Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?
Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.
“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.
Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hijrah Rasa - 07
Matahari pagi menembus kaca jendela apartemen, memantulkan cahaya hangat ke dalam kamar. Farah masih terlelap di atas ranjang, namun sinar matahari yang mulai terasa panas di wajahnya membuat gadis itu bergeser menepi, berusaha menghindari silau.
Pintu kamar tiba-tiba terbuka dari luar, menampilkan seorang gadis berjilbab instan berwarna hitam. Di tangannya, segelas air tampak berembun. Ia melangkah mendekat ke arah Farah dengan wajah sebal.
“Astagfirullah! Calon istri siapa ini, jam segini belum bangun.” Gadis itu menggeleng pelan. “Bangun, hei!” ujarnya lagi.
Tak ada reaksi. Farah justru tampak semakin pulas.
“Astagfirullah…” pekik gadis itu lagi. “Fa… bangun woi!” Ia lalu menyiramkan sedikit air ke wajah Farah. Gadis yang tertidur itu meliuk, mengeliat, sebelum akhirnya membuka mata perlahan.
Farah memicing, lalu menutup matanya lagi.
Zira—gadis berjilbab itu—mendorong dahi Farah dengan ujung telunjuknya.
“Bangun nggak.”
“Ish… apasih? Kamu ngapain di sini, Ra?” tanya Farah setengah sadar.
Zira melongo. “Hah? Kamu tanya aku ngapain di sini? Halo… kamu sekarang lagi di apartemen aku, Fara Danila Al Janna.”
Mata Farah membulat. Ia sontak bangkit dari tempat tidur, menatap sekeliling dengan bingung. “Kok bisa aku di sini? Semalam kan aku…”
“Mabok. Dan kamu datang gedor-gedor pintu apartemen aku, tau!” sergah Zira sambil memutar bola matanya. “Untung Mas Rayyan lagi di Solo. Kalau dia ada di sini, bisa habis aku diomelin.”
Farah terdiam, mencoba mengingat kejadian semalam. “Emang iya?”
Zira mendesah malas. “Pakai tanya lagi. Udah jelas kamu ada di sini.”
Tiba-tiba Farah melonjak berdiri. “Jam berapa sekarang?” tanyanya panik, matanya berkeliling mencari jam.
“Kenapa sih?” Zira melirik jam di tangannya. “Jam sebelas pas sekarang.”
Farah langsung beranjak. “Aku harus pergi sekarang,” katanya cepat, lalu melesat menuju kamar mandi.
Zira mengerutkan kening, mengikuti langkah Farah. “Mau ke mana sih?”
“Perjuangin masa depan aku,” sahut Farah dari dalam kamar mandi.
“Cih. Lebay.”Cibirnya Zira kembali duduk di tepi tempat tidur dengan pasrah.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka sedikit dan kepala Farah menyembul keluar. “Ra… aku pinjam baju kamu ya.”
“Astagfirullah, Farah!” Zira terlonjak kaget, spontan melempar bantal ke arah Farah.
“Kenapa sih? Aku cuma mau pinjam baju doang kok,” ucap Farah santai.
Zira berdiri dan menghampirinya. “Mau pinjam baju apa? Baju aku sekarang bahannya cukup semua, udah nggak ada yang kurang bahan.”
“Serah deh, baju apa aja aku pakai,” jawab Farah enteng, lalu kembali menutup pintu kamar mandi.
“Emang mau ke mana sih?” tanya Zira lagi.
“Mau ke kantornya Abang Azzam,” teriak Farah dari dalam kamar mandi.
Zira mendekat ke pintu. “Mau ngapain? Jangan aneh-aneh ya kamu.”
“Nggak aneh kok… cuma mau minta dia nikahin aku,” jawab Farah tanpa ragu.
Kalimat itu disambut tawa lepas dari Zira.
__
Farah sedang berdiri di depan gedung Moonlight Corporation dengan wajah sumringah serta senyum yang sejak tadi mengulas di bibirnya tak pernah pudar. Gadis dengan gamis coksu dan pashmina di lehernya, berjalan santai memasuki lobi kantor. Security yang berjaga sempat menyapanya, begitu pula resepsionis. Farah cukup dikenal di sana karena ia pernah beberapa kali hadir dalam acara besar MoonLight, baik bersama Zira maupun dengan ayahnya.
