NovelToon NovelToon
Memori Kelabu

Memori Kelabu

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Cinta Murni
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Kenangan mungkin tak selalu berisi manis. Rasa pahit akan selalu menyertai. Amira sadar jika dirinya adalah orang yang telah memberi warna kelabu pada masa lalu kehidupan Vian. Kini rasa sesal tak lagi berlaku, sebab Vian telah melupakan semuanya. Semua boleh hilang, semua boleh terlupakan. Yang Amira harapkan hanya satu, Tuhan memberikan kesempatan untuk memperbaiki apa yang pernah ia sia-siakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keping ke-7

Ada yang berbeda dengan Amira. Sungguh, Vian merasa sangat dekat dengan Amira meski mereka baru kenal kemarin. Gadis yang menyenangkan, apa adanya, dan sangat manis. Amira bisa membuat Vian merasa nyaman saat bersamanya. Vian bahkan tidak bisa lupa wajah gadis itu ketika menangis tanpa sebab tadi. Sungguh gadis yang sensitif.

Saat sampai di rumah, Mama Vian bahkan sampai terheran saat melihat anak bujangnya datang dengan senyum-senyum sendiri. Tas selempangnya langsung dilemparnya di sofa ruang tamu, lalu ia juga menghempaskan tubuhnya di sana dengan mata yang terpejam.

“Kamu seneng banget hari ini…”

Vian hanya membuka sebelah matanya untuk melirik Mama. Wanita itu masih mengenakan seragam guru PNS, baru pulang mengajar.

“Dapet pacar baru?” Mama duduk menjajari Vian, menyibak helai-helai anak rambut yang menutupi kelopak mata Vian. Model harajuku itu seperti ini? Berantakan, tapi Mama tidak mau banyak protes.

“Pacar?” Vian lantas menegakkan punggungnya. Sebelah alisnya terangkat menatap Mamanya. “Emang orang senyum itu identik sama pacar baru, Ma?”

“Iya, kalo yang senyum-senyum itu seusia kamu…” Mama langsung tertawa, meledek. Apalagi melihat anak bujangnya itu salah tingkah, sudah bisa dipastikan jika tebakannya tadi tidak salah.

“Huuu… ngaco.” Vian sewot, meski sebenarnya ingin tertawa melihat tingkah Mamanya. Sudah lama Mamanya tidak tertawa seperti itu.

“Mama bikinin susu hangat, mau?”

Vian mengangguk. “Boleh. Sama temannya…”

Mama bangkit dan mengacungkan jempol. “Biskuit kelapa, kan?”

“Mantap.”

Mama mengangguk lalu berlalu ke dapur. Tak sampai lima menit wanita itu sudah kembali ke ruang tamu dengan janjinya, dua cangkir susu hangat dan setoples biskuit kelapa. Vian selalu suka dua kombinasi itu, mencelupkan biskuit kelapa ke dalam cangkir susu hangat itu seperti sebuah kewajiban yang akan terasa kurang jika sampai terlewatkan.

Vian langsung mengambil alih cangkir yang baru saja diletakkan di meja. Mencomot biskuit dalam toples tanpa tutup, ia baru saja akan mencelupkan biskuitnya ketika kalimat Mama mengalihkan perhatiannya.

“Tadi dokter Adrian nelpon. Nanyain keadaan kamu.”

“Tanya kabar saya atau pengen dengar suara Mama?” Vian bersiul.

Dan pukulan main-main Mama mendarat di lengan Vian. Pemuda itu mengaduh, lalu terpingkal. Vian tahu, sejak dokter Adrian merawatnya pasca kecelakaan setahun lalu, ada ketertarikan khusus untuk Mamanya. Vian tidak masalah, toh dokter itu duda, sedangkan Mama juga sudah lama bercerai. Tunggu apa lagi? Vian juga heran kenapa Mamanya itu masih sulit move on.

“Saya suka dokter Adrian kok. Tenang saja, saya tidak akan jadi anak durhaka,” barisan kalimat itu seakan Vian mengatakan hal penting saja. Mama hanya berdecak sebal.

“Vian…!” Mama menekan suaranya.

