Bagi Luna, Senja hanyalah adik tiri yang pantas disakiti.
Tapi di mata Samudra, Senja adalah cahaya yang tak bisa ia abaikan.
Lalu, siapa yang akan memenangkan hati sang suami? istri sahnya, atau adik tiri yang seharusnya ia benci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 – Luka Pagi Itu
Pagi itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan semalam meninggalkan jejak embun di dedaunan, dan aroma tanah basah masih begitu pekat. Di dapur, suara panci dan sendok berlaga pelan menemani langkah-langkah kecil Senja yang sudah terbiasa bangun paling awal.
Ia berdiri di depan kompor, tubuh mungilnya dibalut daster sederhana. Rambut hitam panjangnya hanya diikat seadanya, beberapa helai jatuh di wajahnya yang tampak pucat. Dengan cekatan ia menyiapkan sarapan berupa nasi hangat, telur dadar, sup sayur, dan tempe goreng. Meski menyiapkan makanan itu bukan untuk dirinya, Senja tetap melakukannya dengan sepenuh hati.
Tangannya bergerak luwes, tapi hatinya gelisah. Setiap kali ia menoleh ke arah pintu, ada ketakutan yang menghantui. Ingatan tentang kejadian semalam, tentang ciuman yang tidak pernah ia bayangkan masih melekat kuat. Bibirnya seakan masih merasakan sentuhan itu, dan setiap kali mengingatnya, tubuhnya gemetar.
Suara langkah berat terdengar dari arah ruang makan. Senja refleks menunduk, berusaha tampak sibuk dengan piring-piring.
“Pagi,” suara bariton itu menyapanya.
Senja tersentak. Samudra berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kemeja kerja dengan dasi belum terikat. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya menyimpan kecanggungan yang sama.
Senja buru-buru menunduk lebih dalam. “Pagi, Mas Samudra.”
Hening. Hanya suara piring yang ditata di meja. Senja berusaha menghindar, tak berani menatap langsung. Ia tahu, satu tatapan saja bisa membuka semua yang berusaha ia tutup.
Samudra menarik kursi dan duduk, memperhatikan Senja yang masih mondar-mandir menata sarapan. Dadanya terasa sesak. Ia ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Hingga akhirnya, ia memutuskan untuk membuka suara.
“Senja… tentang semalam…” suaranya lirih, penuh keraguan.
Senja berhenti sesaat, lalu menatap meja dengan tangan gemetar. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku mohon… anggap saja tidak pernah terjadi, Mas. Aku sudah melupakannya. Mas juga harus melupakannya.”
Samudra terdiam. Kata-kata itu seperti pisau, menusuk tanpa ampun. Ia ingin berkata bahwa ia tidak bisa melupakan, tapi melihat wajah Senja yang pucat, ia menahan diri. “Maaf,” akhirnya hanya itu yang keluar.
Senja tersenyum hambar. “Tidak perlu minta maaf. Kita berdua sama-sama khilaf.”
Hening kembali menyelimuti ruangan. Hanya terdengar jam dinding berdetak. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing, hingga suara Bi Ipah yang masuk membawa keranjang belanja memecah suasana.
“Senja, Bibi mau ke pasar sebentar. Kau lanjut jaga dapur ya,” kata Bi Ipah.
Senja cepat-cepat mendekat. “Biar aku saja, Bi. Aku yang ke pasar. Biar Bibi istirahat di rumah.”
Bi Ipah menatap Senja dengan ragu, tapi gadis itu memaksa dengan senyum tipis. Akhirnya, ia menyerah. “Kalau begitu hati-hati ya, Nak.”
Senja melangkah keluar rumah dengan keranjang rotan di tangan. Ia berjalan ke arah jalan besar untuk menunggu angkutan umum. Pagi itu lalu lintas masih lengang, hanya sesekali motor lewat. Senja berdiri di pinggir jalan, menunduk, sesekali menendang kerikil kecil karena angkutan belum juga lewat.
Suara klakson membuatnya mendongak. Sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Kaca jendela terbuka, dan wajah Samudra muncul.
“Mau ke pasar? Masuk, biar Mas antar.”
Senja terbelalak. “Eh… tidak usah, Mas. Aku bisa naik angkot saja.”
“Tidak apa-apa. Mas juga lewat ke arah sana.” Suaranya tenang, tapi ada ketegasan.
Senja menggigit bibir, ragu. Ia takut berada di dekat Samudra terlalu lama. Tapi menolak terlalu keras juga akan menimbulkan curiga. Akhirnya, ia menghela napas pelan. “Baiklah.”
