Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.
Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.
Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
07. Berusaha Menjaga Jarak
Elena duduk tegak di kursinya, jemarinya lincah menari di atas keyboard. Wajahnya terlihat serius saat meneliti jadwal di layar komputer. Ia tengah menyusun agenda untuk Damian besok. Menata jam demi jam dengan cermat, memastikan tidak ada celah yang terlewat.
Hari ini jadwal Damian relatif longgar. Tidak ada pertemuan khusus, hanya memeriksa berkas-berkas yang menumpuk serta menandatangani beberapa dokumen penting. Meski begitu, Elena tetap melaksanakan tugasnya dengan kesungguhan penuh.
Tatapannya lalu beralih ke mesin printer di sisi meja kerjanya. Suara mesin yang semula terdengar, sekarang telah terhenti. Elena pun bangkit dari kursinya, melangkah mendekati printer. Ia menarik lembar demi lembar kertas yang masih hangat, meneliti setiap kata untuk memastikan tidak ada yang terlewat ataupun salah cetak.
Setelah dirasa cukup, ia merapikan dokumen itu dengan satu tepukan ringan di meja printer, lalu membawanya kembali ke mejanya. Dengan cekatan, ia memasukkan dokumen-dokumen itu ke dalam map clipboard hitam.
Dengan memeluk map hitam itu di depan dada, ia melangkah menuju ruangan Damian. Ia berdiri tegak di depan pintu, lalu mengetuknya perlahan.
“Masuk.”
Dari dalam terdengar suara berat Damian, tenang namun berwibawa.
Elena segera membuka pintu, lalu melangkah masuk. Pandangannya langsung jatuh pada sosok pria itu.
Damian duduk di balik meja kerjanya yang megah, tubuhnya sedikit condong ke depan. Di tangannya ada sebuah berkas, matanya bergantian meneliti lembar kertas dan layar komputer yang terpampang di hadapannya. Pena di jari-jarinya bergerak, meninggalkan catatan singkat di margin berkas sebelum ia kembali fokus meneliti baris demi baris dokumen itu. Damian tampak begitu serius, seakan dunia luar tidak ada artinya.
Dengan senyum tipis, Elena melangkah lebih dalam, mendekat ke meja pria itu sambil membawa map yang sudah ia siapkan.
“Om, ini berkas yang perlu ditandatangani,” ucap Elena sambil meletakkan map hitam yang dibawanya ke hadapan Damian.
“Hm.”
Jawaban singkat itu meluncur dari bibir Damian tanpa sedikit pun ia mengalihkan pandangan dari berkas di tangannya.
Satu alis Elena terangkat. Reaksi dingin itu terasa seperti penolakan halus. Biasanya Damian akan menatapnya, tersenyum, atau setidaknya memberi perhatian. Tapi kali ini? Tidak ada.
“Kau boleh keluar. Aku akan menandatanganinya nanti,” lanjut Damian, pandangannya kini kembali tertuju pada layar komputer.
Senyum samar muncul di wajah Elena. Ia tahu, Damian sedang berusaha menjaga jarak.
“Oh… ternyata dia mencoba menghindariku. Menarik,” batinnya, sambil tertawa kecil di dalam hati.
Namun bukannya pergi, Elena justru mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
“Om mau makan siang apa?” tanyanya seolah tidak mendengar perintah barusan, suaranya bahkan berusaha ia lembutkan.
Damian akhirnya meletakkan berkas di tangannya, menghela napas panjang. Ia membuka kacamata kerjanya dan menaruhnya di meja. Sorot matanya kini lurus menatap Elena, tajam sekaligus serius.
Senyum samar Elena pun langsung berganti menjadi senyum ramah.
“Elena.”
“Ya?”
Damian menggenggam kedua tangannya, lalu meletakkannya di atas meja, seakan ingin memberi garis tegas.
“Kau bekerja untukku sebagai sekretaris. Maka yang paling penting adalah mengedepankan etika. Kau tidak boleh melewati batas seperti yang kau lakukan pagi tadi. Aku atasanmu, jadi kumohon kau mengerti itu.” Damian berhenti sebentar, memberi tekanan pada kalimat terakhirnya, “Dan ya, panggil aku Tuan Damian, bukan Om.”
Elena menunduk, senyum ramah yang tadi mengembang di wajahnya perlahan memudar. Ia pun mengangguk samar sebagai jawaban.
