Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7 : Putri Bangsawan Lebih Pantas, Bukan Dia
Sejak kejadian di aula itu, Yvaine mulai berubah. Ia yang dulu selalu menolak duduk di ruang rapat dewan, kini perlahan belajar tata negara dan politik. Ia bahkan mulai mempelajari hukum, strategi diplomasi, dan cara menjaga wibawa kerajaan.
Awalnya, Yvaine hanya berdiri diam di sisi Marius, sekadar menemani ayahnya saat membicarakan urusan diplomatik. Namun, hari-hari berikutnya membawanya lebih jauh. Ia sudah mampu menyambut utusan secara pribadi, bahkan menerima tamu kerajaan tanpa harus bergantung pada ayah dan ibunya.
Buku-buku misteri yang dulu menumpuk di kamarnya kini tergantikan oleh lembar-lembar strategi perang. Meski tidak memahami segalanya, ia sudah cukup menguasai dasar-dasar pertahanan dan siasat kerajaan. Dari satu pertemuan ke pertemuan lain, ia menyerap ilmu dengan cepat. Diam-diam, tanpa sepengetahuan siapa pun, Yvaine mengikuti pendidikan istana: filsafat, sastra, sejarah, hingga bahasa asing.
Namun malam itu, usai menghadiri kelasnya yang tersembunyi, ia mendengar sesuatu. Saat melewati lorong sunyi, suara samar terdengar dari balik dinding. Yvaine berhenti, punggungnya menempel pada batu dingin, telinganya berusaha menangkap setiap kata.
“Beberapa hari ini, Putri Yvaine selalu muncul di acara resmi. Ia bahkan ikut dalam rapat bersama Raja Marius,” suara seorang pria bergema pelan, penuh nada mencibir.
Suara lain menyahut, lebih tajam, “Ikut, ya ikut… tapi apa yang ia lakukan? Diam saja. Semua itu hanya formalitas saja. Semua orang tahu tak seorang pun menginginkannya sebagai pewaris.”
Mata Yvaine membesar, napasnya tercekat. Namun ia tetap mendengarkan.
“Jelas,” sambung suara lain, lebih dingin, “tak ada yang menginginkan ketiga putri Marius. Mereka semua tak bisa diatur. Hanya gadis-gadis liar yang sibuk mengejar kebebasan, bukan tanggung jawab.”
Jantung Yvaine berdegup keras. Tangannya mengepal kuat hingga kukunya menusuk telapak. Ia berbalik, berniat meninggalkan tempat itu, tetapi sebuah kalimat lain menahan langkahnya.
“Putri bangsawan itulah yang pantas menjadi pewaris, bukan dia.”
Kedua kakinya goyah, namun ia tetap melangkah, berusaha tak menimbulkan suara. Ia tidak tahu siapa yang berbicara di balik dinding itu, tapi satu hal kini jelas di pikirannya.
“Jadi ini…sesuatu yang tidak kuketahui?”
Yvaine kembali ke kamarnya dengan beberapa buku tebal di pelukannya. Begitu masuk, ia meletakkannya di atas meja, menumpuk tanpa sempat merapikan. Tubuhnya terasa berat, kepalanya berdenyut sejak tadi, namun ia berusaha menahannya. Dengan langkah lelah, ia menuju ruang ganti untuk menukar pakaian.
Belum sempat sampai, lututnya melemas. Pandangannya berkunang-kunang. Napasnya terputus seketika sebelum tubuhnya ambruk keras ke lantai dingin.
Suara benturan membuat pintu kamarnya berguncang. Dari luar, Cealia yang malam ini diminta menemaninya, terkejut. Ia buru-buru membuka pintu, dan matanya langsung membelalak saat melihat Yvaine tergeletak tak sadarkan diri.
“Putri Yvaine!” serunya panik.
Cealia berlari menghampiri, berlutut di sisinya, mengguncang bahunya pelan sambil memanggil namanya berulang-ulang. Namun tak ada jawaban, hanya wajah pucat yang semakin membuatnya cemas.
Jantung Cealia berdetak kencang. Tanpa pikir panjang, ia segera bangkit, berlari keluar kamar secepat mungkin untuk mencari bantuan. Suaranya menggema di lorong istana, memecah keheningan malam.
“Seseorang, tolong…”
Suara panik Cealia yang bergetar saat berteriak mencari pertolongan terdengar jelas di lorong. Di saat bersamaan, seorang pria yang baru saja hendak meninggalkan ruangannya terhenti.
Cealia segera menghampirinya dengan langkah tergesa, napasnya memburu. “Tuan Lysander!” serunya penuh cemas.
Lysander menoleh, alisnya berkerut sebelum menunduk menatap Cealia yang wajahnya pucat panik. “Ada apa, Nona Cealia? Mengapa kau memanggilku dengan suara seperti itu?” tanyanya, suaranya dalam dan penuh kewaspadaan.
Dengan dada yang naik-turun karena terengah, Cealia menjawab cepat, hampir terbata, “Tolong… Putri Yvaine… beliau pingsan di dalam kamarnya.”
Mata Lysander seketika membesar, ekspresinya berubah tegang. Ia tak menunggu penjelasan lebih lanjut, melainkan langsung bergegas mengikuti Cealia menuju kamar Yvaine.