Terbangun dari koma akibat kecelakaan yang menimpanya, Lengkara dibuat terkejut dengan statusnya sebagai istri Yudha. Jangan ditanya bagaimana perasaannya, jelas saja bahagia.
Namun, Lengkara merasa asing dengan suaminya yang benar-benar berbeda. Tidak ada kehangatan dalam diri pria itu, yang ada hanya sosok pria kaku yang memandangnya saja tidak selekat itu.
Susah payah dia merayu, menggoda dan mencoba mengembalikan sosok Yudha yang dia rindukan. Tanpa dia ketahui bahwa tersimpan rahasia besar di balik pernikahan mereka.
******
"Dia berubah ... amnesia atau memang tidak suka wanita?" - Lengkara Alexandria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 07 - Pecah
Semarang.
Bagian paling sakit dalam hidupnya adalah menjadi seorang putra dari keluarga Atmadjaya. Hidup di bawah tekanan dan tanggung jawab besar hanya karena dia paling tua bukan hal yang menyenangkan. Terlebih lagi, yang harus dia kasihi adalah ibu dan kedua adik tirinya.
Bimantara diperlakukan layaknya mesin pencetak uang. Dia yang cerdas membuat Atmajadya menekannya sejak remaja. Dididik dengan keras dan merasakan sakit setiap hari membuat Bima sedikit sulit beradaptasi, pria itu lebih memilih diam dalam menjalani kehidupannya hingga dewasa.
"Dari mana saja? Kau lupa hari ini ulang tahun Raja?!"
Baru juga selangkah, Bima sudah bergetar mendengar bentakan papanya. Sebenarnya sudah Bima atur sebaik mungkin, tapi memang perjalanannya sempat tertunda lantaran memastikan keadaan Lengkara lebih dulu.
Alhasil, belum apa-apa yang Bima dapatkan hanya sebuah kemarahan dan tatapan sinis dari keluarganya. Keluarga? Entahlah, mungkin lebih pantas disebut penjajah. Keluarga tidak akan begitu, keluarga mana yang memperlakukan putranya sebagai kacung meski bergelimang harta.
"Maaf, Pa ... aku ada pekerjaan sedikit di Jakarta."
"Papa tidak peduli!! Sudah berapa kali papa katakan, sesibuk apapun utamakan keluarga! Raja ulang tahun dan seharusnya bisa dimulai satu jam yang lalu."
Lihat siapa yang bicara, keluarga katanya. Hanya demi adik tirinya, pria itu tidak segan mempermalukan Bima di hadapan anggota keluarga lainnya. Tepatnya, para saudara dari perebut kebahagiaan ibunya di masa muda.
"Sudahlah, Pa ... kita mulai saja sekarang, toh Bima sudah datang. Jangan rusak kebahagiaan Raja, kasihan."
Kasihan? Raja sudah 23 tahun yang artinya sudah dewasa. Kalaupun harus kasihan, Bima yang layak dikasihani karena belum apa-apa sudah mendapat perlakukan semacam ini.
Mereka memulai acara ulang tahun itu, suasana di salah satu hotel bintang lima itu terlihat sangat menyenangkan. Potret keluarga sempurna yang tengah merayakan kebahagiaannya, tanpa mereka ketahui jika di sana terdapat hati yang tengah terluka menangis dan menyesali telah dilahirkan ke dunia.
Sama sekali tidak ada kesedihan di wajah Atmadjaya, tentang Yudha yang merupakan putra kandungnya jua. Sakit di hati Bima luar biasa, pertama kali mengetahui jika dia memiliki saudara Bima sudah membayangkan kehidupan mereka ke depannya.
Mendirikan perusahaan bersama dan keluar dari keluarganya, bersama Yudha dan ibunya tentu saja. Ya, dia memiliki ibu yang sama dan Yudha merasakan belas kasih seorang wanita tangguh yang begitu tulus menyayanginya. Sayang, mimpi itu agaknya akan kandas.
