NovelToon NovelToon
Om Duda Genit

Om Duda Genit

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Aurora Lune

Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.

Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ritual Malam Yang Hangat

Di dapur sederhana itu, Nayla berdiri dengan celemek sederhana yang kebesaran, sibuk mengaduk sayur bayam di wajan. Uap panas naik perlahan, bercampur dengan aroma bawang putih tumis dan tempe goreng yang baru saja ia tiriskan di piring kecil. Dapur kecil dengan peralatan serba seadanya itu terasa nyaman.

Sambil mengaduk, Nayla bersenandung kecil, lagu random yang bahkan ia sendiri lupa judulnya. Nada suaranya tidak merdu, tapi penuh semangat. Sesekali ia menggoyang bahu, seperti sedang konser pribadi.

“Hari ini ternyata libur. Untung banget cafe tutup sehari buat renovasi. Kalau nggak, gue udah capek banget sekarang,” gumamnya sendiri, menirukan gaya orang wawancara televisi. “Dan sebagai rakyat jelata yang baik, aku memutuskan untuk masak sendiri. Horeee…”

Ia menepuk tangan pelan, lalu menatap wajan dengan wajah serius. “Oke, bayamku tercinta, jangan gosong ya. Kalian adalah harapan terakhirku untuk makan malam sehat malam ini.”

Uap sayur yang harum membuat perutnya keroncongan. Ia mendekatkan wajah ke wajan, menghirup aroma hangat yang menguar. “Hmm… wangi banget! Fix, skill masak gue naik level. Tinggal nunggu investor buat buka restoran. Restoran Nayla menu utama: bayam rebus, tempe goreng, sama sambel terasi. Dijamin bikin nagih,” ucapnya sambil terkekeh sendiri.

Tangannya cekatan menambahkan sedikit garam, lalu mencicipi kuah sayur dengan sendok kayu. Matanya langsung berbinar. “Ya ampun, enak banget! Gue udah cocok kali ya jadi chef. Siapa tahu nanti bisa ngalahin Chef Juna. Eh, tapi jangan suruh aku marah-marahin peserta deh, kasihan.”

Ia menaruh wajan di atas kompor kecil, lalu menata tempe goreng ke piring saji. “Nah, selesai juga. Setelah makan, waktunya rebahan sambil scroll TikTok. Hidup terasa indah, gaes.”

Nayla tersenyum puas, menatap hasil masakannya yang sederhana tapi bikin hati hangat. Dalam hatinya, ia merasa seperti kembali ke rumahnya dulu tempat ia bisa tertawa tanpa beban, meski hanya ditemani sepiring tempe dan sayur bayam.

Setelah selesai menata lauk di meja dapur, Nayla membuka rice cooker yang masih mengepul hangat. Aroma nasi putih langsung menyeruak, membuatnya menelan ludah. Ia mengambil satu centong penuh, menaruhnya di piring, lalu menambahkan sayur bayam dan beberapa potong tempe goreng yang masih renyah.

“Perfecto!” ucapnya dengan gaya ala chef televisi, lalu terkekeh sendiri.

Dengan hati-hati, ia membawa piring itu ke ruang tamu kontrakannya yang sederhana. Ruangan itu tak punya sofa, kursi, atau karpet mewah hanya lantai polos dan meja kecil di tengahnya. Nayla memilih duduk bersila di lantai, menyender punggung ke dinding sambil meletakkan piring di depannya. Meski serba sederhana, ia menikmati makan malam itu dengan penuh rasa puas, seperti anak kos sejati yang terbiasa dengan segala keterbatasan.

Begitu duduk, ia langsung meraih ponselnya yang tergeletak di samping bantal. “Kalo makan nggak sambil nonton tuh rasanya… nggak afdol banget. Kurang vibes,” ucap Nayla sok serius, padahal cuma ngomong sendiri.

Jarinya lincah membuka aplikasi streaming. Ia mulai scroll daftar drama Korea yang sudah masuk watchlist. “Hmm… yang mana ya? Drama mellow nangis-nangis? Atau yang ada oppa ganteng seragam SMA? Atau… ah, yang action aja deh, biar semangat makan.”

Setelah beberapa detik, matanya berbinar ketika menemukan judul yang ia suka. “Nah! Ini dia. Oppa, aku datang!” serunya kecil sambil menekan tombol play, senyum lebar mengembang seakan ia benar-benar akan ketemu sang aktor.

Begitu layar HP menyala menampilkan opening drama, ia meraih sendok. “Oke, mari kita mulai ritual makan malam sakral ini,” katanya sambil mengangkat tempe goreng ke mulut, wajah bahagia banget seolah itu makanan paling enak sedunia.

Di rumah seberang, suasana berbeda jauh. Arga sudah duduk rapi di meja makan besar yang panjangnya bisa menampung belasan orang. Permukaan meja kayu mahal itu mengilap di bawah cahaya lampu gantung kristal yang menggantung megah di langit-langit. Namun, kursi-kursi di sekeliling meja tetap kosong. Hanya ada Arga dan anak semata wayangnya, Raka, yang duduk tepat di hadapannya.

