Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.
Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.
Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.
Ig: deemar38
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
OT 7
Meirra menempelkan ponselnya di dada, jantungnya berdegup lebih kencang daripada saat ia menendang samsak tadi. Ia sudah menekan tombol daftar lewat situs resmi BeatWave Radio 98.4, radio yang mengumumkan temu fans Silver Dawn itu.
“ Semoga aku nggak telat,” gumamnya lirih.
Menit demi menit berlalu terasa seperti jam. Baru sepuluh menit sejak ia mendaftar, ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi masuk. Tangannya gemetar saat membuka pesan itu.
“Selamat! Kamu berhasil masuk dalam 50 pendaftar pertama untuk acara Meet & Greet Silver Dawn! Mohon tunggu informasi selanjutnya mengenai tahap penyaringan berikutnya.”
Mata Meirra melebar, napasnya tercekat. Sejenak ia tidak percaya dengan yang baru saja dibacanya. “Gue... beneran lolos,” bisiknya dengan senyum yang mulai merekah.
Ia menaruh ponsel di pangkuan, menatap langit-langit apartemen dengan tatapan kosong tapi penuh rasa lega. Setelah semua kekacauan hari ini, akhirnya ada satu hal yang bisa membuatnya bersemangat lagi.
Sekarang ia hanya perlu menunggu arahan selanjutnya dari pihak radio dan ia bertekad tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
____
Keesokan harinya, notifikasi baru masuk ke ponsel Meirra.
“Kepada 50 peserta terpilih, mohon hadir langsung di kantor BeatWave Radio 98.4 besok pukul 10 pagi untuk mengikuti short interview test. Hanya 5 orang dengan pengetahuan terbaik tentang Silver Dawn yang akan dipilih untuk Meet & Greet.”
Meirra menatap layar dengan mata membelalak. Interview? Datang langsung ke radio?
Tangannya sedikit berkeringat. Ini bukan sekadar daftar online ia benar-benar harus menunjukkan seberapa besar dirinya mengenal Silver Dawn.
Hari itu juga, ia sudah mempersiapkan diri. Ia membuka kembali semua koleksi foto, lagu, bahkan artikel lama tentang band itu. Tidurnya hampir tak nyenyak, bayangan Silver Dawn terus bermain di kepalanya.
Dan tibalah hari yang ditentukan.
Meirra melangkah masuk ke gedung BeatWave Radio, gedung modern dengan kaca tinggi yang berkilau. Di lobi, sudah banyak peserta lain yang duduk menunggu giliran, sebagian sibuk membaca catatan, sebagian lagi terlihat percaya diri dengan merchandise Silver Dawn yang mereka kenakan.
Meirra menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ini saatnya. Kalau gue mau jadi salah satu dari lima orang itu, gue harus bisa buktiin kalau gue bukan sekadar fans biasa.
Ruang siaran BeatWave Radio siang itu ramai. Para peserta dipanggil satu per satu ke ruangan wawancara yang sudah disulap seperti mini studio. Ada tiga juri: dua penyiar radio, dan satu staf manajemen Silver Dawn.
Meirra duduk di kursinya, jantungnya berdegup kencang. Lampu kamera kecil menyala semua proses wawancara direkam.
“Baik, kita mulai,” kata salah satu juri, seorang pria berkacamata dengan senyum ramah. “Pertanyaan tahap pertama ini sederhana, hanya pengetahuan dasar tentang Silver Dawn. Jawab sejujur-jujurnya, jangan menebak asal. Kalau tidak tahu, bilang tidak tahu.”
Meirra mengangguk, menggenggam erat tangannya di pangkuan.
“Pertanyaan pertama,” ujar juri lain, “kapan Silver Dawn resmi debut di industri musik?”
“Dua belas Maret, lima tahun lalu,” jawab Meirra cepat, suaranya agak bergetar.
Juri ketiga menimpali, “Siapa nama leader Silver Dawn?”
Meirra tersenyum tipis, kali ini lebih mantap. “Kevin De Luca. Dia juga vokalis utama.”
Pertanyaan berikutnya datang lagi.
- “Apa nama album pertama Silver Dawn?”
- “Lagu mana yang pertama kali menembus chart internasional?”
- “Siapa member yang paling muda di band ini?”
Meirra menjawab satu per satu dengan lancar. Meski dadanya sesak karena tegang, pengetahuannya sebagai fans setia membuat kata-kata mengalir alami.
Beberapa peserta lain yang diwawancara sebelum dan sesudahnya tampak gelagapan, ada yang salah menyebut nama album, bahkan ada yang lupa jumlah member Silver Dawn.
Setelah seluruh 50 peserta selesai, juri mengumumkan hasil tahap pertama:
“Selamat kepada 20 peserta terbaik yang berhasil menjawab paling banyak pertanyaan dengan benar. Kalian berhak maju ke tahap berikutnya.”
