Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelulusan
Ujian telah selesai, Arumi tetap masuk sekolah untuk mengurus pinjaman buku ke perpustakaan dan juga administrasi untuk perpisahan.
Abi Aji yang tahu mengenai pembayaran uang iuran perpisahan, memberikan uang kepada Arumi sekalian dengan jatah uang saku bulanan. Ada yang berbeda kali ini, yaitu uang bulanan yang diberikan Abi Aji.
Jika biasanya Arumi menerima delapan ratus ribu rupiah, kini dirinya hanya menerima tiga ratus ribu rupiah. Arumi tidak protes, ia sadar diri karena abinya lebih sayang kepada keluarga barunya dibandingkan kepadanya.
Lagi pula, ia masih memiliki tabungannya sendiri dari menyimpan sisa uang saku dan uang belanja dari uminya selama ini.
Waktu berjalan, hubungan Arumi dengan abinya semakin dingin sejak kematian uminya dan kedatangan ibu tiri. Ibu tirinya tidaklah jahat seperti yang adad ala kisah bawang merah dan bawang putih.
Tetapi, entah mengapa Arumi merasa tidak nyaman dengan ibu tirinya. Terutama Adiba yang sewaktu-waktu bisa menindas Arumi untuk melakukan pekerjaannya, seperti mencuci pakaian atau menyetrika.
“Aku masih tidak percaya kamu bersaudara dengan cewek manja itu!” kata Aliya yang saat ini sedang menemani Arumi berbelanja.
“Kenapa memangnya?”
“Kamu dan dia itu ibarat bawang merah dan bawang putih. Dia anak manja dan kamu anak penurut.”
“Tidak sampai seperti itu juga.”
“Kamu ini terlalu tabah! Jika aku jadi kamu, mungkin aku sudah memporak-porandakan keluargamu!”
“Kamu saja takut dengan abiku. Mau memporak-porandakan apa?”
“Hehehe… Abimu itu menakutkan! Dia melihatku seolah-olah aku ini serangga. Dan saat melihatmu, abimu tidak seperti melihat anaknya melainkan orang lain. Mana ada abi yang seperti itu?”
“Nyatanya ada.” Jawab Arumi lirih.
Ternyata bukan hanya dirinya yang merasa abinya tidak menyayanginya. Aliya yang ia kenal sebagai gadis yang bebas dan cuek saja bisa melihatnya. Tapi kenapa keluarganya hanya diam saja?
“Apa yang sebenarnya aku tidak tahu?” batin Arumi.
Aliya yang melihat Arumi melamun segera menyadarkannya untuk menyelesaikan sesi belanja mereka. Aliya bahkan mengantarkan Arumi sampai ke rumah.
“Dari mana saja?” tanya Abi Aji yang juga baru kembali dari bekerja.
“Mampir ke pasar belanja, Bi.” Abi Aji hanya melihat sekilasbarang bawaan Arumi dan lebih dulu masuk ke dalam rumah.
Arumi mengikuti di belakang dan segera masuk ke dapur untuk menyimpan belanjaannya. Pagi ini Sari memberinya uang dan catatan, sehingga Arumi mampir ke pasar untuk membelikannya.
“Ini kembaliannya, Tante.” Kata Arumi seraya menyerahkan uang kembalian kepada Sari.
Arumi memanggil Sari dengan sebutan Tante karena selama ini Abi Aji tidak pernah menyuruhnya untuk memanggilnya Umi. Tante sendiri Arumi pilih karena ia merasa hanya memiliki satu Umi, yaitu Umi Im.
“Kamu simpan saja.”
“Tidak, Tante. Abi sudah memberikanku uang saku.” Arumi meletakkan uang kembalian di meja.
“Jangan tidak tahu diri seperti itu! Uang yang diberikan Abi juga tidak sebanyak yang aku terima. Kalau kekurangan uang ngomong saja, tidak perlu menolak rezeki seperti itu!” sela Adiba dengan nada kesal.
“Adiba!” tegur Sari.
Adiba membuang muka dengan kesal dan tidak lagi berkomentar. Arumi yang merasa tidak ada lagi yang perlu dikatakan, pergi masuk ke dalam kamar dan mengganti pakaiannya sebelum mengerjakan pekerjaan rumah.
Satu bulan kemudian, acara kelulusan yang diadakan sekolah dilaksanakan. Arumi telah memberikan undangan kepada abinya, tetapi ia tidak berharap banyak karena Adiba juga sudah pasti memberikan undangan kepada Abi Aji.
“Kenapa mukamu polosan seperti ini?” tanya Aliya.
“Bukankah biasanya seperti ini?”
“Hari ini tidak biasa! Hari ini hari perpisahan dan setelah hari ini kita tidak akan bertemu karena kesibukan masing-masing.”
“Terus?”
“Sini!” Aliya menyeret Arumi ke ruangan kosong dan mendandaninya di sana.
Arumi tak bisa berbuat apa-apa karena Aliya sangat antusias mendandaninya. Setelah selesai, ia sampai tidak percaya jika kemampuan make-up Aliya sudah sekelas MUA professional.
“Apa kamu mau membuka salonmu sendiri?” tanya Arumi.
“Dari mana kamu tahu? Setelah ini aku akan mengambil kursus dan setelah lulus kursus aku akan buka salonku sendiri. Bla… bla… bla…” Arumi tersenyum melihat Aliya yang menjelaskan rencananya panjang lebar.
Aliya melakukan apa yang dia suka, tak sepertinya yang masih tidak tahu ingin melakukan apa. Cita-citanya sebagai guru telah ia rintis dengan mendaftar di universitas terbuka. Tetapi ia masih tidak tahu mau melakukan apa saat libur kuliah.
Acara kelulusan dimulai, semua wali murid dan anak mereka duduk di tempat duduk yang telah disediakan. Arumi duduk bersama Aliya dan ibunya.
Saat nama Arumi dipanggil sebagai juara 1 di kelas dan juara 3 umum, hanya Arumi yang tidak ditemani oleh orang tuanya. Ia hanya bisa melihat abinya yang duduk bersama dengan Adiba dan ibunya.
Arumi yang sudah tidak berharap tidak merasakan apa-apa lagi. Tetapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia masih merasakan kekecewaan.
“Aku melihat abimu saat masuk tadi. Kenapa tidak naik ke panggung?” tanya Ibu Aliya.
“Mungkin tidak dengar saat namaku dipanggil, Tante.” Jawab Arumi sekenanya.
“Mungkin saja.” Aliya melirik ke arah Arumi yang tahu maksudnya.
Ia hanya menggelengkan kepalanya tanda dirinya tidak mempermasalahkannya. Aliya memeluk Arumi dengan erat membuat ibunya bingung dengan sikap anaknya.
Sepulang dari acara kelulusan, Nenek Ifah yang melihat penampilan Arumi mengomel dengan mengatakan penampilannya seperti ingin menggoda laki-laki.
“Maaf, Nenek. Aku tidak akan melakukannya lagi.” hanya kata itu yang bisa Arumi katakan untuk meredakan kekesalan sang nenek.
Ia hanya merasa miris, karena apa yang ada di wajahnya tidak setebal yang dikenakan Adiba. Tetapi Nenek Ifah hanya mengomentarinya.
“Apa aku tidak layak berada di keluarga ini?” batin Arumi yang menatap wajahnya di cermin.
Mungkin ini kesulitan yang uminya maksud. Tapi bagaimana caranya ia keluar dari sini jika dirinya masih berstatus anak abinya?