Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesona
Kelas baru akan dimulai pukul tiga sore, namun Camelia sudah tiba di kampus jauh lebih awal. Seperti biasa, gadis itu tidak betah berada di rumah. Bagi sebagian besar orang, rumah adalah tempat paling nyaman untuk berlama-lama, namun tidak bagi Camelia Sasongko.
Bagi gadis itu, rumah tak lebih dari sekadar atap yang menutup kepala. Jika sang surya sudah tinggi menyapa, rasanya pengap jika ia tak segera pergi.
Rutinitas Camelia pun tak banyak berubah. Hampir selalu sama, bahkan bisa dibilang monoton, yaitu membaca. Buku-buku puitis dan syair klasik selalu menjadi pilihannya. Rangkaian diksi yang tenang dan indah, seperti puisi Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, hingga kutipan-kutipan Khalil Gibran, ia baca dengan sungguh-sungguh.
Membaca menjadi caranya untuk ‘menyepi’, sekaligus ‘menyembuhkan’. Di balik lembar-lembar kertas itu, ia menemukan kedamaian. Ia merasa lebih tenang, lebih mengerti dirinya sendiri, bahkan merasa hidup di dunia yang berbeda.
Pada sudut koridor kampus, Sena melangkah menuju ruang kelas. Secara tidak sengaja, matanya menangkap sosok yang sudah sangat ia kenal. Seorang gadis yang selalu mengikat setengah rambut panjangnya dengan pita merah, Camelia.
Gadis itu duduk tenang di taman kampus, tenggelam dalam bacaan yang mungkin tidak semua orang pahami.
Indah, itu satu kata yang terucap lirih dalam hati Sena. Tidak pernah gagal untuk terpesona setiap kali melihat Camelia.
Apa aku harus menyapanya? Bilang maaf soal semalam? Mungkin saja dia merasa tidak nyaman setelah kejadian itu.
Pikiran Sena mulai dipenuhi kecemasan. Percakapannya dengan Edo, ayah Camelia, cukup krusial semalam. Ia takut, kehadirannya justru mengusik kenyamanan gadis itu.
Namun, realita lebih cepat menyeretnya dari lamunan. Ingatannya tentang jadwal kelas mengalahkan niatnya untuk menyapa.
"Astaga, aku ada kelas!" gumamnya buru-buru. Akhirnya, ia pun mempercepat langkah, meninggalkan taman tanpa menoleh lagi.
Sementara itu, Camelia baru saja menutup bukunya. Tangannya mengusap pelan halaman terakhir sebelum ia menyelipkan pembatas buku. Pandangannya pun terangkat, mengamati sekitar taman yang belum ramai, dan di sana, di ujung koridor fakultas ia melihat sosok yang sama seperti semalam. Sena, pria yang telah mengantarkannya pulang dan secara tak langsung menimbulkan kesalahpahaman di hadapan ayahnya.
Menyebalkan.
Camelia mendesah dalam hati, kala wajah Sena yang sekilas terlihat tadi membuat hatinya tidak karuan.
Tapi, Gray bilang aku harus mulai membuka diri. Tapi... masa iya mulai dari Pak Sena? Nggak, deh. Apa aku cari teman lain aja? Tapi siapa, ya? Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Sebenarnya, bukan tidak ada yang ingin berteman dengannya. Banyak mahasiswa di fakultasnya yang ingin mendekat, sekadar menyapa atau mengajaknya berbincang. Namun Camelia selalu menarik diri. Bukan karena trauma, bukan juga karena pengalaman buruk. Ia hanya, tidak tertarik.
"Menyendiri itu menyenangkan."
Begitulah ia meyakinkan dirinya selama ini. Tapi, ucapan Gray semalam terus terngiang. "Mungkin hidupmu perlu warna baru." Entah kenapa, kata-kata itu mulai terasa masuk akal sekarang.
......................
Beberapa jam telah berlalu sejak Camelia duduk menyendiri di taman kampus. Suasana mulai ramai, suara langkah kaki dan tawa mahasiswa terdengar bergantian memenuhi lorong-lorong gedung Fakultas Seni Rupa dan Desain.
Pukul hampir menunjukkan jam tiga sore, waktu dimulainya kelas Creative Branding, mata kuliah pilihan yang Camelia ambil di semester ini. Agak malas sebenarnya, mengingat dosen pengampunya adalah Pak Sena. Namun, mau bagaimana lagi? Ini sudah menjadi kewajiban.
