(Tidak disarankan untuk bocil)
Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.
Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.
Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebebasannya berkurang
Michelle melangkah cepat meninggalkan kerumunan siswa yang sibuk makan di kantin. Tasnya digendong erat di satu lengan, wajahnya datar meski dadanya terasa sesak dan sakit. Setiap langkah terasa berat, tapi dia tak peduli tatapan sinis dan bisik-bisik di belakangnya.
Sesampainya di kamar mandi, dia mengunci pintu dengan jari gemetar. Dengan buru-buru, seragam sekolahnya disibakkan, tangan cekatan membuka kaitan bra hingga kedua p*yu*ar* yang membengkak terlihat jelas. Napasnya terengah, dada terasa penuh tekanan yang memaksa Michelle segera memompa ASI, serta menahan rasa malu yang bergejolak di dalam hati. Di balik pintu tertutup, hanya suara pompa dan desahan lega yang mengisi ruang sunyi itu.
Michelle menghentikan alat pompa ASI yang menggantung di tangannya, napasnya masih terengah saat suara desahan berat menyusup dari bilik sebelah. Suara itu seperti pertarungan kasar, berhubungan intim yang membuat bulu kuduknya meremang.
Dengan cepat, dia menyelipkan kembali kedua payudaranya ke dalam bra, merasakan lega yang segera menghangatkan dadanya setelah tekanan pompa itu hilang. Pompa ASI itu kembali masuk ke dalam tas dengan gerakan hati-hati, seolah takut menarik perhatian dan ketahuan.
Dia melangkah perlahan ke pintu bilik, rasa jijik menyelimuti setiap geraknya. Ketika bilik itu terbuka perlahan, pandangannya langsung tertuju pada bayangan di cermin yang memantulkan dirinya sekaligus dua sosok di belakangnya. Senyum miringnya muncul, tajam dan penuh makna. Tatapan mata Michelle yang dingin dan penuh penghakiman itu menangkap jelas ekspresi tegang kedua orang yang baru saja beradu tenaga, seolah mereka tertangkap basah dalam rahasia yang tak ingin diketahui orang lain.
Gadis itu melangkah dengan langkah gontai, rambutnya kusut berantakan dan pakaian yang kusam seolah baru keluar dari perkelahian. Matanya yang merah merona memperlihatkan kelelahan dan kecemasan yang mengendap dalam dirinya. Dengan suara serak, ia mendekati Michelle yang masih tenang mencuci tangan di wastafel, fokus tanpa sedikit pun mengalihkan pandangan.
"Jangan sampai kejadian ini terbongkar," ucap gadis itu pelan tapi penuh tekanan, seolah kata-katanya adalah peringatan yang harus didengar.
Michelle menatapnya sekilas, ekspresinya dingin tanpa rasa peduli. "Tidak tertarik," jawabnya datar, suaranya nyaris tanpa emosi, seolah semua ancaman itu hanyalah angin lalu.
Gadis itu mengerutkan alis, napasnya memburu. "Jika orang-orang tahu, semua pasti karenamu," katanya dengan nada yang menggigit, menyiratkan bahaya yang mengintai di balik kata-kata itu.
Michelle menyunggingkan senyum sinis, sudut bibirnya terangkat dengan penuh tantangan. "Oh ya? Kalian yakin hanya aku saja yang memergoki kalian?"
Gadis itu menoleh perlahan ke arah cowok di sampingnya. Tatapan mereka bertautan, diam penuh ketegangan.
Michelle menghela napas kecil, suaranya kembali terdengar, "Dan aku tidak yakin itu."
Michelle segera meraih tasnya dengan gerakan cepat, napasnya lebih tenang saat keluar dari toilet. Di lorong yang sempit itu, ia hampir menabrak Ethan dan Ellery yang berdiri berdampingan. Di belakang keduanya, seorang pria lain berdiri diam, matanya menatap Michelle dengan penuh cinta dan kekaguman yang tak tersembunyi.
“Ternyata kau di sini,” suara Ellery meluncur dingin, menusuk seperti pisau. Wajahnya yang selalu menyimpan sinis kini semakin tajam.
Michelle mengangkat alis, nada suaranya datar dan penuh kejengkelan. “Kenapa si nenek sihir cari hamba?”
Ellery tersenyum penuh ejekan, menggigit kata-katanya dengan sinis. “Hamba sangat perlu dengan Anda, nenek gayung.”
Michelle menatap Ellery seolah menahan tawa, lalu membalas dengan singkat, “To the point.” Matanya menyapu satu per satu pria di belakang Ellery, tak lepas dari tatapan penuh arti yang diterimanya dari pria yang menatapnya dengan penuh cinta itu. Ada sesuatu yang mengganggu di balik tatapan itu, tapi Michelle memilih untuk mengabaikannya.
