Aleena terpaksa harus menolak perjodohan karena dirinya sama sekali tidak menyukai laki-laki pilihan orang tuanya, justru malah tertarik dengan sekretaris Ayahnya.
Berbagai konflik harus dijalaninya karena sama sekali tidak mendapatkan restu dari orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7#Di rumah duka
Aleena yang mendapat kabar bahwa sangat ayah telah tiada, pun tidak kunjung sadarkan diri dari pingsannya. Dunianya terasa runtuh ketika sang ayah pergi untuk selama-lamanya.
Begitu juga dengan Nyonya Meli, terasa hancur hatinya ketika sang suami telah meninggalkannya untuk selamalamanya, sungguh tidak pernah terbayangkan akan kehilangan orang yang sangat dicintainya.
Sama halnya dengan Bernio, putra sulung yang menjadi bagian penerus keluarga Hamuangka. Bernio sangat terpukul ketika ditinggal pergi oleh sang ayah, dan pertemuan terakhir setelah pulang dari luar negri.
Devan yang sedari tadi sibuk ikut membantu proses pemakaman mendiang Tuan Arvian, juga selalu siaga untuk keluarga Hamuangka, termasuk menjaga Bernio, sesuai pesan yang diterima.
Aleena yang tersadar dari pingsannya, kini tengah ditemani oleh mbak Dila. Sedangkan Veriando selaku suaminya acuh tak acuh lantaran memang tidak ada perasaan apapun terhadap istrinya. Pernikahan mereka hanya saling menguntungkan pihak satu sama lain dari kedua belah pihak keluarga.
Tuan Arvian merasa mempunyai hutang budi atas keselamatan keluarganya. Sedangkan keluarga Derwaga merasa berhutang budi atas bantuan dari keluarga Hamuangka, oleh karena itu, untuk menjaga hubungan agar tetap terjaga dan seperti keluarga, maka putra dan putri mereka dijodohkan, agar hubungan baik akan terus terjaga. Namun siapa sangka, kalau keduanya tidak ada perasaan sama sekali.
Kini, Tuan Arvian telah berpulang, entah akan seperti apa kehidupan Aleena bersama Veriando. Juga, sosok Devan yang rupanya masa lalunya Aleena.
_______
Setelah selesai pemakaman, Aleena masih juga belum sadarkan diri, Nyonya Meli dan juga Bernio benar-benar mengkhawatirkan keadaannya.
"Papa, Papa," racau Aleena yang masih memejamkan kedua matanya.
"Sayang, ini Mama, sayang, bangun, sayang, kamu yang kuat ya, Nak..." ucap ibunya yang kuasa menahan kesedihannya ketika melihat putrinya yang sedari tadi meracau memanggil ayahnya.
Pelan-pelan, Aleena membuka kedua matanya, lalu duduk dan langsung memeluk ibunya sangat erat.
"Mama, Papa tidak ninggalin Aleena 'kan, Ma?"
"Tidak, sayang, Papa selalu ada dihati kita, kamu yang sabar ya, Nak... kita pasti bisa melewati semuanya. Kamu masih ada Mama, juga Kak Nio."
Kemudian, Nio meraih tangan adiknya.
"Kita tidak bisa melawan takdir, juga tidak bisa menentang apa yang sudah menjadi ketentuan. Kakak tau, kamu sangat kehilangan Papa, tapi kamu jangan menyiksa diri, karena kamu tidak sendirian, kamu masih ada Kakak, juga Mama,"
Ibunya segera melepaskan pelukannya.
"Kakak mau keluar sebentar, mau minta izin sama suami kamu, buat ngizinin kamu tinggal di rumah ini beberapa waktu, agar mentalmu terjaga. Bentar ya, Kakak mau bicara dulu sama suami kamu," sambungnya lagi.
Kemudian, Bernio ditemani Devan untuk bicara dengan Veriando.
"Veriando, aku ingin bicara sesuatu sama kamu, bisa 'kan?"
"Bisa, ngomong aja disini," jawabnya.
