Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mahtu dan Janji Tanpa Naskah
...Chapter 8...
Gadis yang tidak pernah menunjukkan emosi, tetapi sekaligus terlalu hidup untuk disebut sekadar karakter dalam game.
Theo tahu Erietta memiliki koneksi dengan para pandai besi rahasia Akademi—mereka nan memahami seni kuno pembentukan senjata spiritual seperti Mahtu.
Maka dengan setengah hati, Theo menghampirinya.
Pertemuan mereka terjadi di taman kaca Akademi, di bawah hujan cahaya biru dari jamur-jamur bercahaya yang menggantung di langit-langit.
Erietta tengah menajamkan pedangnya, memantulkan kilau dingin yang seperti bisa membelah udara.
Tanpa basa-basi, Theo mengajukan tawaran.
Bantu Ilux mendapatkan Mahtu, dan ia akan memberinya sesuatu yang selama ini ia cari.
Bukan kemenangan dalam duel, melainkan tantangan sejati yang hanya bisa diberikan dunia yang telah kehilangan naskahnya.
Erietta menatapnya lama, mata abu-abunya bagai kolam tanpa dasar.
Ragu, namun juga tertarik.
Gadis itu mengangkat dagu sedikit, dan dengan nada tenang namun menusuk, ia berkata bahwa ia akan membantu dengan satu syarat.
Theo sendiri yang harus menemukan bahan utama untuk Mahtu.
Ia akan mengulur waktu bagi Ilux, entah dengan cara apapun.
Begitulah akhirnya kesepakatan itu terjalin.
Dua orang yang sama kerasnya dalam diam, sama bengkoknya dalam niat, kini terikat dalam kesepakatan yang tak seharusnya terjadi dalam jalur kisah.
Erietta pergi tanpa menoleh, melangkah dengan keanggunan nan nyaris militer, sementara Theo menatap punggungnya dengan perasaan campur aduk antara lega dan ngeri.
Ia tahu, dalam versi game, Ilux selalu berjuang sendirian.
Tak pernah ada bantuan dari seorang gadis dingin seperti Erietta.
Tapi di sini, di dunia yang mulai bernafas di luar kendali, Theo baru saja menulis ulang garis takdir.
'Kalau dipikir-pikir, wanita ini memang cantik.
Anggun dengan ketenangannya, dengan pandangan mata yang tak goyah walau keadaan di sekitar terlihat kacau.
Erietta Bathee, pendukung setia Ilux Rediona, setidaknya sampai sistem game menentukan nasibnya dan menjadikannya pion catur yang hanya bisa menuruti kehendak pemain.
Kutahu persis bagaimana akhirnya.
Setelah arc pertama episode dua belas, Erietta akan kalah.
Tubuhnya membeku selama tiga hari penuh, dan saat dibebaskan, Inti Lu yang ada di dalam dirinya, sumber keseimbangan yin dan yang, akan pelan-pelan tersedot ke tubuh Ilux.
Diserap.
Diperas.
Dikuras sampai Erietta benar-benar lenyap.
Dan saat arc kedua episode satu dimulai, yang tersisa dari dia cuma namanya.
Tak bisa bilang aku tidak kasihan.
Ilux memang protagonis, tapi masa kecilnya yang sulit bukan alasan untuk mengambil nyawa orang, apalagi wanita seperti Erietta.
Tapi ya, game ini sudah diatur seperti itu.
Dunia yang katanya punya kehendak bebas, padahal semua sudah ditulis dalam skrip yang hanya aku, Theo Vkytor, yang bisa membacanya.
Ironisnya, aku yang paling tahu jalan cerita malah tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa mencatat dan menyaksikan semuanya terjadi di depan mata—atau mungkin di kemudian hari aku justru bisa menyabotase alur cerita utama ini?’
Fuuuuu!
‘Dan kalau diingat lagi, ini juga salahku.
Karena negosiasi bodohku dengan Erietta, yang seharusnya baru muncul di arc pertama episode empat, dan seharusnya itu adalah pertemuan pertama Ilux dan Erietta, malah dimajukan.
Kupaksa alur waktu dunia ini berbelok, mempercepat pertemuan mereka sebelum episode tiga selesai.
Akhirnya, kedekatan mereka berkembang terlalu cepat, dan hubungan yang seharusnya alami sekarang justru terbentuk dari kesepakatan nan kubuat untuk menyelamatkan satu momen kecil yang bukan urusanku.’
Erietta Bathee—setidaknya alam skenario aslinya—memang ditakdirkan sebagai heroine sejati, wanita yang seharusnya menjadi simbol pengorbanan dan tragedi bagi Ilux Rediona.
Ia adalah cahaya lembut di tengah kehancuran, sekaligus pedang nan suatu hari akan diarahkan kepadanya sendiri.
Namun ironisnya, di balik kode game yang dibangun penuh nuansa kasih dan penyesalan, nasib Erietta bukanlah kisah cinta, melainkan peringatan.
