Lanjutan dari Beginning And End.
Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.
Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.
Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.
Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Rumah lama Andras.
Udara dingin menusuk hingga ke tulang, seolah-olah menyerap hangat tubuh mereka. Kelima sahabat—Reina, Mike, Jimmy, Alice, dan Helena—berdiri di depan gerbang rumah lama Andras. Rumah itu menjulang tinggi, menyerupai benteng yang tertidur di tengah salju. Anehnya, meski tertutup salju, rumah itu terlihat terawat dengan baik, tanpa tanda-tanda keusangan atau kerusakan. Salju yang menutupi tampak baru jatuh beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwa rumah ini masih diperhatikan.
Helena, dengan ekspresi wajah yang fokus, mengetik sesuatu di jam tangan canggihnya. Cahaya biru redup menyelimuti wajahnya, menunjukkan bahwa ia sedang bekerja. "Sebentar…" katanya, suaranya tenang dan tegas, menunjukkan kepercayaan dirinya. Ia menunggu dengan sabar, menunjukkan kesabaran dan kehati-hatiannya.
Sebuah hologram besar muncul, memancarkan cahaya biru yang menyelimuti rumah Andras. Warna biru menunjukkan bahwa tidak ada aktivitas manusia di dalamnya, hanya titik merah kecil yang menunjukkan kemungkinan adanya tikus. Helena menatap hologram tersebut dengan seksama, menganalisis data yang ditampilkan. Ekspresi wajahnya berubah sedikit, menunjukkan bahwa ia sedang memikirkan sesuatu.
"Apakah sudah mau masuk? Di sini aman," kata Helena, suaranya tenang dan yakin. Ia menatap keempat temannya, menunjukkan bahwa ia siap untuk melangkah ke dalam.
Jimmy, dengan mata yang berbinar-binar karena antusiasme, menunjukkan kegembiraannya yang tak tertahankan. "Okay!! Gak sabar ingin masuk ke rumah si Andras itu!!" teriaknya, suaranya penuh semangat. Ia menggerakkan kakinya dengan tak tenang, menunjukkan ketidaksabarannya.
Reina, yang telah menunggu momen ini, menunjukkan tekadnya. "Baiklah, ayo masuk!" katanya, suaranya tegas dan penuh keyakinan. Ia melangkah maju, menunjukkan keberaniannya. Ia menatap rumah tersebut dengan tatapan yang penuh dengan campuran rasa penasaran dan sedikit ketakutan.
Mereka membuka pagar besar itu dengan hati-hati, suara derit logam bergema di udara yang dingin. Halaman rumah yang luas dan tertutup salju tampak sunyi dan menyeramkan. Tak ada tanda-tanda kehidupan, hanya keheningan yang menyeramkan. Mereka melangkah masuk ke dalam rumah, langkah mereka hati-hati, menunjukkan kewaspadaan mereka.
Mike, dengan mata yang tajam dan waspada, memperhatikan sekeliling dengan seksama. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu. Sebuah kertas kecil yang tertempel di dinding, tertulis dengan tulisan tangan yang rapi: "Aku akan menunggu mu… Andras… Leon…" Ia menatap kertas tersebut dengan tatapan yang penuh dengan pertanyaan. Namun, ia tidak mempedulikannya untuk saat ini, dan ia mengusap keringat di keningnya, kemudian menyusul teman-temannya ke dalam rumah.
Di dalam ruangan keluarga yang besar, Reina menemukan sebuah foto lama. Ia mengambil foto tersebut dan menatapnya dengan seksama. "Wah… ini… foto Andras waktu kecil…" katanya, suaranya penuh dengan kejutan dan rasa penasaran. Ia tersenyum lebar, menunjukkan betapa lucunya Andras waktu kecil. "Andras kecil terlihat lucu banget ya!" Ia tertawa kecil, menunjukkan betapa gembiranya ia.
Helena, dengan ekspresi yang penasaran, mendekati Reina. "Apakah yang barusan kamu lihat berbeda dengan Andras yang asli?" tanyanya, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu.
Reina menatap foto tersebut kembali, kemudian menatap Helena dengan ekspresi yang serius. "Jauh berbeda," katanya, suaranya sedikit bergetar. "Gadis itu selalu marah, tegas, dan intimidasi. Dia ga segan-segan menjatuhkan orang yang ingin menjatuhkannya, sama seperti aku dan Andras di saat Andras menjadi ketua osis dan aku jadi wakilnya." Ia menunjukkan ekspresi yang sedikit sedih, mengingat masa lalu yang sulit.
Mike, dengan ekspresi yang merenung, menambahkan, "Gak kebayang sih… Soalnya Andras waktu masih di Rusia, wajahnya hanya datar dan kadang dia ceria…" Ia menatap foto Andras kecil dengan tatapan yang penuh dengan rasa ingin tahu dan sedikit rasa sedih. Ia menggerakkan jari-jarinya, menunjukkan bahwa ia sedang memikirkan sesuatu.