Arga, dengan gaya tenang dan cool-nya, meraih sendok perak dan mulai menata makanannya. Wajahnya seperti biasa: tanpa banyak ekspresi, tapi karismanya tetap sulit diabaikan. Sementara itu, Raka, bocah lima tahun yang wajahnya jelas mewarisi garis ketampanan ayahnya meski kalau dibandingkan, pesona Arga tetap jauh lebih unggul.

“Papa,” panggil Raka sambil memainkan sendok kecilnya. Tatapannya cerdik, penuh rasa ingin tahu.

Arga mengangkat alis tipisnya. “Hmm?” gumamnya datar, tapi sorot matanya terarah penuh pada anaknya.

“Kenapa meja makan kita gede banget tapi yang makan cuma kita berdua? Papa nggak capek duduk jauh-jauhan gini? Aku kayak lagi rapat sama bos,” celetuk Raka dengan wajah polos tapi tajam.

Arga mendengus pelan, sudut bibirnya terangkat samar sebuah senyum tipis yang jarang muncul. “Kalau kamu bos, berarti papa anak buahnya dong?” balas Arga, nada suaranya tetap cool, tapi jelas menggoda.

Raka langsung geleng cepat. “Nggak bisa! Papa kan tua. Papa yang jadi bos. Aku jadi pengawas aja, biar papa nggak macem-macem.”

Arga terdiam sejenak, menatap anaknya sambil menahan senyum. Anak sekecil itu sudah cerewet sekaligus cerdik, sering kali membuatnya kalah debat. “Pengawas?” ulangnya, nada suara rendah tapi terdengar geli. “Pengawas papa? Sejak kapan papa butuh pengawas, hah?”

Raka menyilangkan tangan mungilnya di dada. “Sejak papa mulai genit-genit sama kakak sebelah, itu!” jawabnya mantap.

Arga menghela napas, meneguk air putih dari gelas kristalnya dengan santai. “Kamu ini, Raka…” gumamnya. Namun dalam hati, ia merasa meja makan luas itu tak lagi terasa kosong karena celotehan anak semata wayangnya yang selalu bisa bikin suasana hidup.

Raka melanjutkan makannya dengan lahap. Ia mengambil ayam goreng bagian paha, lalu menggigitnya dengan nikmat sambil manggut-manggut seolah sedang merasakan surga dunia. Minyak masih menempel di bibirnya, tapi ia cuek saja.

“Pa, ini paha Upin Ipin ya?” tanyanya tiba-tiba dengan mulut masih setengah penuh.

Arga yang sedang menyendok nasi langsung menghentikan gerakannya. Keningnya berkerut, menatap anaknya dengan ekspresi tidak percaya.

“Kenapa jadi paha Upin Ipin?” ucapnya datar, nada khas seorang ayah yang sudah terbiasa dengan kelakuan aneh anaknya.

Raka menyeringai lebar, menunjuk ayam di tangannya. “Ya soalnya kan Upin Ipin suka banget makan ayam, Pa. Jadi tiap ada ayam, aku otomatis keinget mereka. Lucu aja.”

Arga mendengus, menaruh sendoknya di piring. “Berarti kalau kamu makan ayam terus, nanti dipanggil Raka Upin Ipin?”

Raka langsung ngakak sampai bahunya berguncang. Saking kerasnya, ia hampir keselek. “Hahaha, nggak gitu juga, Pa. Kalau gitu Papa yang jadi Opah-nya dong! Soalnya Papa suka ngomel kalau aku banyak ngomong.”

Arga sontak menoleh dengan tatapan tajam, tapi matanya jelas-jelas menahan tawa. “Mulut kamu itu… tajam banget.”

“Bukan tajam, Pa. Kreatif,” Raka menukas cepat, wajahnya bersinar puas. Ia bahkan menepuk-nepuk dadanya bangga, seolah baru memenangkan debat nasional.

Arga akhirnya tak bisa menahan diri, tawa kecil lolos juga dari bibirnya. “Dasar bocah cerewet.”

“Cerewet tapi pinter kan, Pa?” Raka mengedip sekali, pura-pura percaya diri.

Arga mengangkat alis tinggi-tinggi, pura-pura mikir keras. “Hmm… pinter bikin Papa sakit kepala, iya.”

“Eeeh, tega banget,” Raka pura-pura merajuk, meletakkan paha ayamnya di piring lalu bersedekap. Tapi beberapa detik kemudian ia curi-curi pandang ke ayam gorengnya sendiri, tak tahan godaan.

Arga hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya. “Udah makan sana, keburu dingin. Nanti ayamnya beneran marah dipanggil Upin Ipin.”

Raka langsung ngakak lagi, suaranya memenuhi ruangan makan yang besar tapi hangat itu. Dan di tengah tawa mereka, terasa jelas: rumah yang hanya berisi dua orang ini tidak pernah benar-benar sepi.

1
Lembayung Senja
ceritanya mulai seru... semangat buat novelnya.....😍
Jen Nina
Jangan berhenti menulis!
Yusuf Muman
Ini salah satu cerita terbaik yang pernah aku baca, mantap! 👌
Yuri/Yuriko
Bikin baper
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!