Bima tersenyum getir mendengar Atmadjaya membanggakan keluarganya, istri tercinta terutama. Posisi yang seharusnya diisi ibunya, wanita tulus yang menemani proses awal Atmadjaya merintis perusahaan sedari nol.
"Adil sekali dunia ini."
Bima mengepalkan tangan, rahangnya kini mengeras dan seketika ingin sekali meluapkan amarah di hadapan banyak orang. Namun, semua sakit yang dia terima di masa kecil membentuk pribadi Bima seakan takut pada papanya.
Cukup lama dia bertahan di sana, hingga acara selesai lebih tepatnya. Bima masih sempat pamit pulang, mungkin orang-orang yang tadi melihatnya menjadi amukan sang papa tengah mengejek dalam hati, terserah dia tidak begitu peduli.
Pria itu melangkah gontai, semakin berat saja. Tidak ada tujuan lain, selain rumah yang baru saja dia beli tiga bulan lalu di pinggiran kota. Sengaja di sana, karena lebih nyaman dan aman tentu saja.
Dada Bima semakin sesak, sama seperti ketika dia memasuki rumahnya di Jakarta. Begitu kira-kira rasa sakitnya, tapi senyum hangat seorang wanita paruh baya di teras membuat hati Bima sedikit lebih hangat.
"Bu."
Bima merengkuh tubuh wanita yang telah melahirkannya itu. Terpisah cukup lama, hingga di usia yang sudah begitu dewasa Bima menemukan arunika dalam kehidupan yang selama ini berbalut gulita.
"Kamu dari mana? Lengkara baik-baik saja?" tanya wanita itu mengusap pelan punggungnya, sang putra tumbuh begitu baik secara fisik, tapi tidak dengan batinnya.
"Rumah papa ... Lengkara baik-baik saja, Bu."
"Syukurlah, ayo masuk, ibu sudah masak hari ini."
"Dia ada?" tanya Bima mengalihkan pembicaraan, seketika dia melupakan perkara Raja ataupun papanya.
"Ada, di kamar."
Bima mengangguk dan berlalu masuk setelah mendengar jawaban ibunya. Ya, mau kemana lagi dia selain di kamar? Tidak ada tujuan yang bisa dia tempuh dengan keadaan yang begitu.
Bima membuka pintu perlahan, khawatir jika sang pemilik kamar terganggu dengan kedatangannya. Namun, belum sempat Bima melangkah suara khasnya itu terdengar seolah memang menantikan kedatangannya.
"Bim ... kau dari mana?"
"Rumah papa, Kak."
Baru selangkah Bima masuk, lutut pria itu mendadak lemas dan jatuh ke lantai dengan tangis yang pecah seketika. Mungkin karena memang sejak tadi sudah dibuat terluka, hingga ketika melihat Yudha yang duduk di kursi roda dengan kuas di tangannya hati Bima hancur.
Dia tidak selemah ini, tapi menghadapi kenyataan bahwa Yudha tidak bisa menjalani kehidupan dengan sempurna Bima menyalahkan dirinya, kini dia meraung seolah lupa jenis kelaminnya.
"Jangan menangis gila, aku baik-baik saja ... kenapa kau selalu begini?"
"Baik-baik saja kepalamu!!"
Suaranya terdengar berbeda, Yudha hanya tertawa sumbang mendengarnya. Pria kaku yang selalu terbahak jika dia membawakan gosip tentang atasan itu terlihat hancur, hancur karena kondisinya dan takdir yang mengikat mereka.
"Yudha ... apa jiwamu bisa masuk dalam ragaku? Bukankah seharusnya yang berada di posisimu itu adalah aku?"
.
.
- To Be Continued -
Yudha : Jangan kecewa, aku tidak pergi.
bikin pedih mata...
ada luka yg tak terlihat tp bs dirasa.
kl diposisi lengkara apa jadinya