NovelToon NovelToon
Berjalan Di Atas Luka

Berjalan Di Atas Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Ibu Mertua Kejam / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Dina Aisha

Hidup hanya untuk berjalan di atas luka, itulah yang dialami oleh gadis bernama Anindira Sarasvati. Sejak kecil, ia tak pernah mendapat kasih sayang karena ibunya meninggal saat melahirkan dirinya, dan ayahnya menyalahkan Anin atas kematian istrinya karena melahirkan Anin.

Tak hanya itu, Anin juga selalu mendapat perlakuan tak adil dari ibu dan adik tirinya.
Suatu hari, ayahnya menjodohkan Anin dengan putra sahabatnya sewaktu berperang melawan penjajah. Anin tak memiliki pilihan lain, dia pun terpaksa menikahi pria bernama Giandra itu.

Bagaimana kisah mereka selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aisha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perhatian Giandra

Pagi menyapa dengan cahaya keemasan yang menembus tirai kamar. Giandra mengerjap pelan, cahaya matahari menusuk matanya. Ia membuka mata sambil menguap lebar.

“Jam berapa sekarang?” gumamnya.

Ia memiringkan tubuh, menatap Anin yang masih terlelap dengan napas teratur. Wajah gadis itu tampak polos, seperti bayi. Giandra tertegun, bibirnya terangkat membentuk senyum tipis.

“Bagaimana bisa aku tega menyetubuhi wanita yang wajahnya seperti bayi?”

Giandra beranjak perlahan agar tak membangunkan Anin, kemudian melangkah keluar kamar.

...🌹🌹🌹...

Giandra berjalan ke arah dapur. Aroma kopi menyambut kedatangannya.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Giandra pada Sudarsono yang duduk di meja makan.

“Pagi juga, Giandra. Di mana Anin?” tanya Sudarsono seraya mengaduk gelas berisi kopi hitam.

“Masih tidur, Pak,” jawab Giandra.

“Lalu, kenapa kamu udah bangun? Harusnya kamu di kamar. Bikin cucu buat saya,” godanya, lalu terkekeh kecil.

Giandra tersenyum tipis. “Saya lapar, Pak. Jadi saya mau bikin sarapan.”

“Oh, ya sudah. Bapak duduk di teras ya,” ujar Sudarsono, lalu beranjak, dan melangkah meninggalkan dapur.

Giandra mengambil bawang putih, mengirisnya tipis-tipis, lalu menumisnya di wajan panas. Seketika aroma harum memenuhi dapur.

“Giandra, ngapain kamu di sini?” Siti berdiri di ambang pintu.

“Saya masak nasi goreng untuk sarapan, Bu,” jawab Giandra sopan.

“Loh, kenapa bukan Anin yang masak? Memangnya ke mana anak itu? Males sekali dia, masa suaminya disuruh masak,” cemooh Siti.

“Saya sengaja nggak bangunin Anin karena saya mau buatin sarapan untuknya,” jawab Giandra sambil tetap mengaduk nasi di wajan.

Siti mendengus. “Tetap saja, masak itu tugas perempuan. Kalau dibiasain begini, Anin bisa jadi istri pemalas.”

Giandra menoleh sekilas. “Maaf, Bu. Setahu saya, masak juga bisa dikerjakan oleh suami. Ibu tiri saya selalu bilang suami itu wajib membantu istrinya. Menikah kan untuk hidup bersama jadi nggak ada salahnya berbagi tugas.”

Siti mendecak kesal, tak puas dengan jawaban menantunya. Dia pun berbalik, melangkah meninggalkan dapur.

...🌹🌹🌹...

Giandra masuk ke kamar dengan nampan di tangannya. “Ternyata dia masih tidur,” gumamnya.

Ia meletakkan makanan di meja sebelah tempat tidur, melirik Anin yang menggaruk kepala tanpa membuka mata. “Aku mandi dulu ya, sayang,” bisiknya, lalu masuk ke kamar mandi.

Di kasur, Anin menggeliat manja. Matanya mengerjap pelan, lalu menguap lebar. “Duh, nyenyak banget tidurku sampai pinggang pegal.”

Anin duduk di tepi kasur, tiba-tiba matanya menangkap sepiring nasi goreng di meja. “Punya siapa ini?”

Ia memandang sekeliling. Tak ada siapa pun, selain dirinya. Tanpa pikir panjang, Anin bangkit, mengambil piring, dan mulai melahapnya.

“Enak banget,” ucapnya dengan mulut penuh makanan.

Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Anin tercengang memandang Giandra keluar hanya mengenakan handuk yang terlilit di pinggang, bahkan tetesan air masih menuruni dada bidangnya.

“Tikus!!” teriak Giandra.

Anin tersentak, tatapannya tertuju ke lantai. “Mana tikusnya?” tanyanya dengan sisa nasi di mulutnya.

“Itu dia tikusnya.” Giandra menunjuk Anin yang sedang memegang piring.

“Aku?” Anin mengernyit.

“Iya, nasi goreng itu buatanku!” seru Giandra seraya mengerucutkan bibir.

Anin melotot. “Aku pikir Bi Surti yang taruh makanan di sini,” tuturnya.

Giandra melangkah mendekat, duduk di sisi ranjang, lalu mendekati wajah Anin hingga hanya berjarak sejengkal.

