dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 8. PENYERANGAN
Udara sore di kawasan elit tempat kediaman keluarga Presiden Wigantara terasa lebih sejuk dari biasanya. Elena baru saja keluar dari rumah sakit setelah demam tinggi yang hampir membuatnya meninggal.
Sejak saat itu, Alejandro, sang bodyguard baru yang misterius, berubah drastis. Ia tidak lagi hanya sekadar mengamati dari jauh, melainkan selalu berada di dekat Elena, seolah menjadi bayangannya sendiri. Ke mana pun Elena melangkah, Alejandro membuntuti. entah itu ke taman belakang, ruang latihan, bahkan hanya untuk sekadar mengambil teh di dapur kecil.
"Alejandro! Aku hanya pergi ke teras, bukan ke medan perang. Kenapa kau terus mengikuti ku?!" omel Elena dengan nada sebal, menoleh tajam ke arah pria itu.
Alejandro hanya menanggapi dengan satu senyuman tipis, seakan omelan itu tidak lebih dari bisikan angin yang melintas.
"Menjaga Anda adalah tugas saya," jawabnya singkat, nada suaranya tenang namun tidak memberikan ruang untuk bantahan.
Sikap Alejandro itu, alih-alih membuat Elena merasa aman, justru membuatnya gemas bukan main. Terlebih lagi, Alejandro selalu memandanginya dengan tatapan dingin yang sulit ditebak, namun di baliknya, ada sesuatu yang Elena belum mengerti sepenuhnya.
Bagi Alejandro sendiri, ada hal aneh yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Dulu, ketika pertama kali ditugaskan untuk menjaga Elena, ia menganggap gadis itu tidak lebih dari gadis lemah. Namun kini, tiap omelan Elena, tiap kerutan kecil di keningnya saat kesal, justru terasa memikat. Ia menemukan diri gadis itu yang sebenarnya... Dia seperti menikmati momen-momen remeh itu.
Hari itu, Elena berjalan menuju area khusus latihan tembak yang ada di sisi timur properti keluarga Wigantara. Tempat itu biasanya digunakan ayahnya untuk berlatih ketangkasan, dan kali ini Elena ingin sekadar melepas stres.
Elena melirik kearah susunan senjata api yang tertata rapi dalam lemari kaca yang ada di area itu.
Gadis cantik itu menoleh kearah alejandro lalu bertanya "apa itu pistol sungguhan?"
Pria itu melihat raut wajah polosnya lalu tersenyum singkat "Ya, itu pistol sungguhan."
"ajari aku menembak," pinta Elena tiba-tiba, membuat Alejandro mengerutkan kening.
"Menembak bukan hal yang bisa dipelajari dalam satu sore," jawab Alejandro serius.
"Aku tidak peduli. Setidaknya aku ingin bisa membela diri," katanya dengan penuh tekad.
"Sebaiknya kau kembali kedalam dan melukis saja, itu lebih aman." Tolaknya halus namun ternyata gadis itu agak keras kepala.
"Bilang saja kalau kau malas mengajariku," Sungut elena jengkel membuat alejandro menahan napas nya agar tidak mengumpat dan akhirnya,Tanpa banyak protes lagi, Alejandro mengambil pistol dari lemari senjata, lalu menunjukkannya pada Elena.
"Lihat baik-baik," katanya, sebelum menarik pelatuk dengan gerakan cepat dan presisi. Suara tembakan menggema, dan peluru menancap tepat di tengah sasaran. Nyaris tidak meleset sedikit pun.
Mata Elena membulat, lalu tanpa sadar bertepuk tangan.
"Wow! Hebat sekali!" serunya, kagum. "Aku tidak menyangka kau sehebat itu, Al!"
Mendengar pujian tulus itu, Alejandro, si petarung jalanan yang biasa berdarah-darah di ring tanpa mengedip, justru merasakan panas aneh merayap ke wajahnya. Ia cepat-cepat membuang muka, pura-pura mengamati pistol di tangannya.
Apalagi ketika ada orang lain yang memanggil nya dengan sebutan "Al".
"T-tentu saja. Itu... sudah biasa," katanya, dengan suara yang sedikit lebih serak dari biasanya.
Elena menatap Alejandro dengan pandangan geli. Untuk pertama kalinya, ia menangkap sekilas ekspresi pria di dekatnya itu canggung. hal yang langka mengingat biasanya pria itu selalu dingin seperti es.
