Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertahan Demi Anak
"Ini bagaimana ceritanya? Kenapa second male lead ternyata adalah Komnas HAM bagian perlindungan anak dan Indonesia? Kenapa bisa begitu? Kau bilang, second male lead kita hanya sebatas orang yang gagal move on dari Siti. Tapi sekarang kenapa tiba-tiba jadi Komnas HAM bagian perlindungan anak dan perempuan? Ini pasti sudah kau rencanakan sebelumnya, kan? Mengakulah divisi ide kreatif!" teriak divisi pertanyaan random dengan suara lantang. Ia naik ke meja rapat, wajahnya merah padam, kedua tangannya mencengkeram kerah baju divisi ide kreatif, mengguncangnya berkali-kali. Kertas-kertas berhamburan dari meja, membuat suasana semakin kacau.
"Tidak tahu! Sumpah! Aku tidak tahu!" Divisi ide kreatif menjerit, wajahnya kusut penuh keputusasaan. "Aku hanya ikut trend pasar!" Suaranya pecah, hampir terdengar seperti orang yang terpojok di persidangan, diperlakukan seperti tersangka koruptor yang sedang disorot kamera wartawan.
"Aku yang memberinya saran!" tiba-tiba divisi logika hukum sebab-akibat berdiri. Sorot matanya tajam, tenang namun penuh kuasa. Ia menatap semua orang di ruangan, lalu mengucapkan kalimat berikut dengan nada mantap, seakan sedang memberi vonis. "Karena divisi ide kreatif kita saat menciptakan novel Penderitaan Seorang Wanita benar-benar mematikan ide dan kreativitasnya demi menciptakan novel template sesuai trend pasar, dia hanya dalam mode ATP. Amati, Tiru, Plek-ketiplek, alias sama persis. Maka ketika divisi ide kreatif kebingungan, kira-kira profesi apa yang cocok untuk second male lead, aku menyarankan Komnas HAM bagian perlindungan anak dan perempuan. Tapi ideku ditolak untuk dimasukkan ke cerita novel oleh divisi roasting!"
Semua kepala langsung menoleh ke divisi roasting. Tatapan mereka penuh tuntutan, seolah ingin menyalahkan.
Divisi roasting hanya bersandar santai di kursinya, menatap mereka dengan mata setengah tertutup. "Ya untuk apa dimasukkan ke novel?" katanya dengan nada malas, namun setiap kata terdengar tajam. "Memangnya pembaca novel template suka berpikir kritis? Ada karakter orang sangat kaya di seluruh dunia, tiba-tiba gabut, tidak ada kerjaan dan cosplay jadi orang miskin saja, mereka tidak pernah bertanya: urgensi dan pertimbangan apa yang dipikirkan karakter hingga membuat keputusan seperti itu! Apalagi profesi second male lead! Yang penting apa? Banyak uang!"
Ia melempar pulpen ke meja, membuat dentuman keras. "CEO saja tidak pernah ditanya dia CEO dari bidang apa, bagaimana caranya bisa jadi CEO terkaya? Tidak pernah! Apa lagi yang mafia! Apa pernah pembaca bertanya detail, dari mana mafia itu mengatur uangnya untuk keamanan hukum, uang tutup mulut, gaji anak buah, modal, dan sebagainya? Tidak pernah, kan!" Suaranya semakin meninggi. "Bahkan pembaca novel kebanyakan tidak bisa membedakan pria romantis dengan pria sadis! Yang penting apa? Tampan dan banyak uang!"
Keheningan langsung menyelimuti ruang rapat. Semua divisi menunduk, terdiam. Kata-kata divisi roasting menusuk mereka satu per satu, tanpa ampun.
Suasana mencekam itu tiba-tiba dipatahkan oleh suara lantang dari ujung meja.
"Oy! Oy! Oy! Sudahi overthinking tidak penting ini!" Moderator bertepuk tangan keras, suaranya menggema. "Kita kembali ke realita! Karena second male lead adalah Komnas HAM bagian perlindungan anak dan perempuan, pastinya beliau mau membantu kita membuat Siti bercerai dengan suaminya."
Kalimat itu seperti gong yang membangunkan semua divisi dari keterpurukan. Kepala mereka terangkat, mata saling bertemu, dan dalam hening itu, tekad perlahan terbentuk kembali.
---
"Pak Santoso," panggil Aurora, nada suaranya berat seolah menahan sesuatu yang sudah lama ingin ia keluarkan. Tatapannya lurus menusuk pria di depannya. "Bapak bilang, bapak adalah anggota Komnas HAM, kan?" Ia sengaja menekankan setiap kata, sebagai ancang-ancang sebelum mengungkapkan semuanya. "Kalau begitu, tolong bantu saya menyadarkan ibu Siti, pak! Suaminya selingkuh berkali-kali bahkan suka melakukan KDRT saat marah, tapi beliau tetap tidak mau bercerai juga dengan istrinya!"
