Dulu, dia hanyalah seorang anak jalanan—terlunta di gang sempit, berselimut kardus, hidup tanpa nama dan harapan. Dunia mengajarinya untuk tidak berharap pada siapa pun, hingga suatu malam… seorang gadis kecil datang membawa roti hangat dan selimut. Bukan sekadar makanan, tapi secercah cahaya di tengah hidup yang nyaris padam.
Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pria pendiam yang terbiasa menyimpan luka. Tanpa nama besar, tanpa warisan, tanpa tempat berpijak. Namun nasib membawanya ke tengah keluarga terpandang—Wijaya Corp—bukan sebagai karyawan, bukan sebagai tamu… tapi sebagai calon menantu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Portgasdhaaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan Pesta
Pagi itu, langit Kampus Mahardika digelayuti mendung tipis. Rintik gerimis turun pelan, membasahi dedaunan dan atap-atap gedung kampus. Suasana sedikit muram namun justru membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Di balik suasana tenang itu, bisik-bisik hangat tengah menyebar dengan cepat, seperti api kecil yang menyambar rerumputan kering.
Rumor itu menyebar seperti angin liar di lorong kampus Mahardika.
Katanya, Laras Wijaya—gadis kalem dari jurusan Ekonomi—dijodohkan dengan pria misterius tak dikenal. Entah siapa yang memulai, tapi dalam sehari, hampir semua mata tertuju padanya.
“Laras, beneran dijodohin?”
“Katanya cowoknya gak punya pekerjaan tetap ya?”
“Serius? Sama cowok misterius yang jemput pakai skuter itu?”
“Jangan-jangan cowoknya ojek online?”
“Astaga...anak keluarga Wijaya dijodohin ama cowok gak jelas gitu?”
Pertanyaan-pertanyaan itu dilemparkan setengah bercanda, setengah penuh rasa ingin tahu. Bahkan beberapa dosen muda pun melirik aneh saat Laras berjalan ke kelas.
Laras hanya tersenyum tipis setiap kali ditanya. Ia tidak pernah menjelaskan apa pun, dan itu membuat gosip makin liar.
Namun satu hal yang ia perhatikan hari itu Rasta terlihat lebih ceria dari biasanya.
Laras menghela napas panjang.Ia tak punya cukup waktu untuk bersiap menghadapi sorotan seperti ini. Wajahnya ditundukkan, mencoba berlindung di balik rambut panjangnya. Tapi mata-mata penasaran itu tetap mengikutinya.
Di kelas, Vivi sudah menunggu sambil mengunyah permen karet, dan Ayu tengah mencatat sesuatu dengan serius. Begitu Laras duduk, Vivi langsung menatapnya tajam, lalu menjitak pelan bahunya.
“Kurang ajar. Punya kabar panas gini gak bilang-bilang sama sahabat sendiri?”
Ayu ikut mengangguk dramatis. “Kamu niat banget nyembunyiin cowok sekeren itu dari kami ya,Ras? Padahal kita sering makan bareng!”
Laras mengangkat alis, bingung. “Kalian dapet info dari mana sih? Perasaan nggak segitunya juga, deh.”
“Ada deh...” Vivi tersenyum canggung. Dia mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Laras.
Ayu dengan gercep kembali pada catatannya. Pura-pura tidak tahu.
Laras melotot gemas. Tangan kirinya mengetuk meja pelan.pelan membuat vivi dan ayu gugup. “Hei...kemarin kalian nguntit yah!”
“Nggak!” Vivi dan Ayu menjawab serentak. Membuat Laras semakin curiga.
“Yang jelas kamu beneran dijodohin Ras?” Dengan penuh antusias Vivi mengalihkan pembicaraan. Dia sudah berjuang keras menahan rasa keponya sejak kemarin.
Laras terdiam. Pertanyaan itu sederhana, tapi jawabannya kompleks. Ia tidak ingin menyebar cerita yang belum sepenuhnya ia pahami sendiri. Namun, tatapan Vivi dan Ayu membuatnya tak tega untuk terus menghindar.
“Iya... semacam gitu. Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu ya. Aku juga belum tahu akan gimana nantinya.”
Vivi terkekeh pelan. “Gitu dong, jujur dari awal. Tenang, kami tim kamu kok.” Vivi membusungkan dada dengan bangga. “Tapi serius, dia itu siapa, sih? Tatapannya itu loh... bukan tatapan cowok biasa.”
Ayu menambahkan, “Cara dia liatin kamu tuh kayak lagi main drama Korea gitu, loh.”
“Kyaaaa...Aku juga pengen dapet pangeran seganteng itu.” Vivi setengah berteriak antusias.
Laras kembali mengerutkan kening.“Tuh kan! Kemarin kalian nguntit aku!” Laras mendengus kesal.
“Hehe.” Menyadari sudah tidak bisa mengelak, Vivi hanya tersenyum polos tanpa dosa.
Sedangkan Ayu menggaruk kepalanya canggung. “Maaf, habisnya kepo sih. Kemarin kamu tiba-tiba bilang mau pulang ama ojek.”
“Mana ada ojek seganteng itu.” Vivi menimpali.
Mereka pun tertawa.