Ellery menghembuskan napas berat, matanya menyipit penuh ketegasan. "Untuk menaikkan nilaiku, aku disuruh guru menjadi tutor belajarmu. Kamu harus terima—tanpa bisa menolak,"
Michelle mengangkat alis, wajahnya melukis senyum sinis penuh ejekan. "Mereka ingin kita dipasangkan? Oh no... bukan belajar yang akan terjadi, tapi duel tinju, bukan?" ucapnya sambil menantang, suara ringan tapi penuh bara.
Ellery mengepalkan tangan, tatapannya membara. "Tidak boleh menolak, titik!" katanya, nada makin tegas dan dingin, seolah menanamkan hukum tak terelakkan.
Michelle membalas dengan sikap santai, tangan disilangkan di dada, senyumnya tak luntur sedikit pun. "Kalau aku tolak, boleh tidak?"
"Aku akan membuatmu menderita di sekolah ini?" Tiba-tiba Ethan menyela, suaranya berat dan tajam, “Jika aku menginginkannya, pasti akan terwujud, Michelle,” ucapnya penuh ancaman tersembunyi, disertai tatapan mematikan dari pria di sampingnya.
Ethan hanya memutar mata malas, paham betul pesan tersirat dari sahabatnya. Dia tidak mau gadis yang disukainya diperlakukan seperti itu.
Michelle tersenyum mengejek, santai, tak gentar. "Apa aku terlihat takut dengan ancamanmu, Tuan Muda?" Godaannya membuat pria di samping Ethan, Bryan, ikut menyunggingkan senyum tipis.
Ethan langsung menegur dengan ekspresi kesal, “Jangan ketawa, Bryan!” Satu-satunya yang selalu kalah debat melawan Ethan adalah Michelle, karena dia tidak pernah takut menghadapi sikap nakalnya dan sok berkuasanya seorang Ethan.
Michelle melangkah melewati mereka, tapi tiba-tiba Ellery meraih lengannya dengan genggaman yang tak bisa diabaikan. “Ku mohon… terimalah,” suaranya bergetar penuh harap yang tak terbendung.
Michelle menelan ludah, napasnya berat seperti menanggung beban dunia. Matanya menatap lurus ke depan, namun akhirnya suaranya pecah, “Baiklah, aku akan menerimanya.” Perlahan ia melepaskan lengannya dari genggaman Ellery.
Semua mata tertuju ke pintu toilet. Dari sana, muncul sosok gadis yang tadi dipergoki Michelle—wajahnya pucat dan mata melotot penuh ketakutan saat melihat mereka berdiri di sana. Gadis itu segera berbalik, seolah takut rahasianya akan terbongkar.
Ellery bergumam dengan nada sinis, “Mencurigakan sekali.”
Michelle menghela napas panjang, kemudian berbalik pergi tanpa menoleh ke belakang. Bryan segera mengikuti di belakangnya. “Michelle,” panggil Bryan, langkahnya seiring dengan gadis itu yang berjalan jauh darinya.
Michelle hanya menatapnya dingin, bibirnya terkatup rapat. “Biarkan aku mengantarmu pulang,” tawar Bryan dengan lembut.
“Aku bisa pulang sendiri,” jawab Michelle, menolak halus namun tegas.
“Kenapa? Takut jatuh cinta padaku? Lalu harus membalas perasaanku?” Tanya Bryan dengan senyum.
Michelle melepas tawa sinis yang menusuk telinga Bryan. “Maaf, Bryan. Aku takkan pernah bisa membalas perasaanmu.” Katanya dingin sambil melangkah pergi, seolah ingin menghapus semua harapan pria itu dalam sekejap.
Bryan berhenti, senyum miringnya merekah penuh tipu daya. “Kalau begitu, aku pasti akan mendapatkanmu. Bagaimanapun caranya… bahkan kalau harus memaksamu tetap bersamaku.” Gumamnya, suaranya penuh rencana licik yang menyimpan bahaya.
Tiba-tiba langkah Michelle terhenti di tangga utama depan sekolah saat matanya menangkap sosok Pak Toni berdiri di depan mobil. Nafasnya terengah, hati kecilnya bergejolak. “Padahal aku sudah berbohong, bilang akan dijemput jam tiga sore… tapi kenapa Pak Toni datang lebih awal?” keluh Michelle, rasa frustrasi menjalar seperti api di dalam dada.
Kakinya menghantam lantai dengan kasar, seolah memberontak pada keadaan. “Kalau begini terus, kapan aku bisa punya waktu sendiri?”