Erlin, gadis mandiri yang hobi bekerja di bengkel mobil, tiba-tiba harus menikah dengan Ustadz Abimanyu pengusaha muda pemilik pesantren yang sudah beristri.
Pernikahan itu membuatnya terjebak dalam konflik batin, kecemburuan, dan tuntutan peran yang jauh dari dunia yang ia cintai. Di tengah tekanan rumah tangga dan lingkungan yang tak selalu ramah, Erlin berjuang menemukan jati diri, hingga rasa frustasi mulai menguji keteguhannya: tetap bertahan demi cinta dan tanggung jawab, atau melepaskan demi kebebasan dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Abimanyu menggenggam tangan istrinya dan memintanya untuk tidak usah berkata seperti itu.
"Lin, kamu jangan pernah merasa jadi penyebab semua ini. Pertengkaranku dan Umi bukan salahmu. Itu salah Umi yang nggak mau menerima keberadaan kamu.”
Erlin menundukkan wajahnya sambil tangan bermain di jari tangan suaminya.
Abimanyu mengangkat dagu istrinya perlahan agar menatap wajahnya.
"Jangan merasa bersalah seperti itu, Lin. Aku yang memilih kamu untuk menjadi istriku dan aku tidak akan pernah menyesal dengan pilihanku." ucap Abimanyu.
Erlin ingin menepis semua perkataan dari suaminya, tapi ia melihat ketulusan yang diberikan oleh Abimanyu.
"Bi, aku cuma takut kalau kamu nanti menyesal sama aku."
"Aku tidak pernah menyesal atas keputusanku, Lin. Sekarang istirahatlah, aku tidur di sofa." ucap Abimanyu.
Abimanyu mengambil bantal dan merebahkan tubuhnya di sofa.
Erlin menatap punggung suaminya yang terbujur di sofa dengan perasaan campur aduk.
Ia menggenggam erat ujung selimutnya, hatinya berdebar menahan rasa yang sulit ia mengerti.
“Bi…” panggil Erlin lirih.
Abimanyu hanya menoleh sebentar, tersenyum tipis.
“Tidurlah, Lin. Kamu butuh istirahat.”
"Abi bisa tidur disini, kasur ini luas dan aku nggak bisa lihat Abi tidur di sofa."
"Lin, aku nggak mau kamu merasa terbebani dan aku sudah cukup tenang tidur di kamar yang sama dengan kamu."
Abimanyu meminta istrinya untuk segera tidur karena besok pagi ia akan mengajaknya ke pondok pesantren untuk sholat berjamaah.
Erlin melihat suaminya yang sudah memejamkan matanya.
Akhirnya ia pun juga menarik selimutnya dan pergi tidur.
Keesokan paginya dimana jam menunjukkan pukul setengah empat pagi.
Abimanyu membuka matanya dan melihat Erlin yang masih tertidur pulas.
"Lin, ayo bangun. Kita sholat subuh."
Abimanyu duduk di tepi ranjang, menepuk pelan lengan istrinya.
Erlin membuka matanya perlahan-lahan dan melihat suaminya yang membangunkannya.
"Bi, aku masih mengantuk." ucap Erlin
"Nanti kamu bisa lanjut tidur lagi saat sudah selesai sholat subuh."
Abimanyu yang tidak sabar langsung membopong tubuh istrinya dan membawa ke kamar mandi.
"Mandi dan langsung wudhu."
Erlin mendorong tubuh suaminya agar keluar dari kamar mandi.
"Masih mimpi beli jajan, eh malah dibangunin." gumam Erlin yang kemudian mandi.
Setelah selesai mandi, Erlin keluar dan melihat suaminya yang sudah siap.
"Sudah ambil air wudhu?" tanya Abimanyu.
"Belum, Bi. Aku kan nggak bisa wudhu." jawab Erlin enteng.
Abimanyu menghela nafas panjang dan ia mengajak Erlin kembali masuk ke kamar mandi.
"Kamu lihat dan hafalkan dari awal sampai akhir."
Erlin melihat suaminya yang mulai mengajarinya cara berwudhu.
"Sekarang gantian kamu, Lin."
Erlin kembali masuk dan mengingat bagaimana cara wudhu.
"Lin, kumur dulu baru hidung. Bukan kebalikannya" ucap Abimanyu.
Erlin mengulang lagi sampai tiga kali dan akhirnya ia bisa melakukannya dengan sempurna.
"Ayo sekarang kita ke pondok pesantren."
Erlin mengangguk kecil sambil membawa mukenanya.
Mereka berdua berjalan menuju ke pondok pesantren.
Sesampainya di sana, banyak santri dan santriwati yang melihat Erlin.
"Dia istri baru ustadz Abimanyu?"
"Kenapa nggak pakai hijab? Apa dia nggak tahu kalau suaminya ustadz?"
Banyak sekali suara yang menyudutkan dan membenci Erlin.
"Tidak usah didengarkan, Lin." ucap Abimanyu.