“Baiklah, kalau Om—ah, bukan… maksudku Tuan Damian, saya siap mematuhi perintah Anda,” ucap Elena.
Perlahan ia mengangkat kepala. Wajahnya dibuat semurung mungkin, seakan benar-benar menerima teguran itu dengan berat hati.
“Kalau begitu, saya permisi.”
Ia menunduk hormat, lalu melangkah keluar, dan menutup pintu dengan hati-hati.
Damian menghela napas panjang, lalu meremas pelipisnya.
“Apakah aku terlalu kejam?” gumamnya lirih.
Namun, dengan cepat ia menggeleng. Sikap tegas seperti itu harus dilakukan. Ada garis batas yang tidak boleh dilanggar, apalagi ketika perasaan mulai ikut campur. Ketertarikannya pada Elena sudah salah sejak awal.
Selain itu, ada hal yang jauh lebih besar. Ia tidak ingin memberi celah bagi karyawannya yang lain untuk merasa iri atau berprasangka. Ia adalah pemimpin, dan seorang pemimpin harus mengedepankan keadilan, bukan perbedaan perlakuan.
Di luar ruangan, Elena melangkah dengan wajah tertahan. Begitu tiba di meja kerjanya, ia menendang kaki kursi dengan pelan, sekadar melampiaskan kekesalannya. Tatapannya kemudian beralih pada pintu ruang kerja Damian yang baru saja ia tinggalkan. Sorot matanya meruncing, bibirnya melengkung samar.
“Kita lihat sampai mana kau tahan untuk menghindariku,” gumamnya lirih, suaranya terdengar penuh tantangan.
Ia meraih ponsel dari atas meja, menggenggamnya erat, lalu melangkah menuju lift. Ia hendak menuruni gedung menuju kantin di lantai satu.
Keluar dari lift, Elena berjalan ke sisi samping lobi, menyusuri koridor menuju kantin. Suara obrolan karyawan mulai terdengar samar, bercampur dengan aroma makanan yang menyeruak dari balik pintu. Saat tiba di ambang pintu, ia berhenti sejenak. Matanya menelusuri deretan karyawan yang tengah mengantri, ramai, dan riuh.
Namun tiba-tiba, sebuah tubuh menabrak bahunya. Elena sedikit terhuyung, lalu memegang bahunya dengan kesal. Tatapannya tajam, langsung diarahkan pada sang pelaku.
“Ah, maafkan aku. Aku tidak sengaja,” ucap seorang wanita sambil tersenyum canggung, jarinya membentuk tanda V.
Belum sempat Elena merespons, bahu wanita itu langsung dirangkul seorang pria yang datang dari belakang.
“Hei, lepaskan aku!” sang wanita memukul lengan si pria, tapi pria itu hanya tertawa kecil sebelum akhirnya melepaskannya.
Mata pria itu lalu beralih pada Elena. Senyumnya hangat, tapi justru membuat Elena refleks waspada.
“Oh, hai. Aku sepertinya tahu siapa dirimu,” ucapnya pelan.
Wanita di sampingnya menoleh bingung, “Siapa?”
“Bodoh,” pria itu menjentikkan jarinya ke dahi wanita itu.
“Aw! Sakit tahu!” protes wanita itu, mengusap dahinya dengan wajah kesal.
Elena memilih tidak peduli, ia menarik napas, lalu menunduk sopan, “Maaf, aku permisi.”
Ia kemudian melangkah masuk ke dalam kantin, mengambil nampan stainless, lalu menempatkan dirinya di antrean bersama karyawan lain.
Sementara itu, wanita tadi masih menatap ke arah Elena dengan dahi berkerut.
“Hei, kau mengenalnya?” tanyanya.
Pria itu tidak langsung menjawab, matanya masih mengikuti gerak-gerik Elena. Akhirnya ia menggeleng pelan.
“Ck, kalau tidak kenal, kenapa kau berlagak seolah mengenalnya?”
Pria itu tersenyum samar, “Aku hanya tahu siapa dia.”
“Memangnya siapa?”
Pria itu menoleh padanya, “Kau ingat berita panas soal Tuan Damian yang kedapatan membawa seorang wanita asing ke ruangannya?”
Wanita itu langsung mengangguk, wajahnya penuh rasa ingin tahu, “Tentu saja! Bahkan aku dengar mereka berjalan beriringan seperti sepasang kekasih.”