"Aurora!" Siti sontak berdiri dari kursinya. Kursi itu bergeser kasar, menimbulkan suara nyaring yang membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh. Ekspresi wajah Siti memerah, matanya berkilat marah, tetapi di balik itu terlihat jelas rasa tertekan. "Ada banyak hal yang saya pertimbangkan, Aurora! Kau tidak mengerti!"
"Apa? Apa yang masih perlu dipertimbangkan lagi? Katakan pada saya!" Aurora juga ikut meninggikan suara, napasnya terengah karena emosi. Ia mencondongkan tubuh ke depan, kedua matanya tajam, menusuk seperti bilah pisau. "Masalah apa lagi yang harus dipertimbangkan dari orang seperti itu? Kelebihan dari orang itu hanyalah uang. Tenang saja! Nanti saya akan bantu untuk mendapatkan harta gono-gini yang banyak. Itu akan cukup untuk sekolah anak-anakmu."
"Bukan itu!" teriak Siti. Suaranya pecah, penuh frustasi, hingga air mata yang ditahannya akhirnya menetes jatuh.
Aurora mengepalkan tangannya, gemetar karena menahan amarah. "Jadi apa yang kau pertimbangkan darinya, ibu Siti? Jawab!" teriaknya. Ia memukul meja dengan keras, dentumannya membuat gelas di atas meja berguncang. Aurora ikut berdiri, menatap Siti dengan sorot mata membara. Suasana di ruangan itu mendadak tegang, beberapa orang lain yang ada di dekat mereka menahan napas, tak berani bersuara.
"Semua, tenang dulu!" Santoso segera ikut berdiri, suaranya berusaha menguasai keadaan. Ia mengangkat tangannya, memberi tanda untuk menghentikan pertengkaran yang nyaris meledak. "Kalian berdua, ayo duduk dulu! Kita bicarakan dengan kepala dingin!"
Aurora, yang meski emosinya membara, dengan cepat kembali duduk. Ekspresinya berubah drastis—tenang, dingin, seolah ia bisa mengendalikan amarahnya dalam hitungan detik. Namun, sorot matanya masih penuh api.
Sementara itu, Siti masih berdiri. Air matanya terus mengalir, bahunya naik turun menahan sesak, tangannya mengepal hingga buku jarinya memutih. Jelas sekali ia tersiksa oleh percakapan ini.
"Ibu Siti, ayo silakan duduk," titah Santoso dengan suara lebih lembut, mencoba meredakan badai.
Siti akhirnya menurut. Dengan langkah berat, ia kembali duduk, mendesah panjang seolah mengeluarkan beban di dadanya. Namun tatapannya kosong, jauh, seperti seseorang yang sedang bertarung dengan dirinya sendiri.
Aurora mencondongkan tubuh sedikit, kali ini suaranya lebih terkendali, meski tetap tajam. "Baiklah, maaf atas emosi saya tadi. Jadi, seperti yang sudah saya jelaskan, ibu Siti ini memiliki seorang suami yang suka selingkuh dan bahkan KDRT. Saya sudah sarankan untuk menceraikannya. Terlebih, saya mendapatkan kabar dari teman saya yang juga selingkuhan suaminya ibu Siti ini bahwa beliau tertular penyakit HIV karena banyak bermain dengan pelacur yang menderita penyakit tersebut. Menurut bapak Santoso sendiri, bukankah saran saya adalah yang terbaik untuk bercerai saja dari pria seperti itu?"
"Itu sudah jelas!" Santoso menjawab dengan tegas, wajahnya mengeras. "Selingkuh saja sudah salah. Itu artinya orang tersebut tidak bisa berkomitmen dan bertanggung jawab. Apa lagi jika sampai KDRT dan tertular penyakit HIV karena hubungan ilegal." Tatapan Santoso beralih pada Siti yang kini menunduk, tubuhnya sedikit bergetar menahan emosi. "Benar saran darinya. Sebaiknya anda bercerai saja. Kebetulan saya adalah anggota Komnas HAM bagian perlindungan anak dan perempuan. Saya bisa—"
"Saya tidak bisa!" potong Siti dengan suara yang pecah, tetapi penuh ketegasan. Ia mengangkat wajahnya yang berlinangan air mata, menatap mereka dengan sorot mata penuh keyakinan sekaligus putus asa. "Tuhan membenci perceraian, dan saya bertahan demi anak-anak saya."