Erlin mengangguk kecil dan tidak menghiraukan perkataan mereka.
Kyai Abdullah meminta Abimanyu untuk segera melantunkan adzan.
Erlin segera memakai mukenanya dan duduk di bagian belakang.
"Kak, perkenalkan aku Sisil. Aku santriwati disini." ucap Sisil sambil menyodorkan tangannya.
"Aku Erlin, "
Erlin melihat suaminya yang sedang melantunkan adzan subuh.
"Merdu sekali suaranya," gumam Erlin.
Bulu kuduknya berdiri saat mendengar suara suaminya yang melantunkan adzan.
Setelah selesai adzan, mereka mulai melakukan sholat subuh.
Erlin melihat Sisil yang mulai mengangkat tangannya.
"Allahuakbar.."
Erlin menundukkan kepalanya sambil kepalanya melihat ke sajadah.
"Ya Allah, maafkan aku yang tidak hapal surat Al Fatihah." ucap Erlin dalam hati.
Erlin melirik ke arah Sisil yang melakukan rukuk dan ia mengikutinya
Dua rakaat telah selesai dan ia melihat suaminya yang memberikan tausiyah kepada para santri dan santriwati.
Erlin menoleh ke arah pohon mangga dan ia berjalan mundur tanpa ada orang yang tahu.
Ia pun langsung memanjat pohon mangga itu dan mengambil buah yang sangat matang.
"Hmm, enak sekali rasanya." ucap Erlin yang sedang menikmati mangga yang sudah matang.
Matahari sudah mulai terlihat dan semua santri mulai kembali ke kamar masing-masing.
"Dimana Erlin?" gumam Abimanyu
Abimanyu mencari keberadaan istrinya yang tidak ada di dalam mushola.
"Ustadz Abimanyu, istri ustadz ada diatas pohon." ucap Sisil.
Abimanyu yang mendengarnya langsung berlari keluar.
Kyai Abdullah, Umi Farida dan Riana juga ikut keluar.
"Erlin! Ayo turun!"
Erlin tersenyum kecil dan Erlin turun dengan lincah dari pohon mangga, masih menggenggam buah mangga yang baru saja ia petik.
Beberapa santri terperangah melihat tingkahnya, sementara Kyai Abdullah hanya menghela napas pelan, menahan senyum yang hampir muncul di wajahnya.
Abimanyu berdiri tepat di bawah pohon, wajahnya merah padam antara kesal dan khawatir.
PLAKKK!
Abimanyu langsung terkejut ketika melihat Umi Farida menampar pipi Erlin di depan banyak orang.
Erlin membuang mangga yang masih ia genggam tadi dan ia langsung menampar pipi Abimanyu.
Suasana langsung hening ketika melihat Erlin menampar suaminya.
"Dasar wanita kampungan! Bagaimana bisa kamu menampar suamimu di depan banyak orang."
"Ibu juga menampar aku, jadi aku membalasnya lewat putramu."
"Silahkan kamu pergi dari rumahku!!" teriak umi Farida.
Riana mencoba menenangkan Umi Farida yang semakin menjadi-jadi.
"Dengan senang hati ibu mertuaku,"
Erlin langsung meninggalkan mereka dan berjalan menuju ke arah jalan raya.
Ia memanggil taksi dan meminta untuk mengantarkannya ke bengkel.
"ERLIN! JANGAN PERGI!!" teriak Abimanyu.
Abimanyu menatap taksi yang menjauh, dadanya sesak seolah sebagian dari dirinya ikut terbawa pergi.
“Ya Allah, jangan biarkan aku kehilangan dia lagi.” gumamnya lirih.
Abimanyu lekas berlari dan mengambil motor milik salah satu guru disana.
"Bi! Jangan keja dia lagi! Dia sudah bikin malu Umi!"
Abimanyu tidak menghiraukan perkataan dari Umi Farida dan ia langsung mengejar istrinya.
Di dalam taksi, Erlin memegang pipinya dan menangis sesenggukan
"Dasar nenek Lampir, suka sekali mengusik rumah tanggaku." gumam Erlin.
Tak berselang lama taksi berhenti di bengkel tempatnya bekerja.
Semua orang melihat heran melihat Erlin yang masih memakai mukena.
"Mau ceramah dimana, Lin?" tanya Billy.
Erlin menghapus air matanya dengan kasar, lalu menatap Billy dengan kesal.
“Billy, jangan bikin emosi . Aku nggak ada niat ceramah dan aku cuma mau kerja.”
“Kerja? Pake mukena?” Billy menahan tawa.
Erlin tertawa kecil dan baru sadar kalau ia masih memakai mukena.
"Ya Allah, jadi aku dari tadi masih pakai mukena." ucap Erlin sambil memukul pundak Billy.
Billy melihat air mata Erlin dan ia langsung menarik pinggang Erlin.
"Aku capek Bil. Aku lelah dengan semuanya." ucap Erlin.
Dari kejauhan Abimanyu melihat istrinya yang sedang dipeluk oleh lelaki lain.