Mereka berlima kemudian melangkah menuju ruangan lain, yang tampak seperti kamar tidur. Langkah mereka hati-hati, menunjukkan kewaspadaan mereka. Keheningan di dalam rumah itu tampak semakin menyeramkan, menciptakan suasana yang menegangkan namun juga penuh dengan rasa penasaran. Mereka melangkah menuju masa lalu Andras, menuju misteri yang belum terpecahkan.
Langkah mereka berlima memasuki kamar tidur Andras hati-hati, mencoba menghindari bunyi kresek-kresek lantai yang tertutup salju. Cahaya redup menembus jendela yang tertutup tirai tebal, menciptakan suasana yang sunyi dan sedikit menyeramkan. Bau kuno dan debu menyeruak di udara, mencampur dengan bau dingin salju dari luar.
Di tengah kamar, terlihat sebuah piala besar yang berkilauan di bawah cahaya redup. Piala itu bertuliskan "Selamat atas penghargaan sebagai murid terpintar di kota Moskow". Reina, dengan mata yang berbinar-binar, mendekati piala tersebut dan menatapnya dengan seksama. Ia mengangkat piala itu dengan hati-hati, jari-jarinya menelusuri ukiran yang indah.
"Ini pasti punya Andras!" serunya, suaranya penuh kegembiraan dan sedikit kejutan. "Dan berarti kita semua ada di kamar lama Andras! Wah… luasnya…" Ia menatap sekeliling kamar dengan mata yang melambar, menunjukkan kekagumannya. Ia tersenyum lebar, menunjukkan kegembiraannya.
Mike, dengan ekspresi wajah yang waspada, memperhatikan sekeliling kamar dengan seksama. Ia menggerakkan kepala dan matanya dengan cepat, menunjukkan kewaspadaannya. "Apakah kalian yakin… tidak ada orang yang pernah masuk ke rumah ini?" tanyanya, suaranya penuh dengan keraguan. Ia menatap teman-temannya dengan tatapan yang penuh pertanyaan.
Jimmy, dengan semangat yang tak tertahankan, mulai menggeledah lemari kecil di sudut kamar. Ia membuka lemari itu dengan cepat, menunjukkan ketidaksabarannya. Ia mengeluarkan berbagai barang dari lemari tersebut, mencari sesuatu yang menarik perhatiannya. "Awalnya sih aku mikir itu… Kehangatan rumahnya terasa di tubuhku," katanya, suaranya sedikit bergetar, menunjukkan bahwa ia merasakan sesuatu yang aneh.
Tiba-tiba, Jimmy mengeluarkan sesuatu dari lemari itu. Sebuah celana dalam yang sudah usang. Reina, Mike, dan Helena tersentak kaget. Alice, dengan ekspresi wajah yang terkejut, berkata, "H… hei, Jimmy, kau nakal ya…" Ia menutup mulutnya dengan tangannya, menunjukkan rasa malunya.
Jimmy, dengan ekspresi wajah yang bingung, mengerutkan keningnya. "Ada apa? Perasaan aku hanya menggeledah lemari kecil ini…" katanya, suaranya sedikit bergetar. Ia menatap celana dalam itu dengan tatapan yang penuh pertanyaan. Reina menunjuk ke arah tangan Jimmy yang memegang celana dalam itu. Jimmy melihat celana dalam itu dengan seksama, lalu wajahnya merah padam.
"Kiahhhh!!" teriaknya seperti gadis, suaranya penuh dengan rasa malu dan ketakutan. Ia melempar celana dalam itu ke dalam lemari dan menutupnya dengan cepat, menunjukkan rasa malunya yang mendalam. "Sudah lama aku ingin menjauhi celana dalam gadis… Karena guru olahraga asramaku dulu yang fetis sama celana dalam gadis… Aku disuruh mengambilnya dengan imbalan nilai bagus… Tapi… aku trauma… Mengapa… mengapa aku memegang celana dalam gadis ilmuwan!!" Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menunjukkan rasa malunya yang mendalam.
Mereka berempat tertawa terbahak-bahak, suara tawa mereka bergema di dalam kamar. Reina, dengan mata yang berbinar-binar karena tawa, menunjuk ke arah celana dalam itu. "Aduh… tadi… ukuran celana dalamnya sangat kecil…" katanya, suaranya penuh dengan tawa.
Tawa mereka tiba-tiba terhenti. Suara gadis berseru dari luar, "Siapa di sana!! Jangan bergerak!" Suaranya tajam dan tegas, menunjukkan bahwa ia sedang waspada.
Suara langkah kaki cepat terdengar mendekati kamar. Sebelum mereka sempat bereaksi, pintu didobrak dengan keras. Seorang gadis cantik dengan rambut pelangi, mata biru muda, dan jaket tebal muncul di ambang pintu. Ia adalah Alisiya, teman lama Andras yang mereka anggap sudah mati. Ekspresi wajahnya campuran antara kejutan dan kemarahan. Ia menatap mereka dengan tatapan yang tajam dan mengancam. Suasana tiba-tiba menjadi sangat menegangkan.