Farah langsung saja masuk menuju dimana letak Cafetaria MoonLight. Ia duduk di meja tempatnya kemarin menunggu Azzam.Setengah jam lagi jam istirahat kantor.Karena masih sepi Gadis itu berdiri hendak memesan makanan dan minuman karena memang sejak bangun tadi belum ada secuil makanan pun yang masuk ke dalam perutnya.
Farah asyik menikmati makanan yang ia pesan tadi, sambil menggulir layar ponselnya dan membalas pesan-pesan dari Zira dan Papanya. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas tepat — waktu istirahat pun dimulai. Tak lama kemudian, sekelompok karyawan keluar berbondong-bondong dari kantor yang berada satu gedung dengan kafe tempat Farah duduk.
Farah celingak-celinguk mencari keberadaan Azzam, namun batang hidung pria itu tak juga terlihat di sana. Sudah lama ia menunggu, tetapi Azzam tak kunjung datang. Padahal, menurut Zira, berdasarkan informasi yang didapat dari sekretaris Azzam, pria itu sedang sibuk dengan banyak pekerjaan di kantor hari ini dan tidak memiliki jadwal rapat di luar kantor.
Farah menghela pelan. Ia mulai bosan menunggu—sudah hampir satu jam ia duduk di sini. Kafetaria perlahan mulai sepi.
“Apa aku bawain makanan aja ya ke ruangannya?” gumam Farah, menimbang-nimbang keputusan yang akan ia ambil. “Eh, tapi jangan deh, nanti malah ganggu. Tapi gimana dong… aku butuh dia buat ke Venezia.”
Farah mengacak rambutnya dengan frustasi.
Di tengah kefrustasian Farah kini Azzam muncul dari balik pintu cafetaria bersama sekretarisnya dan juga Sienna wanita yang bersama Azzam kemarin.
Farah tersenyum lebar tak ingin buang-buang waktu ia melambaikan tangan ke arah Azzam dan menyebut nama Pria itu.
“Bang Azzam.” Pekik Farah.
Seketika yang di panggil menoleh.Terkejut, oh tentu tidak Azzam sudah menduga gadis itu akan datang hari ini.
Sienna yang bersama Azzam, terlihat menatap Farah tajam dengan tidak sukanya pada Farah.
“Ngapain lagi dia disini?kalian ada hubungan apa sih?” Tanya Sienna setengah kesal pada Azzam.
Farah terus memanggil-manggil Azzam sesekali melambaikan tangannya kearah Pria itu.
Azzam hanya menggeleng pelan, semua mata tertuju pada keduanya, walau tempat ini sudah tidak seramai tadi, tetap saja ia masih jadi pusat perhatian disana.
Dengan langkah malas Azzam menghampiri gadis itu.Azzam sempat tercengang dengan penampilan Farah hari ini yang sedikit tertutup dan ada hijab pasmina yang ia selempang di lehernya.
“Apa.” Ucap Azzam saat sudah berada didepan Farah. “Ngapain kamu di sini, belum jelas ya apa yang saya katakan kemarin.” Ujar pria itu dingin.
Farah mengulas senyum lebar, sekan senyum itu ia paksakan. “Ketemu kamu. Kalau kamu jadi suami aku, aku nggak bakal ganggu kamu lagi kok.” Ucap Farah ucapan dan hatinya sangat berbeda jauh, di hatinya saat ini, ingin memaki-maki pria di depannya ini.
“Terserah lo deh.” Ujar Azzam, belum juga duduk Pria itu sudah pergi lagi.
Farah menghela napas pelan. “Gagal lagi deh. Besok coba lagi.Semangat demi Venezia.” Gumamnya untuk diri sendiri.
____
Sudah seminggu lebih Farah terus datang ke kantor Azzam, menunggu di kafetaria MoonLight tempat itu sudah menjadi tempat favoritnya.
Kadang Azzam tidak makan siang di sana atau sedang ada meeting di luar kantor tapi Farah tetap menunggu disana, tak jarang gadis itu memesankan makanan untuk Azzam jika tahu pria itu sedang sibuk-sibuknya dan tidak sempat makan siang.
Azzam menggeleng pelan saat kembali melihat Farah ditempat yang sama Gadis itu menunggu semingguan ini.
“Kita lihat sampai kapan kamu bertahan.” Bisik pria itu pelan hanya dirinya yang mampu mendengar.
Tapi lain halnya dengan Sienna wanita itu terlihat kesal. “Itu cewek ngapain sih? Udah seminggu loh dia disini, nggak ada kerjaa emang dia.” Kesal Sieena.
