Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 8 Pria M3sum?
Cahaya putih neon rumah sakit terasa menusuk, memantulkan kesedihan yang memenuhi lorong sepi. Naomi duduk di kursi tunggu, bahunya bergetar, air mata terus mengalir membasahi pipinya yang pucat.
Di dalam ruangan, ibunya terbaring lemah, nyawanya di ujung tanduk, ditangani oleh dokter Nicholas yang terlihat serius.
“Kakak tenanglah, ibu pasti akan baik-baik saja,” ujar Snowy dengan suara lembut menenangkan. Gadis itu memeluk erat kakaknya, mencoba menyalurkan kekuatan yang ia sendiri pun tak tahu seberapa banyak yang ia miliki.
Naomi menggeleng, isakannya semakin keras.
“Bagaimana kakak bisa tenang. Kamu lihat sendiri kan keadaan ibu tadi. Kakak tidak mau terjadi sesuatu padanya, Snow!” Rasa panik mencekiknya, bayangan terburuk terus berputar di benaknya.
Ibu Maria adalah satu-satunya yang mereka miliki, setelah kepergian ayah mereka beberapa waktu lalu.
“Aku tahu. Aku juga sama sepertimu, Kak. Sekarang, kita hanya punya ibu,” Snowy mengeratkan pelukannya.
Ironisnya, seharusnya di sini Naomi yang menenangkan Snowy, tapi malah sebaliknya. Adiknya yang lebih muda yang harus menenangkan dirinya yang lebih tua.
Setelah beberapa saat, Snowy melepaskan pelukan.
“Aku beli air minum dulu. Kakak tunggu ibu, ya?” kata Snowy, mencoba untuk sedikit memberi ruang bagi Naomi untuk menenangkan diri.
Naomi mengangguk, masih terisak pelan. Snowy pun beranjak pergi, menghilang di ujung lorong.
Sementara itu, Xander yang sejak tadi memperhatikan Naomi dari kejauhan, memutuskan untuk mendekatinya.
Xander melihat bahu gadis itu yang terus bergetar, mendengar isakan pelan yang menyayat hati. Entah kenapa, ada sesuatu dalam kesedihan Naomi yang menarik perhatiannya, meskipun ia tidak mau mengakuinya.
Xander melangkah mendekat, lalu menyodorkan sapu tangan putih bersih ke arah Naomi. “Ini, lap ingusmu!” katanya dingin, mencoba menyembunyikan rasa canggungnya.
Naomi yang masih menunduk, menerima sapu tangan itu tanpa tahu kalau itu adalah Xander. Ia hanya mengangguk pelan.
“Terima kasih.”
“Hmm,” sahut Xander singkat.
“Tunggu, suara ini?” batin Naomi. Suara dingin itu terlalu familiar.
Naomi mendongakkan wajahnya, matanya membulat terkejut saat melihat siapa yang berdiri di depannya.
Xander berdiri tegak di hadapannya, tatapan matanya yang tajam menembus pandangannya tanpa berkedip sama sekali.
“Shit! Tatapan kesepian seperti ini, aku seperti pernah melihatnya. Tapi di mana?” batin Xander, tanpa sadar mengamati Naomi.
Ada gurat kesepian yang dalam di mata Naomi, yang entah kenapa, membuatnya rasa iba itu muncul.
“Anda?!” pekik Naomi, refleks berdiri. “Kenapa anda ada di sini? Apa anda mengikuti saya?” Nada suaranya berubah dari sedih menjadi curiga, bahkan sedikit menuduh.
“Tidak!” Xander menjawab cepat, merasa kesal dengan tuduhan Naomi.
“Lalu sekarang apa? Oh, saya tahu, anda mengikuti saya karena anda merasa bersalah atas kelakuan anda tadi pagi, bukan?” Naomi berucap dengan penuh percaya diri, mencerca Xander, melupakan sejenak kesedihannya.
Naomi mengingat kembali insiden pagi tadi di mana Xander tanpa izin menyentuh dadanya.
“Aku kemari karena–” Belum sempat Xander menjawab, pintu ruangan ibunya Naomi terbuka.
Dokter Nicholas keluar, melepaskan maskernya dan stetoskop yang melingkar di lehernya.
Naomi bergegas menghampiri Nicholas. “Dokter, bagaimana keadaan ibu saya?” tanyanya khawatir, air matanya kembali menggenang. “Dia baik-baik saja kan?”
Nicholas menghela napas panjang, menunjukkan kelegaan namun juga gurat kelelahan.
“Ya, dia sudah melewati masa kritisnya. Hanya saja, harus segera dioperasi kalau tidak–”
“Kalau tidak apa dokter?” potong Naomi, dadanya bergemuruh menanti kelanjutan kalimat sang dokter.
“Nyawanya tidak akan bisa diselamatkan,” jawab Nicholas seraya menghela napas.
Seketika tubuh Naomi lemas. Harapan yang tadi sempat tumbuh, kini runtuh.
“Tidak! Ibu harus sembuh! Dia harus selamat. Dokter, saya mohon selamatkan ibu saya! Saya akan melakukan apapun agar dia sehat seperti sedia kala!” pintanya dengan memohon.
Naomi bahkan tidak memperdulikan Xander yang masih berdiri di belakangnya.
“Aku akan membantu sebisaku, Naomi. Segera urus saja biaya administrasinya, agar operasi segera dilakukan.” Ia tahu betapa sulitnya situasi Naomi, seorang gadis muda yang kini harus menanggung beban berat.
Naomi mengangguk, namun hatinya terasa hampa. Darimana dia bisa mendapatkan uang untuk biaya operasi yang pasti sangat besar, sementara dirinya saja baru sehari bekerja?
Naomi tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi.
“Der, kenapa kamu ada di sini?” tanya Nicholas tiba-tiba, matanya mengarah ke Xander yang masih diam di belakang Naomi.
Mendengar itu, Naomi langsung menoleh, matanya beralih dari Nicholas ke Xander, lalu kembali ke Nicholas.
“Anda mengenal pria mesum ini?” bukan Xander yang bicara melainkan Naomi, ia menatap mereka berdua bergantian, penuh selidik.
“Apa? Pria mesum katamu?” Nicholas mengernyit, bingung dengan sebutan itu. Ia lalu beralih menatap Xander dengan tatapan penuh pertanyaan.
Situasi semakin rumit, dan bagi Xander, ia merasa akan ada penjelasan panjang yang harus ia berikan pada kakaknya ini, sekaligus pada gadis di depannya.