Suasana di antara mereka menjadi canggung. Alejandro membersihkan pistolnya terlalu lama, sementara Elena pura-pura sibuk mengikat tali sepatunya yang sebenarnya sudah rapi.
Elena tersenyum kecil melihat kearah beberapa burung yang terbang di langit sore itu. Untuk pertama kalinya, alejandro melihat gadis itu tersenyum.
Saat Elena kembali mengambil posisi untuk mencoba menembak, Alejandro berdiri di belakangnya, memperbaiki posisi tubuh gadis itu dengan kedua tangannya. Sentuhan sekilas itu, meskipun sebatas membimbing teknik, membuat alejandro merasakan gelombang aneh dalam dirinya.
"Tarik napas. Tenangkan diri. Fokus," bisik Alejandro di dekat telinganya, suaranya rendah dan dalam.
Jantung Elena berdetak kencang tak karuan.ia tidak mengira bahwa belajar menembak akan menempel sedekat ini dan ini pertama kalinya dia terlalu dekat dengan seorang pria.
Ia mencoba mengabaikannya, namun justru jari-jarinya gemetar kecil saat menarik pelatuk. Tembakan yang dilepaskan meleset jauh dari sasaran, menghantam pelindung logam di samping.
Seketika elena menutup telinga nya karena suara keras itu membuat nya kaget.
Alejandro tersenyum miring menatap gadis yang masih setia menutup telinga nya sendiri.
Elena bisa merasakan sentuhan dingin kedua tangan alejandro yang membuat nya menurunkan kedua tangannya.
"Sudah kukatakan tapi kau tetap keras kepala, ini senjata api, bukan kembang api." Elena refleks memukul lengan pria itu karena ucapan alejandro membuat nya kesal bercampur malu.
Namun di balik momen sederhana itu, di kejauhan, sepasang mata asing mengintai dari balik teropong.
Mereka berdua tidak menyadari, ada bahaya baru yang tengah mengincar, menunggu saat yang tepat untuk merenggut hal yang baru mulai tumbuh di antara mereka.
Setelah elena kembali ke dalam rumah....
Alejandro bergerak cepat. Matanya yang tajam segera menangkap bayangan mencurigakan di antara pepohonan. Langkah-langkahnya ringan namun penuh determinasi, mengejar sosok itu tanpa ragu sedikit pun.
Arthur terkejut, tak menyangka kepekaan Alejandro melebihi dugaannya. Ia berusaha melarikan diri, namun dalam hitungan detik, Alejandro berhasil mengunci pergerakannya, mendorong tubuh Arthur hingga membentur batang pohon besar.
"Apa yang kau lakukan di sini?" desis Alejandro dingin, membekukan udara di antara mereka.
Arthur hanya terkekeh pelan. Ia mengeluarkan sebuah amplop tebal dari balik jaketnya, melemparkannya ke tanah di antara mereka.
"Aku hanya ingin memperkenalkan diriku," ucap Arthur, suaranya tenang namun penuh racun. "Aku bagian dari masa lalu seseorang yang sangat kau cintai."
Alejandro menunduk, matanya sekilas menangkap isi amplop itu... puluhan foto-foto yang menghancurkan dunia yang selama ini berusaha ia pertahankan.
Di foto-foto itu, terlihat Kirana. Gadis yang selama ini Alejandro cintai setengah mati... sedang tertawa di pelukan Arthur, duduk di bar, bahkan beberapa foto menunjukkan kedekatan mereka di kamar hotel.
Pukulan itu telak.
Membuat dada Alejandro sesak hingga hampir tak mampu bernapas.
"Kau... Kau memanfaatkannya," desis Alejandro, kedua tangannya mengepal begitu keras hingga buku-bukunya memutih.
Arthur menyeringai. "Dia tidak pernah benar-benar menjadi milikmu, Alejandro. Dia hanya pelarian, seseorang yang datang padaku lebih dulu sebelum akhirnya membuangku. Seperti semua orang lain dalam hidupku."
Urat-urat di leher Alejandro menegang. Darahnya mendidih. Tanpa berpikir panjang, ia menghantamkan tinjunya ke wajah Arthur, membuat pria itu terhuyung.
Arthur tidak tinggal diam. Ia membalas dengan pukulan keras ke rahang Alejandro, membuat sudut bibir pria itu berdarah.
Pertarungan sengit pun pecah di bawah langit senja yang merah membara.