Mata kuliah Creative Branding memang menarik, tapi suasana hati yang belum stabil membuat semangatnya menurun. Apalagi setelah kejadian semalam yang meski tidak disengaja, jelas meninggalkan jejak kikuk di antara mereka.
Namun, Camelia bukan tipe yang lari dari tanggung jawab. Meski enggan, ia tetap memilih hadir dan menyelesaikan apa yang sudah menjadi tugasnya sebagai mahasiswa.
Lagipula, tidak ada gunanya membiarkan perasaan pribadi mengganggu kewajiban akademik. Begitulah prinsipnya, sekeras mungkin berusaha memisahkan antara dunia kampus dan perasaan yang belum tentu jelas arahnya.
Ruangan kelas cukup luas, meja dan papan tulis kaca di bagian depan menunjukkan suasana belajar yang casual tapi tetap profesional. Beberapa mahasiswa telah duduk, membuka laptop, ada pula yang masih asyik berbincang.
Sementara Camelia, seperti biasanya, memilih duduk di kursi barisan belakang, sisi kanan, tempat favoritnya. Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Pintu terbuka, dan seperti biasa, dosen yang ditunggu pun masuk.
Girisena Pramudito.
Camelia menunduk, pura-pura fokus pada layar laptop saat melihat Sena masuk. Sementara itu, Sena berdiri di depan kelas dengan kharismanya yang khas. Kemeja hitam yang digulung hingga siku, kacamata tipis di pangkal hidung, dan raut wajah yang selalu tenang namun tegas. Hari ini ia tampak lebih segar atau mungkin memang begitu setiap harinya di mata mahasiswa.
"Selamat sore semuanya," sapanya hangat.
Mahasiswa serempak menjawab, dan Camelia pun ikut bersuara kecil, nyaris tidak terdengar.
"Baik, kita lanjutkan materi minggu lalu tentang Brand Personality. Saya harap kalian sudah membaca jurnal yang saya unggah di e-learning," lanjut Sena, membuka presentasi lewat proyektor.
Kelas berjalan lancar. Sesekali ada diskusi, beberapa mahasiswa mengangkat tangan, menyampaikan pendapat. Setengah jam berselang, Sena mengedarkan pandangan ke seluruh kelas. Tatapannya, tanpa sengaja atau justru disengaja, berhenti sejenak di sudut belakang.
Camelia.
Gadis itu masih mencatat, tak sadar dirinya tengah diperhatikan. Tapi saat tanpa sengaja mengangkat wajah, mata mereka pun bertemu.
Hanya sepersekian detik.
Tanpa sadar, seulas senyum tipis terulas di bibir Sena, tak sampai ditarik penuh. Namun, tidak demikian dengan Camelia. Gadis itu menatapnya datar, seolah-olah mereka belum pernah saling mengenal.
Mengingat masih berada di ruang kelas, Sena berdehem pelan dan segera kembali memfokuskan diri pada pekerjaannya di depan. Ia berusaha mengalihkan pikiran, walau benaknya terus melayang-layang pada satu sosok, Camelia.
Beberapa saat berlalu, kelas pun usai. Mahasiswa satu per satu mulai keluar. Suara kursi yang ditarik dan langkah kaki mulai mereda, hingga akhirnya ruangan hampir kosong.
Sena tetap duduk di kursinya, sibuk merapikan laptop dan beberapa berkasnya. Pandangannya sesekali terangkat, melirik Camelia yang masih duduk di bangkunya. Gadis itu tampak begitu tenggelam dalam layar laptop, jemarinya terus menari diatas keyboard.
"Dia tidak pulang?" gumam Sena.
Begitu ruang kelas benar-benar sepi, Sena berdiri dan melangkah perlahan menuju bangku Camelia. Langkahnya tak disadari gadis itu, yang tetap fokus menatap layar, seperti dunia luar tak lagi penting.
Sena duduk di kursi tepat di hadapan Camelia, lalu tanpa banyak bicara, ia meletakkan sebatang coklat di atas meja. “Coklat buat kamu, saya harap kamu suka,” ucapnya.
Tanpa menoleh, Camelia menjawab cepat, “Saya sedang diet, Pak.”
Sena mengangguk kecil. Ucapan singkat itu baginya terdengar seperti penolakan halus, tapi tegas. Dengan kikuk, ia kembali mengambil cokelat itu dan menggenggamnya erat.