Laras hanya tersenyum kecil. Dalam hatinya, ia tak bisa menyangkal bahwa ada sisi dari Arka yang membuatnya penasaran. Ia bukan sekadar pria biasa. Ada keteduhan sekaligus misteri yang membuat Laras ingin mengenalnya lebih jauh.
_____
Hari terus berjalan. Di sela kuliah dan diskusi kelompok, bisik-bisik tentang Laras tak kunjung reda. Bahkan Clarissa, si seleb kampus, kini ikut menyindir terang-terangan.
“Wah, ada juga ya yang berani tampil beda ya? Itu akibat kalau suka bergaul ama rakyat jelata, sekarang malah cari cowok yang rakyat jelata juga?” katanya sambil tertawa bersama gengnya.
Laras menahan napas, tapi Vivi langsung membalas. “Daripada nyinyir tiap hari tapi belum bisa dapet cowok yang tulus, mending diem deh, Clar!”
Clarissa mendelik tajam. “Kamu ngomong apa?”
Ayu cepat-cepat menarik Vivi menjauh sebelum situasi memanas. Namun insiden kecil itu hanya menambah bahan gosip di grup angkatan. Laras, yang selama ini dikenal sebagai anak orang kaya yang tertutup, kini seolah menjadi pusat perhatian.
“Maaf ya, aku bikin kalian ikut kena imbas,” ujar Laras saat makan siang di kantin kampus.
Ayu tersenyum. “Justru aku seneng kamu sekarang mulai terbuka. Dan kalau ada yang ganggu kamu, kita berdua siap di belakangmu.”
Vivi mengangkat sendoknya seperti pedang. “Betul! Vivi the Brave dan Ayu the Wise, siap menjaga Lady Laras dari serangan ratu julid!”
Mereka pun tertawa bersama—tawa hangat yang terasa langka di tengah tekanan sosial yang menyesakkan.
_____
Sore hari menjelang, ketika kelas terakhir hampir usai, dosen tiba-tiba menyampaikan pengumuman.
“Oh ya, sebelum saya tutup, ada informasi tambahan. Fakultas kita mendapat undangan khusus dari acara gala amal yang akan diadakan oleh keluarga besar salah satu mahasiswa kita, Reynald Mahardika. Soft launching bisnis baru katanya.”
Dosen melanjutkan, “Acara bersifat formal dan terbatas, jadi undangan akan diberikan secara selektif. Beberapa dari kalian akan mendapatkannya via email atau pesan pribadi.”
Laras merasakan ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
“Kami mengundang Saudari Laras Wijaya untuk hadir dalam acara Gala Amal dan Soft Launching Darma Holdings, Sabtu malam. Lokasi dan detail akan dikirimkan menyusul.”
Ia menatap layar ponsel dengan ragu. Di saat yang sama, Vivi juga mendapat pesan yang sama, begitu pula Ayu.
“Gala amal, huh?” gumam vivi. Ia menatap ponselnya sambil mengerutkan dahi. “Soft launching? Kayak acara fancy-fancy gitu?”
Ayu mengangguk pelan. Ia menaruh pulpen dan menatap mereka berdua, terutama Laras. “Aku mau datang.”
Vivi menaikkan alis. “Serius? Bukannya kamu anti acara glamor gitu?”
Ayu menarik napas panjang. “Biasanya iya. Tapi kali ini beda. Ada info dari kakak tingkat, katanya acara itu juga jadi momen buat presentasi program CSR dan beasiswa tambahan dari Darma Holdings.”
Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan, suaranya lebih pelan. “Kalau aku bisa impress mereka... bisa aja aku dapat bantuan biaya semester akhir.”
Laras dan Vivi langsung terdiam.
Laras menatap Ayu, melihat betapa serius sorot matanya. Ini bukan sekadar pesta bagi Ayu, ini soal masa depannya.
“Aku takut datang sendiri... apalagi acaranya keluarga Reynald.” Ayu menatap Laras dan Vivi bergantian. “Tapi kalau kalian ikut, aku jadi lebih berani.”
Vivi langsung menepuk dada. “Gue sih hayuk aja. Pesta, makanan gratis, dan kesempatan lihat cowok ganteng!”
Laras masih terdiam.
Dia tidak suka pesta semacam itu. Lampu temaram, musik keras, gaun formal, dan orang-orang dengan senyum palsu. Dunia itu bukan dunianya.
“Aku ngerti kalau kamu males, Ras. Tapi... sekali ini aja, ya?” ucap Ayu, lembut. “Kamu gak perlu tampil beda kok, cukup jadi diri sendiri. Aku cuma butuh dua orang yang bikin aku nyaman.”
Laras akhirnya mengangguk pelan. “Oke. Aku ikut. Tapi jangan suruh aku pake gaun aneh-aneh, ya.”
Vivi langsung bersorak kecil. “Yesss! Tim kita lengkap!”
Ayu tersenyum lega. “Thanks, kalian emang penyelamatku.”
Dan di antara riuh rendah kampus dan gosip yang belum padam, tiga sahabat itu membuat keputusan kecil yang kelak akan membawa mereka ke malam yang tidak pernah mereka bayangkan. Malam di mana segalanya mulai berubah.