senyum tipis. Ia segera mengalihkan pembicaraan. Tidak ada gunanya terus membahas Brian. Sudah cukup ia menjalani hidup sebagai wanita bodoh yang selalu memaklumi keegoisan kekasihnya—ah, mungkin lebih tepatnya mantan kekasih.

"Jadi, apa mungkin, kamu sakit karena mantanmu itu?" tebak Claudia, mengambil kesimpulan.

Serena tersentak. Ia bisa merasakan atmosfer di sekitarnya berubah seketika. Saat menoleh ke arah Claudia, wanita itu tengah memasang ekspresi kesal.

"Tidak juga, Mbak. Saya baik-baik saja. Tapi saya tidak mau membahas apa pun tentang hubungan saya yang gagal. Rasanya cukup memalukan," jawab Serena, setengah berbohong. Dia hanya tidak ingin mbahas tentang Brian lebih jauh. Karena semakin itu juga ia akan mengatakan hal buruk tentang Brian yang ia kenal selama ini. Apalagi dalam keadaan yang masih diliputi rasa kecewa dan marah.

Lagi pula, mengungkap keburukan orang lain bukanlah hal yang bijak, dan Serena tidak ingin melakukannya, meskipun sakitnya ini memang disebabkan oleh Brian.

Claudia menghela napas gusar, lalu menatap Serena dengan sorot mata penuh pertimbangan.

Sungguh, gadis ini memiliki hati yang begitu lembut. Pasti ia sangat mencintai mantan kekasihnya hingga bisa jatuh sakit seperti ini. Sebenarnya, apa yang telah dilakukan pria bodoh itu sampai membuat Serena terluka sedalam ini?

Sekarang Claudia mengerti, alasan Adhan langsung jatuh hati padanya, meski tahu Serena sudah punya pasangan. Gadis ini memiliki sesuatu yang menarik perhatian. Contoh sederhana, jika kebanyakan gadis lain akan menceritakan keburukan pasangannya setelah putus, Serena justru memilih untuk tetap bungkam. Jelas, bahwa dia tidak ingin menjelekkan siapa pun, bahkan seseorang yang telah melukai hatinya.

"Tapi ... bukankah ini jadi kesempatan bagus untuk Adhan mendekati Serena?' pikir Claudia.

Ya, meskipun terdengar sedikit kejam, Claudia tidak bisa menahan rasa lega atas berakhirnya hubungan Serena. Ia hanya berharap gadis itu bisa menemukan seseorang yang jauh lebih baik—seseorang yang bisa menjaganya, mungkin saja seseorang seperti keponakannya yang tampan. Siapa lagi kalau bukan Adhan?

"Serena." Claudia memanggil Serena dengan lembut. "Jangan terburu-buru. Pelan-pelan saja, oke? Semua orang punya waktunya sendiri untuk sembuh dari luka. Kadang, luka itu nggak sepenuhnya sembuh. Siapa tahu, kebahagiaan sedang menunggumu di tempat dan situasi yang nggak pernah kamu duga sama sekali."

Serena mengangguk pelan. Jauh di dalam relung hatinya, ia merasa begitu bersyukur bisa dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Claudia dan yang lainnya. Kehadiran mereka memberinya pijakan baru untuk tetap bertahan, melewati fase terberat dalam hidupnya.

Kepercayaan dalam diri Serena perlahan muncul. Dia percaya bahwa suatu hari nanti, kebahagiaan akan datang menemuinya, di waktu yang tepat seperti yang Claudia katakan.

Bersambung

Minggu, 24 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!