Tinju bertukar, tendangan dilepaskan dengan brutal, masing-masing mengerahkan dendam yang lama terkubur. Tanah berdebu menjadi saksi bisu pertarungan dua pria yang diikat oleh masa lalu yang kelam.
Alejandro, meskipun tubuhnya dilatih bertahun-tahun dalam kerasnya pertandingan jalanan, merasakan luka di wajahnya, sebuah sobekan di pelipis yang mengucurkan darah hangat ke pipinya, apalagi kondisi mental nya yang hancur setelah mengetahui fakta menyakitkan tersebut.
Namun rasa sakit itu hanya membuatnya semakin bertekad.
Ini bukan sekadar pertarungan biasa.
Ini adalah perang untuk membela harga dirinya.
Sampai akhirnya, suara riuh para penjaga rumah terdengar mendekat. Mereka bergegas memisahkan kedua pria itu dengan susah payah, memegang Alejandro yang masih berusaha melepaskan diri untuk kembali menghajar Arthur.
Napas Alejandro terengah-engah, matanya membara penuh kebencian saat menatap Arthur yang tersenyum puas di seberang.
Pertarungan fisik mungkin terhenti,
tetapi perang sesungguhnya baru saja dimulai.
Setelah pertarungan sengit itu, malam terasa lebih pekat dari biasanya.
Alejandro berdiri di balkon rumah mewah itu, membiarkan luka di pelipisnya terbuka tanpa perban. Angin malam meniup rambutnya yang berantakan, namun yang berkecamuk di dalam dirinya jauh lebih liar dari badai mana pun.
Foto-foto itu masih tertinggal dalam genggamannya.
Setiap lembaran membawa rasa perih yang menusuk hingga ke tulang.
Kirana...
Gadis yang ia cintai dengan seluruh hatinya...
Apakah benar selama ini ia hanya mengenal bayangan semu?
Tapi, hatinya menolak percaya begitu saja.
Ia mengenal Kirana. Ia tahu tatapan tulus itu, sentuhan hangatnya, ketulusan dalam setiap kata-katanya.
Arthur pasti telah memanipulasi kenyataan.
Atau setidaknya, itulah yang Alejandro paksa untuk dirinya percaya.
Sementara itu, di balik tirai jendela, Elena mengintip diam-diam. Ia melihat sosok Alejandro, berdiri membisu seperti patung batu, bayangannya terpotong oleh cahaya rembulan.
Ada luka di wajahnya. Luka yang bahkan dari jauh tampak menganga.
Ada sesuatu di dada Elena yang berdesir aneh, semacam rasa ingin mendekat, ingin menghapus semua luka yang tidak ia mengerti.
Dengan langkah ragu, Elena membuka pintu. Suara derit halus menarik perhatian Alejandro, membuat pria itu menoleh perlahan.
"Kau... kenapa tidak diobati?" tanya Elena pelan, hampir berbisik.
Alejandro tersenyum kecil, getir.
"Ini bukan luka yang bisa sembuh dengan obat biasa."
Ada kesedihan dalam nada suaranya yang membuat Elena diam membeku.
Sejenak, hanya keheningan yang mengisi ruang di antara mereka.
Sampai akhirnya Elena memberanikan diri melangkah mendekat, mengangkat tangannya dengan gemetar untuk menyentuh pipi Alejandro yang terluka.
Pria itu menahan napas.
Sentuhan Elena terasa begitu lembut, begitu nyata... sesuatu yang Alejandro pikir tidak pantas ia terima di tengah malam penuh luka ini.
"Kau hebat," bisik Elena tiba-tiba, matanya menatap dalam. "Di area latihan, aku bisa melihat betapa luar biasanya kau mengendalikan diri... meski aku tahu hatimu tidak pernah benar-benar tenang."
Alejandro membeku.
Kata-kata itu...pujian sederhana namun tulus, menyentuh bagian terdalam dari dirinya yang sudah lama beku.
Sebuah senyuman samar terukir di wajahnya, namun bersamaan dengan itu, rona merah tipis merayapi telinga dan leher Alejandro.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Alejandro, si petarung jalanan yang tak pernah gentar di hadapan maut, merasa salting di hadapan seorang gadis.
Elena menyadari perubahan itu. Ia terkikik kecil, melihat bagaimana Alejandro yang biasanya dingin dan tak terjangkau kini berusaha menyembunyikan kegugupannya.