“Kamu tidak pulang?” tanya Sena, berusaha membangun percakapan.
“Nanti,” jawab Camelia singkat.
“Ada kelas?” lanjut Sena. Sedangkan gadis itu hanya mengangguk tanpa menoleh.
Sena diam sejenak, ada rasa asing yang mengganjal. Padahal, saat di kafe malam itu, Camelia tampak lebih ramah, tersenyum, bahkan memuji. Tapi sekarang, seolah ada jarak yang begitu nyata.
“Mengenai semalam... saya minta maaf. Mungkin saya terlalu lancang, dan sekarang kamu merasa tidak nyaman.” ucap Sena dengan lebih hati-hati.
Camelia akhirnya menutup laptopnya, memasukkannya ke dalam tas dengan gerakan cepat. Kali ini, ia menatap Sena langsung, tanpa senyum. “Betul, saya tidak nyaman dengan ucapan Papa saya semalam, dan semua itu terjadi karena Anda. Papa saya jadi berasumsi bahwa kita punya hubungan. Seharusnya Anda bisa membantah lebih jelas,” ucapnya lugas, lalu bangkit dari kursinya.
“Ah, sudahlah, Pak. Saya tidak ingin membahas ini lebih jauh. Maaf, saya harus ke kelas berikutnya. Selamat sore.” lanjutnya. Camelia melangkah pergi, meninggalkan Sena yang masih duduk mematung dengan coklat di genggamannya.
Sena menggenggam batang coklat itu lebih erat, seolah sedang menahan sesuatu yang tidak bisa ia ucapkan.
Baru kali ini aku merasa kalah... hanya karena satu perempuan, mahasiswaku sendiri. Padahal banyak mahasiswa yang berusaha mendekatiku, bahkan memuja. Tapi Camelia? Menatapku saja enggan. Astaga, Camelia... mungkin justru ini yang membuatku semakin ingin mengenalmu lebih dalam, batinnya.
Wajah Camelia, sorot matanya, dan sikap dinginnya, justru semakin melekat dalam kepala Sena. Bukannya memudar, semuanya justru kian tumbuh, menjalar ke ruang-ruang dalam pikirannya.
Ada daya pikat yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Bahkan dirinya yang seorang dosen, seorang dewasa dengan gelar akademis dan kedewasaan penuh, merasa bodoh karena memikirkan Camelia setiap waktu.
Camelia seperti enigma. Tidak seperti perempuan lain yang sering kali menunjukkan ketertarikan secara terang-terangan, Camelia adalah teka-teki berjalan. Diam, tertutup, tapi punya cahaya sendiri yang mampu menarik perhatian tanpa suara.
Setiap kali langkah kaki Camelia terdengar di koridor kampus, Sena tahu, sebab ia hafal iramanya. Setiap kali pita merah di rambutnya terlihat dari kejauhan, Sena langsung menegakkan tubuhnya. Bahkan, hanya melihat siluetnya dari taman, sudah cukup untuk membuat hari Sena lebih hidup.
Di ruang dosen, saat sedang menyusun materi atau memeriksa tugas mahasiswa, nama Camelia selalu jadi sorotan. Bahkan, saat membaca tugas-tugas mahasiswa lain pun, pikirannya masih sibuk bertanya, ‘Apa Camelia sudah mengumpulkan tugasnya? Apa dia kesulitan? Perlu bantuan?’
Sena bahkan mulai merasa, obsesif. Tapi bukan dengan cara yang menyeramkan. Hanya saja, setiap ruang di hidupnya kini seperti membuka satu slot baru yang penuh dengan segala hal tentang Camelia.
Sena tahu itu tidak seharusnya. Ia tahu relasi antara dosen dan mahasiswa punya batas. Tapi, hati tidak mengenal aturan dan setiap kali Camelia berkata ‘Pak’ dengan nada datarnya yang khas, entah kenapa jantung Sena justru berdetak lebih cepat.
Sena mulai memutar ulang momen-momen sederhana bersama Camelia. Tumpangan mobil pagi itu, percakapan canggung di kafe. Tatapan sinis di kelas, bahkan penolakan dinginnya, semua terasa menyenangkan untuk diingat kembali.
Mungkin, inilah yang disebut tergila-gila. Bukan karena Camelia bersikap manis, tapi karena Camelia tidak pernah berusaha memikat dan tetap berhasil membuat Sena terperangkap sepenuhnya.