Setelah arc kesatu berakhir—setelah duel yang mengguncang separuh Akademi Bintang—Erietta kalah.
Tubuhnya dibekukan selama tiga hari penuh, dingin seperti patung tanpa jiwa, sebelum akhirnya dilepaskan ke dunia yang tak lagi mengenalnya.
Dan di situlah, pada episode pertama arc kedua, Ilux yang telah menapaki tingkat tinggi dalam sistem Human Change justru memanfaatkan energi kehidupan dari tubuh beku Erietta.
Ia menyerapnya, mengubahnya menjadi bahan bakar kekuatan yang tak wajar, seolah sedang menelan masa lalunya sendiri tanpa rasa bersalah.
Dunia menyebutnya “evolusi.”
Theo menyebutnya “dosa yang disamarkan sebagai mekanik permainan.”
Tapi kini, garis waktu itu telah diacak.
Berkat negosiasi yang Theo lakukan beberapa hari lalu, pertemuan yang seharusnya baru terjadi pada episode keempat arc kesatu malah dipercepat—dipaksa menjadi kenyataan jauh sebelum waktunya.
Dalam versi aslinya, Ilux bahkan belum tahu siapa Erietta.
Namun karena Theo ikut mencampuri skenario keduanya kini akan bersinggungan lebih cepat.
Dan itu berarti efek domino yang tak terbayangkan.
Setiap tindakan kecil, setiap kata yang keluar dari mulut Theo, bisa jadi akan mengubah nasib tak hanya Erietta, tetapi juga Ilux dan dunia game itu sendiri.
Namun yang paling berbahaya dari semua itu bukanlah perubahan alur—melainkan alasan tersembunyi di balik kemurahan hati Erietta.
Tidak mungkin, bahkan mustahil, seorang wanita seperti dirinya memberikan dua karung mata uang berharga hanya karena belas kasihan terhadap Ilux Rediona.
Erietta Bathee tidak mengenal rasa kasihan.
Ia tidak mengenal empati.
Bahkan saat menolong, ia melakukannya bukan demi orang lain, melainkan demi memastikan segala sesuatu berjalan sesuai kehendaknya nan dingin.
Maka ketika Theo menerima karung itu, ia sadar betul—ada harga besar yang menunggu untuk dibayar.
"Tawaranku sebelumnya mungkin terdengar konyol.
Tapi percayalah, Erietta, aku serius.
Aku akan mewujudkan rencana latihan tanding kita, satu lawan satu.
Tanpa aturan tambahan, tanpa trik, tanpa taruhan, murni duel.
Aku penasaran melihat batas kemampuanmu menahan tekanan tanpa jatuh.
Dan seperti janji, kedatanganku kelak bukan cuma untuk duel, tapi juga untuk membantumu mengatasi masalah yang kau rahasiakan."
"Masalah apa yang kau maksud?"
"Kau pasti paham. Inti Lu dan Ranah Kesuraman.
Aku heran bagaimana kau bisa menyembunyikannya dari semua orang, bahkan dari sahabatmu.
Namun aku bisa melihatnya.
Caramu membelenggu energi itu terlihat terlalu kaku dan teratur, seperti ada ketakutan besar bahwa segalanya akan berantakan jika kau mengendur."
Kilasan itu datang bagai bayangan dari masa nan terlalu kelam untuk diingat.
Di antara gemuruh ledakan dan kabut merah yang merayap di tanah Akademi Bintang, Theo Vkytor—atau Eshura Birtash, sebagaimana dunia ini memanggilnya—pernah menampilkan senyum bajingan yang lebih berbahaya dari sihir apa pun.
Senyum itu bukan milik seorang pahlawan, bukan pula senyum yang bisa dipercaya oleh siapa pun yang masih punya akal sehat.
Itu adalah senyum seorang penulis yang tahu terlalu banyak tentang masa depan, dan dengan sadar menggunakan pengetahuan itu untuk memanipulasi dunia yang kini menjelma jadi daging dan darah.
Di hadapan Erietta Bathee, Theo menawarkan sesuatu yang bahkan malaikat pun akan berpikir dua kali untuk menolaknya—sebuah perjanjian samar di mana ia bersedia berlatih tanding satu lawan satu dengan sang gadis.
Sebagai imbalan, ia akan membantu Erietta menaklukkan sesuatu yang bahkan Erietta sendiri tak mampu pahami.
Inti Lu dalam Ranah Kesuraman nan tersembunyi di dalam dirinya.
Pada awalnya, tawaran itu tampak seperti ejekan.
Karena bagi siapapun yang mengenal Erietta Bathee, hal semacam itu tidak seharusnya bisa dibicarakan dengan mudah.
Inti Lu—khususnya pada Ranah Kesuraman—bukan sekadar energi, tapi cerminan jiwa seseorang.
Dan bagi Erietta, itu adalah sisi terdalam dari eksistensinya yang retak.
Bersambung….