Tapi anak tunggalnya itu justru meledek dengan muka datar. “Iya, Mama…”

“Anak nakal.”

Vian tertawa saja. Ia menyadari waktu sudah cukup sore. Sejak tadi pagi, Vian memang berencana ingin jalan-jalan, dan sejak tadi siang pun rencananya berubah ingin bertemu dengan Amira. Pesan Whatsapp dari Amira tadi yang membuat Vian senyum-senyum sendiri. Katanya, ada penjual tahu tek yang enak sekali di dekat stasiun kota baru.

“Ma, saya mau keluar dulu…” Mama terheran melihat Vian yang buru-buru menenggak susunya. Hanya ada sebiji biskuit yang masuk ke mulutnya.

“Kamu barusan pulang, lho.” Mama protes, tapi sebenarnya tidak keberatan jika Vian memang menemukan seseorang yang bisa jadi teman dekatnya. Toh, selama ini Vian terlalu banyak mendekam di rumah karena merasa asing dengan orang-orang di luar.

“Sebentar saja.” Vian merogoh saku celananya, mencari-cari kunci motornya.

“Mau ketemuan sama cewek, ya?” Mama bertanya dengan genit.

Muka Vian langsung bersemu merah.

“Ternyata benar,” sahut Mama. Vian makin salah tingkah. “Mamaaaa…”

***

Nyaris satu jam. Orang yang ditunggu Vian belum juga datang. Langit mulai merah, senja turun, cantik. Tapi rasa lelah terlanjur membuat Vian tidak bisa menikmati keadaan. Ke mana Amira? Lupa dengan janji, kah?

Rasanya Vian tidak punya pilihan lain. Ia meraih ponsel dan menekan nomor Amira. Hingga nada tunggu terdengar beberapa kali, tidak juga ada jawaban. Tak menyerah, Vian mencoba lagi. Dijawab. Suara Amira terdengar samar mengatakan, “Halooo…”

“Kamu di mana?” tanya Vian, tak ada kemarahan yang keluar dari pertanyaan itu. Vian sama sekali tidak marah, ia justru khawatir kalau Amira kenapa-napa.

“Di rumah,” jawab Amira. Ia menggeliat di kasurnya, baru terbangun setelah ketiduran tadi siang. Kantuknya baru benar-benar hilang setelah mendengar suara Vian, suara yang seolah mengingatkan tentang jalan-jalan sore. Astaga, ini sudah jam berapa?

“Katanya mau jalan-jalan sore.”

Amira tercekat. Panik, ia buru-buru bangkit dari tempat tidur dan pontang-panting, lari tak jelas.

“Ya Tuhaaan… aku ketiduran. Maaf, Vian… Maaf…”

“Yah…” Vian menghela napas panjang. Amira tahu Vian pasti sangat kecewa. Ini sudah hampir gelap, dan ia sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan kini.

“Se‒sebentar. Aku cuci muka dulu dan segera ke sana.” Amira bersiap ke kamar mandi dengan ponsel yang masih melekat di telinga kanan.

“Tidak usah. Saya sudah mau pulang. Sudah hampir gelap,” sahut Vian di seberang, meski terdengar santai, tapi tetap saja Amira merasa tidak enak.

“Vian… sungguh, maaf banget.”

“Tidak apa-apa, kok.” Sungguh, Vian tidak mempersoalkan ini, Amira saja yang terlalu merasa bersalah, hal yang membuat Vian tersenyum simpul tanpa sadar.

“Gimana kalo kamu ke rumahku?” tawaran itu meluncur begitu saja. Amira tidak yakin Vian bersedia, Vian pantasnya marah.

Vian tersenyum antusias. “Boleh. Di mana alamatnya?”

Amira menyebutkan alamatnya dan sepertinya Vian tahu alamat itu. Ia langsung memacu motornya dengan cepat menuju alamat Amira.

1
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya.
Subber Ngawur: terima kasih 🥰
total 1 replies
Anita Jenius
Salam kenal kak
Subber Ngawur: halo, salam kenal
total 1 replies
Lucky ebj
ceritanya menarik,, bikin penasaran
Subber Ngawur: Terima kasih sudah mampir baca 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!