Aku, Ghea Ardella, hanyalah seorang gadis pecinta sastra,menulis mimpi di antara bait-bait senja,
terobsesi pada harapan yang kupanggil dream,dan pada seorang pria yang kusebut my last love.
Dia, pria asal Lampung yang tak pernah kusentuh secara nyata,hanya hadir lewat layar,namun di hatiku dia hidup seperti nyata.
Aku tak tahu,apakah cinta ini bersambut,
atau hanya berlabuh pada pelabuhan kosong.
Mungkin di sana,ia sudah menggenggam tangan wanita lain,sementara aku di sini, masih menunggu,seperti puisi yang kehilangan pembacanya.
Tapi bagiku
dia tetaplah cinta terakhir,
meski mungkin hanya akan abadi
di antara kata, kiasan,
dan sunyi yang kupeluk sendiri.
Terkadang aku bertanya pada semesta, apakah dia benar takdirku?atau hanya persinggahan yang diciptakan untuk menguji hatiku?
Ada kalanya aku merasa dia adalah jawaban,
namun di sisi lain,ada bisikan yang membuatku ragu.
is he really mine, or just a beautiful illusion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thalireya_virelune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
doa dari seorang sahabat
Keesokan harinya.
Aku terbangun dari tidurku dengan mata yang masih terasa berat.
Sinar matahari menembus tirai jendela, menyentuh wajahku perlahan hangat, tapi tidak mampu menghapus rasa gelisah di dada.
Aku termenung beberapa saat.
Tubuhku memang beristirahat semalam, tapi pikiranku tidak.
Ada sesuatu yang terus berputar di kepalaku, bayangan Reza, suaranya, tatapan matanya.
Aku tengadah menatap langit-langit kamar.
“Kenapa aku masih gelisah?” gumamku lirih.
Aku bisa berbohong pada dunia,
tapi tidak pada hatiku sendiri.
Sebanyak apa pun aku mencoba melupakan,
hatiku tetap pulang padanya ,pada Reza, cinta terakhir yang tak pernah benar-benar pergi.
Aku bisa mengatakan seribu kali bahwa aku sudah tidak mencintainya.
Aku bisa tersenyum di depan semua orang, seolah Reza hanyalah masa lalu yang telah hilang.
Tapi tetap saja…
relung hatiku tidak bisa dibohongi.
“Reza kapan kamu mencintaiku?”
“Ataukah tidak akan pernah?” gumamku lirih sambil menatap pantulan wajahku di cermin.
Mataku tampak lelah, tapi aku memaksakan senyum kecil, berusaha terlihat kuat meski dalam hati masih berantakan.
Aku menarik napas panjang, lalu beranjak dari tempat tidur.Hari ini aku harus ke sekolah dan aku tahu , aku tak bisa terus larut dalam bayangan Reza.
Setelah bersiap dan mengenakan seragam, aku berangkat dengan langkah pelan.
Udara pagi terasa segar, tapi hatiku tetap berat.
Setiap tawa yang kudengar di sekolah terasa jauh,setiap wajah yang tersenyum seakan berada di dunia yang berbeda denganku.
Di dalam kelas, Yena sahabatku sempat menatapku curiga.
“Ghea, kamu gak apa-apa? Kok kelihatan murung terus akhir-akhir ini?”
"punya Masalah apa lagi sama Reza?"tanya yena yang menebak perasaan ku.
“Gak apa-apa kok, cuma capek belajar.”jawabku sembari tersenyum kecil dan agak menunduk"Gak ada hubungan nya sama Reza"
Yena menatapku lekat-lekat, seolah berusaha membaca isi hatiku lewat sorot mataku.
“Yang bener?” tanyanya tak percaya, alisnya sedikit terangkat.
Aku menghela napas, mencoba tersenyum.
“Iya, Yen. Buat apa juga aku bohong? Kamu kan teman curhatku.”
Yena masih belum sepenuhnya yakin.
Dia menatapku dengan tatapan lembut, tapi penuh khawatir.
“Soalnya kamu beda, Ghea. Biasanya kalau kamu bilang ‘gak apa-apa’, justru ada yang kamu sembunyiin.”
Aku hanya terdiam.
Tangan ini refleks meremas ujung rok seragamku di bawah meja.
“Aku cuma capek aja, Yen. serius.”ucapku
“Yaudah deh kalau gitu, ini buat kamu,” ucap Yena sambil mengulurkan sesuatu padaku.
Aku menatap benda kecil di tangannya sebuah donat berlapis gula halus, dibungkus dengan tisu bergambar bunga kecil.
“Donat?” tanyaku sambil mengerutkan kening.
Yena tersenyum bangga.
“Iya, buat kamu. Cobain deh, ini buatan aku sendiri.”
Aku menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis.
“Serius kamu bikin sendiri?”
“Iya lah! Tadi pagi aku bangun jam lima cuma buat bikin itu. Jangan sia-siain ya” ujarnya sambil tertawa kecil.
Aku pun menggigitnya perlahan. Rasa manis langsung memenuhi lidahku.