“Kalau ada kerjaan nggak mungkin disini dia mbak,” timpal Haris. Hal hasil membuat Sienna geram dengan ucapanya.
Farah masih sama, ia selalu melambaikan tangan kearah Azzam saat pria itu muncul, bahkan terlihat saat ini ia sedang menghilangkan urat malunya demi memohon pria itu untuk menikahinya.
Apa boleh buat semua sudah ia jalankan dan sudah di tengah jalan, dan ia tidak ingin mimpinya berakhir disini.
Seperti biasa Azzam tidak peduli akan kehadiran gadis itu, Pria itu berlalu begitu saja ia hanya menoleh sekilas dan kembali cuek seolah Farah hanyalah nyamuk yang mengusik lalu menghilang.
Farah tak mau menyerah, hari ini ia membawah makanan kesukaan Pria itu. Dengan mantap ia menghampiri Azzam yang tengah bersama Sienna dan juga Haris.
“Bang Azzam.” Panggil Farah dengan wajah cerianya.
Bukannya Azzam yang menjawab melainkan Sienna. “Ngapain sih lo!”
Farah mengulas senyum. “Mau kasih makanan buat bang Azzam. Banyak kok ini bisa bagi-bagi.” Sembari menyodorkan dua kotak dimsum mentai yang di belinya di tokoh depan Kantor.
Sienna mendecit.“Cih.Bawah pulang sana,” usir Sienna.
“Loh jangan Mbak,” timpal Haris sembari mengambil kotak dimsum itu dari Farah.
Farah tersenyum kecut, sudah seminggu lebih bahkan Azzam tidak pernah menerima makanan yang ia bawah, terlihat sorot frustasi dimatannya. Ia menatap Azzam pria itu sama sekali tidak menoleh kearahnya.Dingin.
Sepertinya ia memang harus menyerah, mungkin ia harus menempuh jalan lain. Farah mengela pasrah.Dengan langkah gontai ia meninggalkan Cafetaria, sepertinya ini hari terakhirnya datang ketempat ini.
Sebelum benar-benar keluar dari kafetaria, Farah menoleh Pada pria yang tengah sibuk berbincang di dalam sana.Tak sedikit pun Pria itu menoleh ke arahnya.
Farah menghembuskan napas kasar. “Semuanya udah selesai Fa.Gagal,”ucapnya pada diri sendiri.
Saat ini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun ia benar-benar mati langkah.
Teringat kembali percakapannya dengan Danial kemarin saat ia mengunjungi pria itu.
Farah menghempaskan diri di kursi depan meja ayahnya. "Pa… kenapa Papa blokir semua fasilitas Farah?"
Danial tersenyum tipis, jari-jarinya masih sibuk di layar. "Papa sudah bilang, Papa bisa lakukan apa saja."
Farah mengepalkan tangannya. Semua fasilitasnya diblokir. Rekening, kartu kredit, bahkan biaya apartemen. Biaya kuliah dan hidup di Venezia terlalu mahal, bekerja setahun pun tidak akan cukup menutupinya.
"Apa harus dengan menikah, Pa?" suaranya bergetar.
Akhirnya, Danial meletakkan iPad-nya. Matanya menatap Farah dalam. "Hanya itu yang Papa mau. Papa nggak akan menjerumuskan kamu ke hal buruk."
Dentingan suara lift membuyarkan lamunannya, pintu terbuka dan ia segera masuk.
Farah mendongkak pada langit-langit lift untuk menahan air matanya agar tak tumpah mencoba mengipasi wajahnya.Tak berselang lama pintu lift terbuka ia segera keluar dari sana dengan terburu-buru.
Air matanya sudah tak mampu terbendung,ia berlari sekuat tenaga menuju taman yang ada di depan kantor bukan ke parkiran dimana mobilnya berada.Ia melupakan tangisnya di sana benci, kesal, dan perasaan carut-marut yang sulit dijabarkan oleh nalarnya bercampur menjadi satu. Lagi-lagi, Tuhan kembali menghancurkan mimpinya.
“Cuma gini caranya,Hah!” Protesnya pada pemilik hidupnya.
Air matanya terus bercucuran. Ia tak peduli meski banyak orang melihatnya—mungkin bahkan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi padanya. Farah tidak peduli semua itu; yang ia tahu saat ini ia sedang kecewa.
Di Tengah kegundahan hatinya, sebuah suara mengalihkan atensinya.
“Fa…”
***
Jangan lupa like, komen dan subscribe.
serta follow juga authornya.
Kamshammida