Perjalanan hidup sebuah nyawa yang awalnya tidak diinginkan, tapi akhirnya ada yang merawatnya. Sayang, nyawa ini bahkan tidak berterimakasih, malah semakin menjadi-jadi. NPD biang kerok nya, tapi kelabilan jiwa juga mempengaruhinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmanthus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kaget!!
Anak-anak sudah tertidur pulas saat bu Tere dan pak Guntur mulai mematikan lilin, sebenarnya mereka juga memakai lampu listrik, tapi demi berhemat, juga memakai lilin sekedar penerangan sebelum tidur.
Bu Tere lalu mematikan lilin dan membaringkan badan yang kelelahan karena sibuk sedari pagi. Hati nya puas karena acaranya berjalan lancar. Semua bahagia.
Mereka tertidur nyenyak setelah itu tanpa sadar ada bahaya mengintai.
......................
Di pojok gang ada sosok hitam yang mengendap-endap berjalan mengamati situasi. Rumah-rumah sudah mulai sepi dan tidak terlihat lagi adanya aktivitas. Dia mulai memperhatikan sekeliling dan mencoba masuk ke pekarangan salah satu rumah. Di tangannya sudah ada korek api kayu dan jerigen bensin.
Dia mulai menyebarkan bensin ke semak-semak di belakang rumah, lalu berjalan terus, sehingga ceceran bensin membentuk garis lurus.
Sesampainya di pojok paling gelap dari gang itu, dia mulai mematik korek api kayu miliknya dan tersenyum dengan kejam.
"Sekarang kalian tidak bisa lagi keras kepala." Gumamnya sambil menyeringai dan menjatuhkan korek api ke bensin yang sudah diserakkan di tanah.
Dengan cepat api merambat dan menjalar, mengikuti aliran ceceran bensin dan merambat ke kayu-kayu di pintu belakang rumah. Secepat kilat api merambat dan membakar pintu-pintu juga mulai membakar dinding-dinding.
Salah satu penghuni terbangun dan mulai berteriak-teriak.
"Api....api..." di membangunkan semua yang ada dalam rumah.
Tak lama semua penghuni rumah-rumah itu mulai panik, mereka berlari keluar sembari berusaha menyelamatkan barang berharga. Ada juga yang kebingungan hanya bisa menangis meratapi rumah terbakar dengan cepat.
......................
"Api...Api..."
Teriakan ini membuat pak Guntur bangun dan melihat asap hitam di kamar sangat tebal. Pak Guntur dengan cepat membangunkan bu Tere dan Mita.
Kedua perempuan ini kaget dan shock, tapi pak Guntur dengan cepat menyuruh bu Tere membawa lari Nita, dan Mita disuruh menarik Joni dan Doni dari kamarnya. Pak Guntur sedang mengeluarkan surat-surat berharga mereka.
Bu Tere memeluk Nita dan segera keluar rumah sembari menangis melihat ke arah rumah. Tapi sampai di luar dia sadar dia malah menggendong guling Nita. Akhirnya bu Tere masuk lagi dan menggendong Nita.
Disaat yang sama Mita menarik Joni dan Doni sehingga membuat kedua anak ini kaget. Terlebih Doni yang tidak tahu apa-apa malah kebingungan. Mereka sampai di luar dengan selamat, tapi Doni melihat mainannya yang baru dibelikan pak Guntur terbakar, dia menangis.
Pak Guntur berhasil mengeluarkan surat-surat penting mereka dan badannya berbau asap tebal karena dia beberapa kali keluar masuk mencoba menyelematkan apa yang bisa diselamatkan. Keranjang pakaian Nita dan susu bayi nya berhasil diselamatkan, beberapa pakaian anak-anak juga berhasil diselamatkan tapi yang lainnya tidak bisa lagi.
Api menjalar dengan cepat melahap habis semua rumah yang ada. Seakan malam itu bagaikan siang hari karena api yang membara dengan hebatnya. Semua rumah hilang dalam lautan nyala api. Hanya isak tangis dan raungan yang terdengar di sela-sela bunyi gemertak kayu terbakar api.
"Tolong, rumahku..." Teriak bibi Yunita meraung-raung di tanah, dia menangis karena rumah itu baru 4 bulan ditempati dan baru dibangunnya.