Ia masuk ke mobil, duduk di kursi penumpang dengan kaku. Tangannya memeluk keranjang erat-erat, matanya menatap lurus ke depan. Samudra melirik sekilas, lalu menyalakan mesin tanpa berkata apa-apa lagi. Sepanjang jalan, hanya suara mesin dan radio pelan yang menemani.
"Terimakasih ya Mas udah nganterin aku?" ucap Senja. ketika mereka sudah sampai di depan pintu masuk pasar.
"Sama-sama. Hati-hati Senja," pesan Samudra.
Senja mengangguk, ia turun dari mobil lalu masuk ke area pasar.
Setelah belanja, Senja bergegas pulang. Hatinya lega karena perjalanan dengan Samudra berjalan tanpa percakapan berarti. Ia hanya ingin kembali ke rumah dan menyibukkan diri agar bisa melupakan semuanya.
Namun, langkahnya terhenti di depan pintu rumah. Luna berdiri di sana, kedua tangannya terlipat di dada. Wajahnya dingin, sorot matanya tajam seperti pisau.
“Dari mana?” suaranya menusuk.
“Aku baru pulang dari pasar, Kak,” jawab Senja hati-hati.
Tanpa peringatan, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.
PLAAAK!
“Perempuan tidak tahu diri!” Luna berteriak.
Senja terhuyung, keranjang hampir jatuh. Pipi kirinya perih, matanya memanas.
“Kau pikir aku tidak tahu apa yang kau lakukan? Kau berniat menggoda suamiku, ya?” Luna mendesis, matanya menyala penuh amarah.
Senja menunduk, bibirnya gemetar. “Tidak, Kak. Aku tidak pernah berniat...”
“Diam!” Luna memotong, lalu mendorong tubuh Senja masuk ke rumah. “Kalau kau memang tidak bersalah, buktikan dengan kerja. Aku akan lihat sejauh mana kau bisa bertahan.”
Setelah itu, hidup Senja berubah menjadi neraka. Luna menjejali gadis itu dengan pekerjaan tanpa henti.
“Cuci semua ini,” perintah Luna sambil menunjuk tumpukan kain kotor.
“Setelah itu, pel semua lantai. Jangan ada noda sedikit pun.”
“Dan jangan harap bisa makan enak. Kau hanya boleh makan nasi putih dengan sepotong tempe.”
Senja menunduk, menerima piring sederhana yang bahkan tidak cukup untuk mengganjal perutnya. Ia hanya bisa mengangguk, meski perutnya keroncongan.
Sementara Senja bekerja keras, Luna duduk santai di kursi rotan, memainkan ponsel sambil sesekali menyuap buah segar. Senyum sinis tersungging di bibirnya setiap kali melihat Senja kelelahan.
“Cepat! Ulangi! Itu masih kotor!” Luna menunjuk lantai yang sudah Senja pel berulang kali.
Senja mengepalkan tangan, ingin marah, ingin berteriak. Tapi wajah ayahnya terbayang. Ayah yang masih ia hormati, ayah yang menjadi alasan ia harus bertahan di rumah itu. Ia menelan semua amarah, menunduk, lalu kembali mengulang pekerjaan yang sama.
Bi Ipah menyaksikan dari jauh, matanya berkaca-kaca. Ia ingin menolong, ingin membela, tapi mulutnya terkunci oleh rasa takut pada Luna.
Waktu berjalan lambat. Keringat membasahi tubuh Senja, tangannya gemetar karena lelah. Ia akhirnya duduk sebentar, mencoba menghela napas.
Namun suara Luna langsung menghantam. “Hei! Siapa yang suruh kau duduk? Kau baru boleh istirahat nanti saat jam makan siang, itu pun hanya lima belas menit!”
Senja menunduk lagi. “Baik, Kak.” Suaranya nyaris tidak terdengar.
Luna tersenyum puas, menggigit buah apel dengan santai. Sementara di pojok ruangan, Bi Ipah hanya bisa mengusap mata, menyembunyikan tangisnya agar tidak terdengar.
Hari itu bagi Senja terasa seperti seribu tahun. Luka di pipinya masih terasa, perutnya perih karena lapar, dan hatinya hancur karena perlakuan yang ia terima. Tapi ia tetap bertahan karena satu hal, ia tidak ingin menyerah, tidak ingin membuat ayahnya semakin terpuruk.
Namun dalam hatinya, ia tahu. Luka itu akan terus membekas.
Dan semakin lama ia bertahan, semakin besar pula badai yang menantinya di rumah itu.