Aurelia Valenza, pewaris tunggal keluarga kaya raya yang hidupnya selalu dipenuhi kemewahan dan sorotan publik. Di balik wajah cantik dan senyuman anggunnya, ia menyimpan sifat dingin dan kejam, tak segan menghancurkan siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
Sementara itu, Leonardo Alvarone, mafia berdarah dingin yang namanya ditakuti di seluruh dunia. Setiap langkahnya dipenuhi darah dan rahasia kelam, menjadikannya pria yang tak bisa disentuh oleh hukum maupun musuh-musuhnya.
Takdir mempertemukan mereka lewat sebuah perjodohan yang diatur kakek mereka demi menyatukan dua dinasti besar. Namun, apa jadinya ketika seorang wanita kejam harus berdampingan dengan pria yang lebih kejam darinya? Apakah pernikahan ini akan menciptakan kerajaan yang tak terkalahkan, atau justru menyalakan bara perang yang membakar hati mereka sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naelong, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
lanjutan
Sorotan lampu kristal berkilau indah, menari di dinding-dinding megah ruang perjamuan keluarga Alvarone. Musik klasik mengalun lembut dari orkestra yang berada di sisi kanan ruangan, sementara para tamu undangan sibuk bercengkerama, menikmati keanggunan pesta malam itu.
Di tengah keramaian, langkah Aurelia terdengar lembut ketika ia kembali dari toilet. Gaunnya yang sebelumnya terlihat elegan kini tampak berbeda—lebih berkarakter, lebih menawan. Bagian kain satin yang tadinya jatuh lurus di sisi pinggul kini tersingkap sedikit, membentuk potongan unik seakan sengaja dirancang. Kristal-kristal kecil di bagian dada yang sebelumnya tersusun sederhana kini jatuh lebih longgar, memantulkan cahaya lampu, membuat Aurelia seakan bersinar.
Mommy Leonardo, yang duduk bersama para nyonya sosialita, tiba-tiba memperhatikan perubahan itu. Tatapannya tajam tapi penuh rasa ingin tahu. Dengan langkah anggun, Isabella bangkit dari kursinya dan menghampiri Aurelia.
“Aurel, sayang…” suara Isabella terdengar halus, namun menyimpan nada keheranan. “Gaunmu… kenapa terlihat berbeda dari sebelumnya?”
Beberapa tamu langsung menoleh, memperhatikan Aurelia. Namun, alih-alih panik atau canggung, Aurelia hanya tersenyum lembut, lalu menundukkan kepalanya sopan.
“Maaf, Mommy,” ucap Aurelia dengan suara manja namun penuh percaya diri. “Tadi aku tak sengaja tersenggol seorang pelayan ketika berjalan ke toilet. Ada sedikit bagian gaun yang robek. Jadi, aku berusaha memperbaikinya sebisa mungkin. Tapi… maaf ya, Mommy, gaun dari Mommy jadi rusak.”
Nada suaranya terdengar polos, seakan ia benar-benar menyesal. Padahal di balik sorot matanya, ada tatapan dingin penuh arti.
Isabella terdiam sejenak, meneliti gaun itu lebih dalam. Ia melihat detail kecil di mana lipatan kain tersambung kembali dengan simpul sederhana, namun hasilnya justru menambah daya tarik gaun itu. Dari tatapan matanya, Isabella tahu bahwa Aurelia tidak asal memperbaiki, melainkan mengubahnya dengan sentuhan seni yang matang.
“Rusak?” Isabella tersenyum tipis, lalu menggeleng. “Sayangku, bukan rusak. Justru gaun ini terlihat semakin anggun… dan menawan. Kau berhasil membuatnya lebih hidup.”
Beberapa tamu wanita yang mendengar itu saling berbisik kagum. Mereka heran bagaimana seorang gadis lembut seperti Aurelia bisa memperbaiki gaun semewah itu dengan hasil yang begitu memukau.
Namun, dari sisi lain meja, Dante—kakak tiri Aurelia—menatapnya dengan sinis. Ia bersandar malas di kursinya, meneguk segelas wine sebelum berdesis pelan.
“Tsk… dasar pencitraan murahan,” gumamnya lirih, tapi cukup terdengar oleh Bianca dan Marcella, mama tirinya. “Pura-pura tak sengaja, padahal jelas-jelas mencari perhatian.”
Bianca tersenyum miring, matanya penuh iri. Ia sudah berencana mempermalukan Aurelia dengan membuat gaunnya terlihat jelek, tapi malah berbalik membuat Aurelia semakin dipuji.
Isabella mengelus lembut bahu Aurelia. “Kamu bisa merancang gaun, Aurel?” tanyanya lembut, matanya berbinar penuh rasa penasaran.
Aurelia menoleh perlahan, senyumnya tenang, namun ada kilatan kecil penuh misteri di matanya. “Sedikit saja, Mommy. Aku memang pernah belajar dasar-dasarnya. Tapi… aku belum mahir.”
“Apa yang kau lakukan tadi bukan ‘sedikit’, sayang,” balas Isabella sambil tersenyum bangga. “Itu sentuhan tangan seorang desainer. Kau tahu? Rasanya seperti aku sedang melihat gaun karya haute couture di Paris Fashion Week.”
Pujian itu membuat para tamu bertepuk tangan kecil, beberapa bahkan mendekat untuk melihat detail gaun Aurelia lebih jelas.