"Bagaimana ini, ya Tuhan" rintih bibi Tania melihat semua perabotan rumahnya habis dilalap api. Padahal barang itu dibeli nya dengan cicilan, dan masih ada cicilan yang belum lunas.
"Tidakkkk.....mengapa harus rumah kami." pekik bibi Suni.
Bu Tere hanya bisa terpaku dan menangis sambil berpelukan dengan Mita, tak lupa dia mendekap anak-anaknya dan si kecil Nita.
Para bapak berusaha menyiram api yang membara dengan air dari sumur, berharap pemadam kebakaran segera datang. Tapi mengingat ini tengah malam, mereka pesimis pemadam kebakaran akan segera datang.
20 menit kemudian pemadam kebakaran datang, setelah ada warga yang menelpon dengn telepon rumahnya (dulu belum ada hp, hanya ada telepon rumah, itupun yang berduit yang punya)
Api berhasil dipadamkan tapi rumah ini sudah menjadi kayu bakar, tidak terlihat lagi bentuk asli rumah itu.
Malam itu mereka menangis meraung-raung. Menjelang pagi semuanya baru padam dan mereka menumpang di dalam rumah pak RT yang cukup besar. Warga meminjamkan tikar dan selimut, sehingga anak-anak bisa tidur.
Pak Guntur beserta bapak-bapak yang lain mencoba mencari barang-barang yang selamat dari kebakaran. Ada yang berhasil menyelamatkan beberapa helai pakaian, ada juga mainan yang tidak terbakar karena api keburu padam, ada bantal yang sudah basah kuyup tapi selamat dari api, ada sofa yang juga basah tapi selamat dari api. Semua barang yang masih baik dikeluarkan dari sisa kebakaran.
"Kak, bagaimana kalau kita ke rumah ibu saja?" ujar Mita mengajak bu Tere ke rumah ibu tirinya.
"Tapi disana pasti tidak muat untuk kami Mit" jelas bu Tere.
Ya rumah ibu tirinya hanya sebuah kamar kecil yang ditinggali bertiga. Tentu saja tidak muat lagi untuk bu Tere beserta keluarga nya.
"Iya sih kak, rumah kami kecil sekali."jawab Mita sedih. "Lalu dimana kalian tinggal? Rumah itu sudah hancur semua." Mita menangis memandang rumah kakak nya.
"Aku rasa kami bisa menumpang di rumah mertua ku." ujar bu Tere teringat rumah orangtua pak Guntur.
"Mereka punya rumah yang cukup banyak kamar, meskipun beberapa sudah disewakan kepada orang lain, aku rasa masih ada kamar kosong untuk kami." bu Tere mencoba mengingat-ingat.
"Oh ya, rumah orangtua kak Guntur kan bisa ditinggali kak." sahut Mita bersemangat.
"Apa kita mau langsung ke sana saja? Ngga enak juga menumpang disini. Apalagi ada 8 rumah yang terbakar." ujar Mita lagi sembari melihat ke sekeliling rumah.
Ada 5 keluarga yang menumpang disini, sisa 3 lagi sudah mengungsi ke rumah saudara atau orang tua mereka.
"Bagaimana dengan saudari-saudari kita yang lain kak?" tanya Mita cemas juga.
"Tadi kakak dengar mereka juga akan menumpang di rumah mertua masing-masing." jawab bu Tere mengingat percakapan dengan saudari nya.
"Syukurlah masih ada tempat tujuan. Minimal bisa menumpang sembari menunggu rumah ini kembali dibangun." gumam Mita sambil termenung menatap sisa kebakaran.
Asap masih membumbung tinggi di udara, hawa panas masih terasa dengan jelas. Barang-barang yang selamat dijaga oleh bapak-bapak karena takut dijarah preman-preman kampung.
Ibu-ibu berusaha tegar sembari memeluk anak mereka. Siapa sangka, hanya dalam 1 malam semua habis menjadi debu. Rumah mereka hilang, barang-barang habis, hanya beberapa yang bisa diselamatkan.
Anak-anak menangis melihat kebakaran itu, dalam sekejab mata rumah mereka hilang, barang-barang kesayangan tidak bisa diselamatkan lagi.