Pria itu mengangguk kecil, lalu tersenyum tipis, “Dan aku sudah melihatnya sendiri, waktu menyerahkan laporan kepada kepala divisi. Wanita yang kita maksud adalah dia.”
Mata sang wanita membelalak, “Ha? Benarkah?!”
“Sudahlah, lupakan,” pria itu terkekeh kecil, merangkul bahunya lagi, “Ayo, aku sudah sangat lapar.”
Keduanya pun berjalan ke antrean, mengambil jarak di belakang Elena yang terlihat masih berbaris tenang dengan wajah tanpa ekspresi.
Setelah nampannya terisi penuh dengan beberapa menu, Elena menyapu pandangan ke sekeliling kantin. Suara riuh percakapan dan denting alat makan bercampur jadi satu. Di antara kerumunan itu, matanya menangkap satu meja kosong di dekat jendela. Tanpa pikir panjang, ia segera melangkah ke sana dan duduk dengan tenang.
Ia meraih susu kemasan, membuka segelnya, dan baru saja hendak meneguk tapi dihentikan dengan langkah kaki asing yang menghampirinya. Elena mengangkat wajah, mendapati dua orang aneh yang tadi menabraknya kini berdiri di hadapannya.
“Hai,” sapa si pria dengan senyum seenaknya, lalu menarik kursi dan duduk tepat di depan Elena tanpa meminta izin.
Sementara si wanita tampak jengah, memutar bola mata lalu duduk di samping Elena, “Jangan hiraukan dia. Dia memang tidak waras.”
“Diam kau!” si pria langsung menyambar dengan suara kesal, menatap si wanita penuh protes.
Elena tidak menanggapi. Ia memilih untuk meneguk susunya dengan tenang, lalu mulai menyuap makanannya satu per satu, tanpa sedikit pun melirik mereka.
“Oh ya, namaku Danish, copywriter di divisi kreatif,” ucap pria itu sambil menyunggingkan senyum penuh percaya diri.
Si wanita langsung menimpali agar tidak kalah, “Namaku Raya, Creative Designer. Dan namamu siapa?”
Tidak ada jawaban. Hanya terdengar suara gesekan sendok di nampan Elena.
Danish mengangkat dagunya, penasaran, “Apa hubunganmu dengan Tuan Damian?” pertanyaan itu otomatis menghentikan gerakan Elena.
Ia mengangkat kepala, menatap Danish dengan tajam, lalu tersenyum tipis, “Menurutmu?”
“Hei, kau jadi bahan pembicaraan satu perusahaan,” sela Raya sambil melirik ke arah karyawan lain yang mencuri pandang ke meja mereka, “Tentu saja kami penasaran.”
Elena meletakkan sendok, lalu menyandarkan punggungnya. Kedua tangannya ia lipat di depan dada, menatap bergantian dua orang asing itu.
“Ah… sekarang aku mengerti. Jadi kalian sengaja mendekatiku untuk menanyakan hal ini.”
Raya buru-buru menggeleng panik, “Tidak! Aku tadi memang tidak sengaja menabrakmu karena terburu-buru. Sumpah, aku tidak berbohong.”
Ekspresi Elena tetap datar.
“Hei, kenapa kau sedingin itu? Kami hanya bertanya. Lagipula kami bukan penggosip yang akan menyebarkan perkataanmu,” sahut Danish.
Elena tersenyum miring, “Aku tidak percaya.” Ia kembali meraih sendoknya, melanjutkan makan.
Raya melirik Danish, memberi isyarat agar pria itu berhenti. Tapi Danish yang memang terkenal dengan sifat keras kepalanya, justru makin ingin bermain-main.
“Kau bekerja di sini karena dekat dengan Tuan Damian? Wah… enak sekali. Sekali dayung, dua pulau terlampaui.”
“Diam, Danish! Jangan mengganggunya!” cegah Raya kesal.
BRAK!
Elena membanting sendoknya di atas nampan dengan kasar. Suara dentumannya membuat beberapa pasang mata di kantin menoleh. Raya refleks terjingkat, sementara Danish malah terlihat santai, jelas menikmati reaksi itu.
Tatapan Elena menusuk tajam ke arah Danish. Dengan gerakan tegas, ia berdiri, mengangkat nampan, lalu pergi dari meja tanpa sepatah kata pun.
Sepeninggal Elena, Raya langsung melempar beberapa butir nasi ke wajah Danish.
“Apa yang kau lakukan?!” pekik Danish sambil mengusap pipinya.