Leonardo, yang sejak tadi berdiri dengan kedua tangan di saku celana, hanya menghela napas berat sambil menatap adegan itu. Asap rokoknya melayang tipis, sementara matanya menyipit menatap Aurelia. Perempuan ini… selalu saja membuat keadaan berbalik. Dari seharusnya dipermalukan, dia malah dipuja. Menj*j*kkan.
Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang tak bisa ia sangkal: Aurelia malam ini benar-benar menawan. Bahkan bagi Leonardo yang terbiasa melihat wanita cantik, sosok Aurelia berbeda. Ada aura lembut sekaligus menakutkan yang membuatnya sulit menoleh ke arah lain.
Enzo, asistennya, berdiri di belakang sambil menahan tawa kecil. Ia berbisik pelan. “Bos, sepertinya Mommy mulai jatuh hati pada nona Aurelia. Lihatlah, bahkan tamu-tamu lain pun memujinya.”
Leonardo menoleh tajam, menatap Enzo seakan siap menerkam. “Diam, Enzo. Jangan membuatku marah.”
“Tapi bos…” Enzo mengangkat bahu sambil tersenyum nakal. “Saya rasa bukan hanya mereka yang kagum. Anda juga, kan?”
Leonardo mendesis, membuang pandangan, lalu mematikan rokoknya dengan kasar di asbak perak di meja samping. “Untuk apa kagum pada kelemahan? Semua itu hanya fatamorgana.”
Sementara itu, Marcella merasa kesal luar biasa. Rencananya mempermalukan Aurelia malah membuat putri tirinya mendapat pujian dari nyonya issabela sendiri. Ia mencubit lengan Bianca diam-diam di bawah meja, memberi isyarat agar putrinya tetap sabar.
“Aurel…” Isabella kembali menatapnya dengan tatapan penuh arti. “Kalau begitu, Mommy ingin kau duduk di samping Mommy. Aku ingin tahu lebih banyak tentang bakatmu. Siapa tahu, suatu hari nanti kau bisa bekerja sama dengan Mommy di dunia fashion.”
Aurelia menunduk sopan. “Tentu saja, Mommy. Akan jadi kebahagiaan bagiku.” Suaranya terdengar manis, namun tatapan sekilas yang ia lemparkan pada Bianca dan Dante penuh dengan kepuasan.
Bianca menunduk cepat, wajahnya merah karena marah bercampur iri. Ia merasa seperti kalah telak dalam perang tak terlihat melawan Aurelia.
Dante menghela napas kasar. “Dasar gadis licik,” gumamnya lagi, kali ini sambil memutar gelas wine di tangannya. “Kau pikir bisa menipu semua orang dengan wajah manis itu? Kita lihat nanti, Aurelia.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sementara kakek Leonardo, menghampiri Don Gio dengan langkah mantap. Senyum tipis menghiasi wajah tuanya, namun matanya tajam penuh perhitungan.
“Don Gio…” Vittorio membuka suara dengan nada berat namun hangat. “Sudah lama kita tidak duduk dalam satu meja. Malam ini mengingatkanku pada masa lalu, ketika kita masih muda dan dunia mafia baru saja menorehkan namanya di Eropa.”
Giovanni tersenyum tipis. “Waktu memang cepat, Vittorio. Kita pernah menjadi musuh, pernah juga menjadi sekutu. Dan kini, kita dipertemukan lagi melalui darah daging kita.” Pandangannya melirik ke arah Aurelia yang duduk manis di samping Isabella.
Vittorio mengangguk, matanya ikut mengikuti arah pandang Giovanni. “Aurelia Valenza… dia memiliki aura berbeda. Ada sesuatu di dalam dirinya yang belum sepenuhnya terlihat. Kau mendidiknya dengan baik, Don Gio.”
Giovanni hanya tersenyum samar, matanya dingin tapi penuh makna. “Kau akan melihat sendiri dalam beberapa waktu ke depan. Aurelia bukanlah sekadar gadis manja seperti yang orang lain pikirkan.”
Leonardo yang berdiri tidak jauh dari mereka mendengar percakapan itu. Ia sempat melirik kakeknya, lalu menatap Giovanni dengan wajah sulit dibaca. Namun, ia memilih untuk tetap diam, membiarkan dua kakek besar itu berbicara.
Akhirnya, Giovanni menghela napas panjang. “Vittorio, aku pamit malam ini. Empat hari lagi kita akan bertemu lagi—saat cucu kita disatukan dalam ikatan yang akan mengubah sejarah dua keluarga besar.” Ia mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap Vittorio dengan mata setajam pisau. “Aku harap pernikahan ini tidak hanya sekadar penyatuan nama.
Don Vittorio menepuk bahu Giovanni dengan penuh wibawa. “Jangan khawatir, Don Gio. Leonardo adalah pewaris yang tidak akan mengecewakan nama besar ini.
Giovanni mengangguk sekali, lalu berbalik. Sebelum melangkah pergi, ia sempat menatap Aurelia dari jauh. Senyum tipis muncul di wajahnya—senyum yang hanya Aurelia mengerti.
Aurelia, yang sejak tadi berlagak manja di samping Isabella, menangkap tatapan itu. Senyum lembut di bibirnya tak berubah, tapi di balik tatapan matanya, ada bara api yang menyala. Ia tahu, empat hari ke depan bukan sekadar menuju pernikahan, tapi juga menuju babak baru dari permainan besar yang diwariskan oleh dua keluarga mafia paling ditakuti di dunia.
Dengan langkah tenang dan penuh wibawa, Giovanni meninggalkan aula bersama Alessandro, Marcella, Dante, dan Bianca yang wajahnya masih menyimpan iri serta marah.