“Gimana? Enak?” tanya Yena, matanya berbinar penuh harap.
Aku tertawa kecil, menutup mulutku sambil mengunyah.
“Enak sih… tapi terlalu manis.”
Yena mendengus, pura-pura kesal.
“Yah, dasar kamu! Kalau gak manis dikit aja, bukan donat namanya.”
Aku tertawa kecil mendengar celetukan Yena.
“Iya juga sih, aku kan gak terlalu suka makanan manis,” ucapku sambil tersenyum ringan.
“Btw, kamu mau jualan donat kah?”
Yena menepuk meja dengan bangga.
“Yapss! Tepat sekali!” serunya penuh semangat.
“Kamu mau jualan bareng aku gak?”
Aku menggeleng cepat.
“Enggak lah, nanti malah jadi saingan" timpalku sambil tertawa.
Yena langsung memonyongkan bibirnya pura-pura kesal.
“Ah, gitu kamu mah! Mentang-mentang anak anggota DPR, jadi gengsi jualan donat.”
Aku terdiam sejenak, lalu tertawa pelan.
“Ih, kamu tau darimana kalau papa aku keterima jadi anggota DPR?”
Yena menaikkan alis sambil nyengir lebar.
“Ya tau lah! Kan beritanya nyebar satu kota, Ghea. Semua orang ngomongin, katanya Papa kamu bakal dilantik minggu depan!”
“Ah kamu mah,” ujarku sambil mencubit lengan Yena pelan.
“Aku gak mau jualan bukan karena gengsi. Kamu tau sendiri kan? Aku orangnya teh introvert.”
Yena langsung tertawa lepas.
“Iya juga sih! Kamu aja ngomong sama guru kadang masih gugup.”
Aku ikut tertawa kecil, menunduk malu.
“Nah, itu dia. Kebayang gak kalau aku harus teriak-teriak jualan donat di depan sekolah? Bisa-bisa aku kabur duluan sebelum pembeli datang.”
Yena terkekeh sambil menggeleng.
“Dasar Ghea. Tapi jujur ya, kamu tuh lucu kalo lagi ngomong begini.”
“Tibatan maneh galau terus, Gea…”lanjut yena.
Aku menoleh cepat, pura-pura cemberut.
“Ih, siapa juga yang galau?”
"maneh pikir urang gak tau? kalau maneh teh galau karena si Reza kan?"
"ah tong sok tau gera,jadi jelema teh,kayak NU apal aja isi hati aku "tumpaku
“Ya tau atuh, kan aku teh sahabat kamu,” ucapnya sambil mencubit pipiku pelan.
Aku langsung tertawa, menepuk tangannya.
“Ih, Yena! Sakit tau!”
Yena hanya terkekeh, matanya berkilat nakal.
“Sahabat tuh kudu saling ngingetin, Gea. Nya atuh, lamun maneh terus mikirin anu geus nyakitin, kapan bahagianya?”
Aku menunduk, memainkan ujung pulpen di tanganku.
“Aku gak tau, Yen, kadang aku pengen lupa, tapi hatiku malah maksa buat inget.”
Yena menatapku lembut, senyumannya menenangkan.
“Hati teh bisa capek, Gea. Tapi inget, capek teu kudu terus nyerah. Kadang cukup istirahat, bari ngelupain saeutik-saeutik.”
(Hati itu bisa capek, Ghea. Tapi capek bukan berarti harus menyerah. Kadang cukup istirahat, sambil lupa sedikit demi sedikit.)
Aku terdiam lama. Nafasku terasa berat.
Lalu perlahan aku berkata pelan, menatap jendela kelas yang dipenuhi cahaya mentari.
"Aku tahu, Yen tapi aku gak bisa,” ucapku lirih.
“Karena Reza teh persinggahan terakhir aku. He’s my last love, my only one.”
Yena menatapku diam, seolah takut memotong kalimatku.
“Dia itu cinta terakhirku yang unreplaceable, ngerti gak, Yen?Bahkan Hara Wijaya, atau mantan terindahku yang dulu, gak akan pernah bisa gantiin tempat dia di hatiku…”
Aku tersenyum getir, menatap langit di luar jendela yang ramai oleh para siswa dan siswi lainnya.
“Reza teh istimewa di mataku. Mau seberengsek apapun dia, mau sakitin aku kayak gimana pun, tetep wae, dia rumahku.”
Yena menatapku paham lalu berkata.
"semoga dia kembali ya,aku yakin dia takdirmu"
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Yena.
“Amin, Yen, semoga aja” ucapku pelan.
Yena mengangguk, lalu menepuk pundakku lembut.
"Tapi inget ya, lamun hiji waktu,lamun hiji waktu maneh sadar dia teu balik, ulah maksa hatimu terus nunggu” kata yena dengan nada lembut tapi tegas.
“Karena nu tulus mah moal ninggalkeun, apalagi nyakitin sakitu jero.”
Aku terdiam. Kata-kata itu seperti menampar, tapi juga menenangkan.
“Aku ngerti, Yen, tapi hatiku teh udah terlalu dalam buat mundur" bisikku.