Meirra menahan napas saat nama-nama dipanggil satu per satu.
Dan ketika namanya terdengar di urutan ke-14, ia hampir meloncat dari kursinya. “Yes!” bisiknya sambil mengepalkan tangan.
Tahap pertama lolos. Selanjutnya, pertarungan menuju 10 besar menanti dengan pertanyaan yang pasti lebih sulit dari sebelumnya.
Ruangan studio radio itu dipenuhi peserta yang menunggu giliran wawancara. Dari 20 orang yang lolos tahap pertama, kini mereka duduk berjejer, menunggu dipanggil satu per satu. Meirra duduk di kursi barisan tengah, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Nomor urut empat belas, Meirra,” suara panitia memanggil.
Meirra berdiri, mencoba menahan gugup, lalu masuk ke ruang wawancara. Di dalam, tiga pewawancara dari pihak radio dan manajemen Silverdawn sudah duduk. Salah satunya adalah pria berkacamata yang tampak serius memegang berkas.
“Selamat siang, Meirra. Kami ingin menguji pengetahuanmu tentang Silverdawn. Siap?” tanya salah satu pewawancara sambil tersenyum tipis.
Meirra mengangguk cepat. “Siap.”
Pewawancara pertama membuka pertanyaan, “Menurutmu, apa yang membuat Silverdawn berbeda dengan band lain yang juga mencoba menembus pasar internasional?”
Meirra menarik napas, mencoba menjawab dengan tenang.
“Silverdawn berbeda karena mereka tidak hanya fokus pada musik berbahasa Inggris, tetapi juga menjaga identitas Indonesia. Lagu ‘Langkah Hening’ misalnya, tetap pakai lirik bahasa Indonesia dan berhasil menyentuh hati pendengar luar negeri lewat platform YouTube. Jadi mereka bukan hanya ikut arus musik barat, tapi membawa warna sendiri.”
Pewawancara kedua menimpali, “Menarik. Kalau begitu, siapa personel Silverdawn yang paling kamu kagumi dan kenapa?”
Meirra tersenyum samar. “Kevin. Walaupun dia bule, dia bisa membaur dengan identitas Indonesia. Menurutku itu bentuk penghargaan yang tulus pada negeri tempat dia debut. Dan... dia juga punya kemampuan menulis lagu yang menyentuh.”
Beberapa pewawancara mengangguk, menandai sesuatu di berkas.
Pewawancara terakhir mencondongkan tubuhnya. “Oke, pertanyaan terakhir untukmu, Meirra. Jika kamu diberi kesempatan satu kali bertemu langsung dengan Silverdawn, apa yang ingin kamu katakan?”
Meirra terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil.
“Aku hanya ingin bilang, terima kasih sudah membuat musik yang bisa jadi teman di setiap keadaan. Silverdawn bukan cuma band, mereka adalah pengingat bahwa mimpi bisa lahir di mana saja, termasuk dari Indonesia, dan bisa didengar dunia.”
Ruangan hening sejenak sebelum salah satu pewawancara menutup dengan kalimat, “Baik, terima kasih, Meirra. Jawabanmu cukup kuat. Kami akan umumkan hasil seleksi ke tahap berikutnya.”
Meirra mengangguk dan keluar ruangan. Di luar, ia menahan napas lega. Semoga cukup untuk bawa gue ke 10 besar, batinnya.
Setelah wawancara 20 besar berakhir, suasana di ruang tunggu terasa campur aduk. Ada yang wajahnya lesu karena merasa jawabannya kurang memuaskan, ada juga yang masih penuh percaya diri.
Meirra duduk di bangkunya sambil menunduk, jari-jarinya memainkan ponselnya, mencoba mengalihkan rasa gugup. “Gue udah jawab sejujur-jujurnya. Semoga cukup buat bikin mereka percaya aku bener-bener suka Silverdawn, bukan cuma ikut-ikutan.” gumamnya dalam hati.
Beberapa menit kemudian, seorang staf keluar membawa daftar nama. “Baik, hasil wawancara untuk 10 peserta terbaik sudah keluar. Kami akan umumkan sekarang.”
Ruangan langsung hening. Semua pasang telinga, termasuk Meirra yang jantungnya berdetak semakin cepat.
Satu per satu nama disebut. Saat sampai di nama ke-7, telinga Meirra terasa panas karena namanya dipanggil.
“Meirra Anindya,” ucap staf itu lantang.
Sejenak Meirra terpaku, lalu senyumnya merekah. Ia buru-buru berdiri, menyahut pelan, “Ya, saya.”
Beberapa peserta lain menatapnya, ada yang iri, ada juga yang memberi tatapan ramah. Meirra menarik napas lega. Ia benar-benar berhasil menembus 10 besar.
“Gue makin dekat sama Silverdawn... Kevin...” batinnya, tanpa sadar wajahnya memerah.