“Kau masih tidak paham? Kau benar-benar menyebalkan!” Raya menggeram, memilih kembali fokus pada makanannya sambil mendengus kesal.
Elena keluar dari area kantin dengan langkah cepat, masih membawa kesal akibat dua orang aneh tadi. Begitu sampai di lobi, ia berhenti tepat di depan kaca besar yang menjulang dari lantai ke langit-langit. Matanya menatap ke arah dunia luar gedung perusahaan yang penuh dengan lalu lalang kendaraan.
Bayangan dirinya sendiri memantul jelas di permukaan kaca. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak tegang. Pertemuan dengan dua karyawan menyebalkan tadi masih mengganggu pikirannya, apalagi ditambah sikap Damian yang tiba-tiba menjaga jarak. Semua itu membuat dirinya frustrasi.
Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, “Dan kau Damian. Apa kau pikir bisa terus menghindariku hanya dengan dalih etika?”
Senyum miring perlahan terbit di bibirnya. Dari pantulan kaca, ia menatap dirinya sendiri seolah sedang bersekongkol dengan bayangan itu.
“Baiklah, kalau kau memang ingin bermain, aku juga bisa bermain dengan lebih baik.” Ia pun berbalik, dan kembali ke lantai atas.
Baru saja Elena menenangkan diri di kursinya, langkah sepatu berat terdengar di koridor. Seorang pengawal berpakaian rapi datang dengan membawa sebuah paper bag berwana cokelat. Ia melangkah pelan menuju meja sekretaris.
“Nona, ini makan siang pesanan Tuan Damian,” ucap pengawal itu.
Elena segera berdiri, menata kembali raut wajah ramahnya. Ia menerima paper bag itu dengan sopan.
“Makanan?” tanyanya sambil tersenyum.
“Benar. Tuan Damian selalu memesan makan siang dari restoran.”
“Baik, aku akan mengantarkannya.”
Pengawal itu memberi hormat kecil, lalu berbalik dan melangkah pergi, kembali ke rutinitas pengawalannya di lobi.
Elena menatap pintu ruang Damian sejenak, lalu dengan langkah mantap ia berjalan mendekat. Ia mengetuk beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Karena penasaran, ia pun memilih membuka pintu itu.
“Tuan Damian, ini makananmu,” ucapnya sambil melangkah masuk.
Namun ruangan itu kosong. Berkas masih berserakan di atas meja, layar komputer juga masih menyala. Jas pria itu juga masih tergantung di coat stand pojok ruangan. Tanda bahwa Damian tidak pergi jauh.
“Di mana dia?” gumam Elena.
Ia pun menaruh paper bag yang ia bawa di atas meja, sambil menoleh mengamati satu-persatu sudut ruangan.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka di sisi ruangan, tepat di samping meja kerja Damian. Pintu kecil yang letaknya di dekat jendela besar. Elena spontan menoleh. Dari sana, Damian muncul dengan rambut sedikit basah, kemejanya digulung hingga siku. Ada kesan baru saja mencuci muka atau bahkan mandi singkat.
Damian menutup pintu perlahan, lalu terhenti begitu melihat Elena berdiri di samping meja kerjanya. Tatapannya terlihat kaget.
“Elena,” panggilnya, suaranya terdengar kaku.
Elena menarik napas panjang, ia mengangkat tangannya, menunjuk paper bag di atas meja kerja.
“Makan siangmu, Tuan Damian,” ucapnya dengan menekankan penyebutan ‘Tuan Damian'.
Damian menatap sebentar, membaca dinginnya nada itu, “Terima kasih. Aku baru saja beristirahat sejenak di dalam,” balasnya, berusaha bersikap tenang.
Elena tersenyum samar. Tadi, sebelum pintu tertutup, ia sempat menangkap pemandangan ranjang sederhana di dalam. Tampaknya tempat itu adalah ruang pribadi tersembunyi milik Damian yang tidak semua orang tahu.
“Baiklah, saya permisi,” ucap Elena akhirnya, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu.
“Tung—” Damian refleks hendak menghentikan, namun suara itu terputus karena Elena sudah melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh lagi.
Bahu Damian turun perlahan, ia menghela napas berat. Kedua matanya meredup, seperti menanggung sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan pada siapa pun.
“Lebih bagus kalau dia marah padaku. Maka aku tidak perlu terlalu menekannya,” gumamnya, lalu berjalan menuju meja kerjanya, membuka paper bag, dan menikmati makan siangnya.