Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dingin? - 8
...Manusia yang tak pernah tersenyum sebenarnya sedang menghindari potensi menyakiti. ...
***
Gadis itu menggigit roti yang dibuatkan Ibunya, sembari berlari kecil karena dikejar waktu.
Ini hari kedua ia sekolah, tapi sudah hampir terlambat saja. Waktu tidurnya terlewat karena mengantar Rey membeli martabak kemarin malam.
Gerbang sekolah sudah terlihat oleh matanya, dan ia memaksakan kakinya agar terus berlari walau napasnya sudah tersenggal meminta untuk berhenti.
"Aduh, kaki aku lemes." Ucapnya setelah berhasil masuk ke dalam lingkungan sekolah.
Dan ia adalah murid terakhir yang masuk sebelum akhirnya gerbang tinggi itu tertutup dengan sempurna.
Rai duduk sebentar di bangku panjang dekat pohon yang rindang. Selain kakinya yang lemas, napasnya juga terasa sesak sekarang.
"Nyesel aku gak bawa sepeda yang di Bandung." Gumamnya yang kini sudah mulai tenang.
Angin pagi yang segar membuat ia secara refleks menutup mata. Rasanya benar-benar nyaman, seperti sedang ada di pantai.
Dan tiba-tiba, ada rasa dingin yang menjalar di pipi kanannya. Itu mampu membuat ia membuka mata dengan cepat.
Ada Rey yang sedang menempelkan sebotol air mineral dingin di pipinya, tapi tatapannya tidak mengarah padanya. Mata sendu itu mengarah lurus ke depan, tepatnya ke arah lapangan.
"Apa, nih? Buat aku?"
"Kalau lo mau."
Rai langsung mengambil sebotol air mineral itu dari genggaman Rey. "Mau, dong! Makasih, ya!"
Dari tempatnya, Rey memperhatikan bagaimana Rai meneguk air itu dengan cepat. Bahkan satu botol itu sudah tandas dalam waktu singkat.
"Lo lari dari rumah ke sekolah?"
Wajah Rai penuh dengan keringat soalnya. Rambutnya saja ada yang menempel di pipi dekat telinga, saking lengketnya.
"Iya."
Rey mengerutkan alisnya. "Kenapa gak naik umum aja? Atau gak pesen ojek?"
"Kalau umum aku gak tau naik yang mana. Kamu tau 'kan aku ini baru banget pindah ke Jakarta kemarin lusa? Aku udah coba pesen ojek, tapi gak dapet dapet. Ya udah aku lari aja."
"Kebiasaan. Kalo gak tau itu nanya."
"Males, ah! Tanya tanya kayak sok kenal aja."
Rai mulai menyeka keringatnya dengan punggung tangannya. Matahari juga semakin tinggi sekarang, membuat tatapannya tak bisa mendongak dengan bebas, karena silau matahari selalu menyapanya.
"Kamu punya tissue gak, Rey?"
"Ada. Tapi di kelas."
Rai sampai lupa, ini 'kan sudah masuk jam pertama. Kenapa juga Rey malah mengajaknya berbicara. Niatnya 'kan hanya singgah sementara disini.
"Ya udah, kita ke kelas."
Rai mulai berdiri tegak, bersiap untuk beranjak. Tapi tiba-tiba Rey menariknya untuk kembali duduk di tempat sebelumnya.
Dan Rey sekarang menata rambutnya!
"Rambut lo berantakan banget. Jijik gue liatnya."
Rai hanya bisa diam untuk menikmati gerakan tangan Rey yang menari di atas rambutnya.
"Kuncir satu aja, ya? Gue bisanya itu."
"Iya."
Gerakan tangan Rey begitu lembut. Rai saja tidak merasa kesakitan ketika rambutnya ditarik untuk disatukan dengan helai rambut lainnya.
"Udah, ayok ke kelas."
Rai mengangguk. Dan mereka mulai berjalan bersama ke dalam kelas yang sudah ramai oleh teman-temannya.
Hal pertama yang menyapa mereka ketika sampai di bangkunya adalah senyuman Lengkara dan Angkasa yang begitu mencurigakan.
Entah kenapa mereka tersenyum seperti itu. Rey saja sampai bergidik ngeri dibuatnya.
"Kenapa?" Tanya Rai yang sama penasarannya.
"Kalian pacaran?" Tanya Angkasa terlalu tiba-tiba.
Dan Rai menggeleng kuat sembari mengerutkan alisnya "enggak. Kata siapa?"
"Tadi kita liat Rey iket rambut lo soalnya." Kini Lengkara yang bersuara.
Rey menghela napas pelan mendengarnya "Ngiket rambut doang, emang salah?"
Kenapa juga hal itu bisa membuat mereka berpikir jika Rey dan Rai berpacaran? Astaga.
"Ya itu bukan lo banget, Rey! Gue aja gak pernah tuh rambutnya diiketin sama lo." Ucap Lengkara sembari memainkan jari lentiknya di akhir kalimat.
