Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Open Relationship
Vey menutup mulutnya pakai tangan, sementara Dino memperhatikan birnya. kalau saja kepala gue nggak berputar, mungkin gue bakal lebih peduli sama kecanggungan ini. Tapi ya, udah terlanjur. Gue taruh gelas di meja terus berdiri, oleng ke kanan-kiri.
"Kayaknya… gue mau ke… toilet…"
Dino langsung bangun, tarik tangan gue ke bahunya buat menyangga.
"Ayo, gue anter."
Gue muntah sampai isi perut kosong, dunia makin ngeblur. Tahu-tahu udah di kamar, Dino melempar gue ke kasur. Dia bantu gue lepasin sepatu, tapi pas mau cabut, gue narik kaosnya biar dia tetap di situ.
"Gue… nggak bakal ngelakuin hal yang nyakitin lo." Kata-kata gue belepotan, tapi kayaknya dia ngerti, soalnya dia ngelirik, terus duduk di samping gue. "Gue cuma… mau jujur aja sama lo."
Dino senyum kecil. "Lo lucu banget, bro."
Dia mengusap kepala gue kayak bocah. "Gue sama Vey nggak ada apa-apa yang serius, tapi gue appreciate kejujuran lo. Meskipun, jujur aja, gue lebih prefer kalau lo ngomongnya pas kita cuma berdua."
"Maaf." Gue ngeluh pelan. "Gue emang tolol. Kenapa hidup gue selalu berantakan?"
Dino ketawa kecil.
"Lo mesti lebih santai ngejalanin hidup, Asta." Dia geleng-geleng kepala. "Lo baru delapan belas tahun, kuliah, cewek banyak yang menempel. Udah, tinggal nikmatin aja."
Gue buka mulut, mata menempel ke atap.
"Itu bukan gue. Gue kepikiran segala macem, khawatir ini-itu. Gue pengen... jalan sama satu orang aja, kasih perhatian dan sayang ke satu orang doang dalam satu waktu. Gue nggak mau bagi-bagi perhatian setengah-setengah ke banyak orang cuma buat seru-seruan."
Gue ngeluh, buang napas. "Gue aneh, ya? Nggak normal."
Dino ketawa lagi, terus tiba-tiba tangannya megang muka gue, mencubit pelan.
"Lo jancuk, gemesin banget, Asta Batari. Hiih." Dia lepasin gue dan menyengir. "Lo ya lo, bro. Jangan pernah merasa harus jadi kayak orang lain. kalau lo mau jalan sama Vey, ya terserah. Gue bakal selalu hormatin pilihan dia."
Gue keinget Carolline.
"Kenapa kita gak pacaran aja bertiga, open relationship."
Gue ngakak sendiri kayak orang bego. Dino ikut ketawa. "Lo belajar dari mana sih, Asta?"
Dia masih ketawa sambil geleng-geleng kepala.
"Siapa yang udah ngerecokin otak polos Asta sama beginian? Anjay, anak ini udah dicemari!"
Dia pasang muka dramatis. Gue mendesis.
"Bacot."
"Udah, tidur sono, mabok."
Dia bangkit, jalan ke pintu.
"Dino?"
Dia nengok sekali lagi.
"Gue nggak bakal macem-macem sama dia. Gue cuma mau lo tahu aja."
"Tapi tetap, gue bakal hormatin keputusan dia." Dia angkat bahu. "Serius, lo santai aja. Gue baik-baik aja".
Terus dia cabut. Gue menutup mata.
Baru saja mau tidur, tiba-tiba suara hujan di jendela bikin gue melek lagi. Gue langsung keingat malam itu. Gue nggak mau melewati itu lagi. Nggak mau merasakan takut dan sakit itu lagi.
Gue tarik selimut, menutupi muka pakai bantal. Tapi bayangannya tetap datang.
Entah kenapa, pukulan pertama yang paling berasa. Itu yang bikin gue ngeh, dunia yang gue kira aman ternyata nggak seindah yang gue pikir. Tetap ada orang jahat. Ada yang nyakitin orang lain tanpa sebab, tanpa alasan.
Gue nggak lawan. Gue kasih apa yang gue punya sebagai gantinya. Tapi tetap aja, pukulan dan tendangannya melesat ke tubuhku dengan penuh amarah.