Anin menelan saliva. “Kamu kenapa?” tanyanya gugup.

“Suapin,” pinta Giandra manja.

Anin duduk di sampingnya, menyuapi sisa nasi goreng ke mulut suaminya.

“Oh iya, nasi goreng ini beneran buatan kamu?” tanya Anin.

“Iya,” jawab Giandra santai.

“Kamu bisa masak?” Anin menatap lekat wajah Giandra.

“Kenapa? Nggak percaya? Mau lihat aku masak?” Giandra bertanya balik.

“Bukan nggak percaya tapi jarang ada laki-laki yang bisa masak. Biasanya semua pekerjaan rumah dibebankan ke perempuan,” jawab Anin.

“Kamu nggak akan rasain hal itu. Selama jantungku masih berdetak, tanggung jawab kita kerjakan bersama karena aku menikahimu untuk jadi pendamping hidup,” tutur Giandra.

Anin terpaku. Giandra semakin mendekatkan wajahnya hingga Anin bisa merasakan embusan napasnya.

...🌹🌹🌹...

Mobil terhenti di pekarangan rumah. Giandra dan Anin turun, berjalan menuju teras. Giandra membuka pintu, kemudian masuk ke dalam.

“Memangnya nggak jadi masalah kalau kita tinggal di rumah orangtuamu?” tanya Anin seraya menatap Giandra.

Giandra tersenyum hangat. “Nggak. Justru bapak paksa aku tinggal di sini. Lagi pula tabunganku belum cukup untuk beli rumah sendiri.”

Anin mengangguk pelan. Jemarinya menggenggam erat tangan Giandra, tiba-tiba langkah Giandra terhenti ketika dua wanita berdiri di depannya, sorot mata mereka menelusuk tajam.

“Jadi ini istrimu?” tanya wanita yang berdiri di sebelah Astri.

“Iya, Kak,” jawab Giandra tenang.

Anin mengernyit. “Siapa dia?”

“Kakak iparku. Istrinya Kak Hanif,” jawab Giandra.

Wanita itu mendekat dengan senyum tipis yang terasa menusuk. “Kenalin, nama saya Sri,” katanya, berdiri di depan Anin, mengulurkan tangan.

Anin pun membalas jabatan tangannya. “Saya—Anindira.”

Sri tersenyum sinis. “Semoga kamu bisa jadi menantu yang baik untuk ibu.”

Dia melepaskan genggaman tangannya, membuang muka, dan kembali berdiri di sebelah ibu mertuanya.

Astri menatap tajam Anin. “Dengar baik-baik, sebagai menantu, kamu wajib mematuhi semua perintah saya. Kalau tidak, cerai saja dari Giandra!”

“Maaf, Bu. Meskipun Anin menolak perintah ibu, aku tidak akan menceraikan dia!” tegas Giandra.

Giandra mempererat genggamannya, membawa Anin melewati dua perempuan itu, dan menaiki tangga.

“Giandra itu kurang ajar! Dia berani melawan ibunya sendiri,” desis Sri.

“Dia terpengaruh oleh ibu tirinya,” timpal Astri dingin.

...🌹🌹🌹...

Langkah Giandra dan Anin terhenti di depan kamar. Giandra membuka pintu dan menarik Anin masuk.

“Ini kamarmu?” tanya Anin, matanya menyisir setiap sudut ruangan yang penuh oleh berbagai macam lukisan.

“Iya, dan sekarang kamar ini juga kamarmu,” jawab Giandra lembut.

Anin mendekati satu lukisan yang menarik perhatiannya. “Siapa wanita ini?” tanyanya, menunjuk satu-satunya lukisan perempuan di sana.

“Dia wanita bodoh yang hampir bunuh diri di jembatan,” jawab Giandra.

Anin mengernyit. “Siapa?”

“Kamu lupa?” Giandra melangkah mendekat. “Aku adalah orang yang menolongmu saat mau loncat dari jembatan,” ungkapnya.

Anin mematung, berusaha mengingat wajah pria di malam itu. Namun, kepalanya mendadak pusing.

“Aku nggak bisa ingat wajah kamu,” ucap Anin pelan.

Giandra tersenyum tipis, meraih jari-jemari Anin. “Nggak papa. Setelah ini, kamu nggak boleh lupain wajahku lagi. Selamanya sampai kita mati.”

Ia menarik Anin duduk di tepi kasur. “Ayo, tidur. Udah malam,” ujarnya.

“Aku mau bersih-bersih dulu,” jawab Anin, melepas genggaman Giandra.

Anin hendak melangkah ke arah kamar mandi. Tiba-tiba lampu padam, kamar mendadak gelap gulita.

“Kenapa mati lampu?” tanya Anin.

“Nggak tahu. Biasanya selalu ada pemberitahuan kalau mau pemadaman listrik,” jawab Giandra.

Anin meraba sekitar, mencari sosok suaminya. “Kamu di mana, Gian?”

“Aku di sini.” Gian mengulurkan tangan, menuntun Anin duduk di sebelahnya.

“Aku takut,” ucap Anin lirih.

“Tenang, ada aku,” ujar Giandra.

Ia menarik Anin ke dalam pelukannya, jemarinya mengusap rambut istrinya dengan penuh kasih. Anin bersandar di dada Giandra, mendengarkan detak  jantung suaminya yang stabil.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!