"Dia gue iketin karena rambutnya bener-bener berantakan. Gue gak nyaman liatnya."
"Tapi lo bisa kasih tau si Rai kalau rambutnya berantakan. Dia pasti langsung benerin sendiri, kok!"
Percuma berdebat dengan mereka, tidak akan ada habisnya. Rai saja sudah undur diri sejak tadi dan berbincang dengan murid lainnya.
"Perkara iket rambut doang lo pada besar-besarin. Udah ah, sana! Gue mau duduk."
"Duduk sama gue di bangku pelaminan, mau?"
Lengkara memang menyukai Rey dan berharap bisa berteman dekat dengannya. Makanya candaan seperti itu selalu saja Lengkara lontarkan.
Angkasa yang tak pernah suka dengan gombalan Lengkara, selalu menoyor jidat Lengkara pelan untuk sekedar menyadarkan.
"Jadi cewek jangan kecentilan. Udah, ayok!"
Tepat ketika dua orang rusuh itu meninggalkan bangku Rey. Guru yang mengajar di jam pertama sudah datang. Menghentikan aktivitas semua murid yang hadir sekarang.
***
Matanya terasa berat ketika guru menerangkan. Bahkan kepalanya terus saja menunduk untuk menutupi kantuk yang menyerang.
Sepertinya ini karena ia terlambat tidur semalam.
"Itu murid baru kenapa terus nunduk? Ngantuk?" Tanya Bu Tina selaku guru Akuntansi di sekolah mereka.
Ditanya seperti itu, Rai langsung mendongak dan memberikan cengirannya. Matanya bahkan belum bisa terbuka dengan sempurna.
"Ke air dulu, sana! Cuci muka, biar seger."
Ya, memang itu yang Rai butuhkan sekarang. Kesegaran.
"Saya ijin ke air, Bu."
Karena jam pelajaran masih berlangsung, keadaan sekolah terasa lengang, semua penghuninya sedang menuntut ilmu di dalam.
Langkah kaki Rai saja terdengar menggema sekarang.
Ketika sampai di kamar mandi khusus perempuan, Rai mulai menyalakan keran dan mengguyur mukanya agar rasa kantuk itu segera hilang.
Tapi belum sepenuhnya ia menampung air di telapak tangannya, ada seseorang yang tiba-tiba mematikan keran di wastafel yang sedang ia pakai.
Seorang perempuan berambut panjang kini ada di hadapannya, tengah menyilangkan tangan di depan dada, dengan tatapan angkuh seakan ia memiliki kuasa.
"Jauhin Rey." Ucapnya ketika Rai mendongakkan kepala dan menatap ke arahnya.
"Kamu siapa? Gak sopan banget tiba-tiba dateng gak ngenalin diri. Terus langsung minta aku jauhin Rey lagi."
Perempuan bername tag Rindu Jaya Sentosa itu melototkan matanya, merasa terkejut ada orang yang tak mengenal siapa dirinya.
"Lo murid baru?"
Rai mengangguk "Iya."
Pantas saja.
"Gue Rindu. Ketua OSIS di sekolah ini."
Lalu Rai mengangkat sebelah alisnya. "Terus, kenapa aku harus jauhin Rey?"
Rindu mengibaskan rambutnya ke belakang, lalu berdehem pelan. "Dia punya gue."
"Gak percaya." Balas Rai tak peduli.
Rai kembali menyalakan keran dan tak memperdulikan tatapan tajam yang diberikan Rindu padanya.
Tapi lama lama tatapan itu mengganggu juga. Mana mukanya mirip Rey lagi, gak ada senyum senyumnya.
Karena tidak mau terjebak dalam situasi yang menyeramkan, Rai langsung berbalik badan untuk keluar.
"Lo harus jauhin Rey. Ini perintah dari gue sebagai ketua OSIS di sekolah ini." Ucap Rindu lagi ketika Rai melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar mandi.
"Tapi kayaknya aku gak akan bisa jauh dari Rey. Secara 'kan kita ini temen sebangku, tetanggaan juga lagi. Maaf ya, kayaknya gak bisa."
Rai tidak suka dengan Rindu yang seakan memanfaatkan kuasanya untuk mendapatkan apa yang Rindu inginkan. Itu namanya penyalahgunaan kuasa, bukan?
"Oh iya, satu lagi. Kamu ini adik kelas aku. Bahasanya yang sopan ya, cantik." Ucap Rai sebelum akhirnya benar benar keluar.
Tidak mungkin Rindu ini seangkatan dengannya. Ketua OSIS 'kan biasanya kelas sebelas.
Sedangkan Rindu yang mendengar itu mencengkram tangannya erat, menyalurkan emosinya disana "Persetan dengan kakak angkatan. Lagi pun, gue bisa bikin lo jauh dari Rey. Liat aja nanti."
***
^^^23-Mei-2025^^^