Kenapa?
Mungkin karena gue nggak ngelawan, itu juga yang bikin gue merasa kayak gini.
Gue udah nggak mau dengar suara hujan. Dengan tangan gemetar, gue cari earphone, ambil HP dari kantong, colokin, terus pasang di kuping. Gue pilih musik yang nenangin, terus menutup mata lagi.
Seperti biasa, dia muncul di pikiran gue.
Selma.
Di ingatan yang samar, dia ada di atas gue, berlutut. Rambutnya bergeser ke samping pas dia majuin badannya, payung di tangannya menjaga dia dari hujan. Gue hampir bisa cium aroma citrusnya, sejelas itu.
Aneh, bagaimana semua indera jadi lebih tajam pas gue nggak bisa lihat dengan baik.
Kehadirannya kasih gue kedamaian, kasih gue harapan yang gue butuhin. Karena saat itu, gue udah siap buat mati di sana. Karena gue udah ketakutan setengah mati, dan nggak pernah kebayang bakal mengalami hal kayak gitu. Nggak pernah ada yang nyakitin gue sekejam itu.
Gue juga nggak pernah merasa gue pantas dapat perlakuan kayak gitu. Gue selalu jadi orang baik, selalu coba kasih yang terbaik ke dunia ini.
Jadi kenapa gue malah tergeletak, kehabisan darah di gang sempit itu?
Kenapa?
..."Lo bakal baik-baik aja."...
Obsesi gue sama Selma bukan karena cinta atau hal romantis. Ini lebih ke rasa syukur, apresiasi, berterima kasih. Gue cuma pengen suatu hari bisa lihat matanya langsung dan bilang makasih dari hati.
Karena di saat paling gelap, saat gue kehilangan semua harapan, saat dunia yang gue pikir baik-baik saja ternyata hancur berantakan, dia datang. Dia ambil potongan-potongan itu, terus lewat tindakannya, seakan dia bilang, "Jangan berhenti percaya. Masih ada kebaikan di dunia ini."
Mungkin buat dia itu cuma hal wajar, nolong orang dalam keadaan kayak gue.
Tapi buat gue?
Itu segalanya.
Merasakan hangatnya di tengah dingin yang menggigit.
Lo nggak bakal ngerti gimana rasanya bakal mati sendirian, tanpa siapa-siapa di samping lo. Kadang, satu pelukan doang bisa jadi alasan buat lo bertahan lebih lama, buat lo tetap melek sedikit lebih lama.
Gue buka Instagram, terus nulis satu post tanpa alasan yang jelas. Mungkin Selma bahkan nggak punya Instagram, dan kemungkinan buat dia lihat juga kecil. Tapi gue harus ngelakuin sesuatu.
Post-nya cuma gambar dengan tulisan "Selma" gede di tengah. Nggak ada yang lain.
Gue taruh HP tanpa berharap apa-apa, terus balik menatap jendela. Tetesan hujan turun pelan, meluncur di kaca. Nafas gue mulai stabil, rasa panik tadi udah agak reda. Tapi untuk percaya lagi itu nggak gampang.
Sementara gue tidur, mabok, dan nggak sadar apa-apa, ternyata semesta sedang bekerja.
Selma lihat post gue.
Mungkin dia bisa merasakan kalau gue butuh dia, atau betapa gue pengen tahu kabarnya. Karena entah kenapa, itu cukup buat bikin dia akhirnya muncul.
Bukan cuma nge-like, dia juga ninggalin komentar.
Pagi ini, gue bangun dengan kejutan di kolom komentar,
..."Gue masih nggak mengizinkan cowok buat meluk gue, jadi lo tetap harus merasa beruntung."...
Gue senyum lebar pas baca itu.
Rasanya kayak dunia lagi bilang ke gue, "Gak apa-apa buat percaya lagi."
Iya, hal buruk bakal tetap terjadi, tapi bakal ada juga momen-momen kecil yang bikin lo ketawa, kejutan-kejutan yang datang tiba-tiba.
Dan mungkin, ini bisa jadi awal.
Langkah pertama gue buat balik ke kehidupan normal.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