"Maaf jika kurang pantas kalau aku ngomongnya sambil berdiri. Begini, aku mau minta izin sama kamu buat ngizinin Aleena tinggal di rumah untuk sementara waktu, dia baru aja berduka, kehilangan orang tuanya, aku mohon izinkan Aleena tinggal disini sementara waktu,"
"Kebetulan banget, aku juga males direpotkan adik kamu, apalagi nangis terus kerjaannya, mendingan kamu urus adik kamu sampai dianya gak cengeng lagi,"
"Kamu!"
Devan serasa tidak terima ketika mendengar ucapan dari Veriando. Kemudian, Bernio mengangkat tangannya memberi sebuah kode untuk tidak ikut campur.
"Terima kasih sudah mengizinkan Aleena untuk tinggal disini sementara waktu,"
"Kalau gitu aku mau langsung pulang, bilang sama adikmu, jaga diri baik-baik,"
Bernio cuma mengangguk. Benar-benar tidak menyangka kalau Veriando sama sekali tidak ada rasa empati sedikitpun terhadap adiknya, serasa kecewa telah menikahkan adiknya dengan lelaki seperti Veriando. Nasi telah menjadi bubur, semua sudah terlanjur. Bahkan, Bernio tidak dapat membayangkan jika adiknya satu atap satu kamar dengan Veriando.
Ingatannya Bernio kembali teringat saat dirinya menghajar adik iparnya, lantaran sama sekali tidak peduli ketika adiknya jatuh pingsan. Bahkan, saat tengah berduka, sedikitpun tidak ada rasa empatinya sama sekali, benar-benar sangat kecewa.
"Devan, tolong aku ya, besok kamu gantiin posisi Papa aku buat ngurus kantor. Aku belum ada waktu untuk menanganinya, aku mau fokus dulu sama Aleena, karena aku tidak ingin dia kenapa-kenapa. Oh iya, setelah pulang dari kantor, tolong langsung pulang kesini ya, aku benar-benar sangat membutuhkan mu. Soal ibumu sama adik kamu, biar nanti aku kirim asisten rumah biar ada yang jaga ibumu sama adik kamu," ucap Bernio yang begitu penat.
"Tidak perlu mengirim asisten ke rumah, adik aku lagi libur kuliahnya,"
"Tidak apa-apa, biar aku lebih tenang saat kamu ada disini,"
"Baik lah, aku tidak bisa menolaknya,"
"Kamu boleh istirahat, aku mau menemui adik aku, kasihan Mama, pasti capek juga, biar istirahat," ucap Bernio.
"Silakan," jawab Devan dengan anggukan.
Kemudian, Bernio segera masuk ke kamar adiknya untuk menggantikan ibunya, takutnya kecapean dan berujung jatuh sakit, pikirnya.
"Ma, sebaiknya Mama istirahat di kamar, sayang sama kesehatannya Mama kalau sampai ngedrop. Aleena biar Nio yang jagain, juga ada mbak Dila, Mama istirahat aja di kamar," ucap Bernio yang tidak ingin ibunya jatuh sakit.
"Tapi, Nio,"
"Tidak apa-apa kok, Ma, benar kata Kak Nio, Mama istirahat dikamar, biar mbak Dila sama Kak Nio yang menemani Aleena. Mama pasti capek, juga Mama butuh ketenangan, Aleena baik-baik saja kok, Ma," timpal Aleena yang juga tidak ingin ibunya jatuh sakit gara-gara sibuk menjaga dirinya.
"Udah, Ma, Mama istirahat dikamar, nanti Bibi yang nemani Mama, biar Mama gak sendirian dikamar," ucap Bernio mencoba untuk membujuk ibunya agar mau menuruti perintahnya.
"Kalian yakin?"
Aleena sama Bernio mengangguk bersamaan.
"Iya, Ma," jawab keduanya.
"Ya udah, Mama ke kamar ya, kamu yang ikhlas, dan juga sabar, serta kuat buat nerima semua yang sudah menjadi takdirnya Papa,"
"Iya, Ma, Aleena pasti kuat, ada Mama sama Kak Nio," jawab Aleena yang begitu sedih ketika dihari pernikahannya justru menjadi malapetaka bagi keluarganya.