Pernikahan Adelia dan Reno terlihat sempurna, namun kegagalan memiliki anak menciptakan kekosongan. Adelia sibuk pada karir dan pengobatan, membuat Reno merasa terasing.
Tepat di tengah keretakan itu, datanglah Saskia, kakak kandung Adelia. Seorang wanita alim dan anti-laki-laki, ia datang menumpang untuk menenangkan diri dari trauma masa lalu.
Di bawah atap yang sama, Reno menemukan sandaran hati pada Saskia, perhatian yang tak lagi ia dapatkan dari istrinya. Hubungan ipar yang polos berubah menjadi keintiman terlarang.
Pengkhianatan yang dibungkus kesucian itu berujung pada sentuhan sensual yang sangat disembunyikan. Adelia harus menghadapi kenyataan pahit: Suaminya direbut oleh kakak kandungnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini Nuraenii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Pukul sepuluh malam. Rumah mewah itu diselimuti keheningan yang mematikan. Bukan karena sunyi yang damai, melainkan karena suara bising yang biasa dibawa Adelia ,suara ponsel, dering notifikasi, dan panggilan telepon kini menghilang.
Sejak Pagi tadi, Adelia harus terbang ke luar Kota untuk mengurus masalah pemasok yang mendadak.
Ia akan menginap satu malam, sebuah kepergian yang membuat Reno merasa terdampar di pulau kesepian.
.........
Tak seperti malam - malam sebelumnya.
Malam itu terasa seperti perpanjangan dari frustrasi yang Reno rasakan di siang hari.
Ia berusaha keras untuk bekerja di ruang kerjanya, tetapi konsentrasinya terus buyar. Ia terlalu lelah, baik secara fisik maupun emosional.
Ia merindukan sentuhan hangat istrinya, sentuhan yang kini harus diprogram dan dijadwalkan sesuai anjuran Dokter dan para ahli terapi agar mereka segera mendapatkan keturunan.
Hal itu membuat hasratnya terasa seperti kewajiban yang terabaikan. Kerinduan itu kini terasa membakar, mencari pelampiasan.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, sudah hampir mendekati tengah malam dan pada akhirnya Reno menyerah.
Ia meninggalkan ruang kerja. Kamar utama terasa terlalu besar dan dingin tanpa Adelia. Ia memilih merebahkan diri di sofa ruang keluarga yang panjang.
Ia membiarkan lampu meja di sudut ruangan menyala, cahayanya yang kuning lembut hanya mampu menembus sebagian kecil ruang keluarga yang luas itu.
Televisi menyala tanpa suara, menampilkan tayangan berita malam yang tidak menarik. Reno memejamkan mata, membiarkan lelahnya menelan kesadaran, tidur dengan pikiran yang dipenuhi kerinduan yang tertekan.
Reno terbangun dengan sensasi aneh. Ia tidak sadar sepenuhnya. Ia masih berada di perbatasan antara alam tidur dan terjaga, diselimuti kelelahan yang dalam.
Hasrat nya yang menggebu - gebu sebiasa mungkin Reno tahan dan alihkan, bayangan tubuh indah milik Adelia yang menjadi kegemaran nya selalu datang dan pergi dalam pikiran Reno.
Namun Reno hanya bisa mengalihkan semua keinginan semu itu kepada rasa kantuk nya.
Kepalanya terasa berat dan tenggorokannya kering. Matanya mengerjap, berusaha keras untuk fokus pada sekitarnya.
Di sofa tunggal yang berada tepat di seberang kakinya, Reno melihat sebuah siluet.
Itu adalah Saskia.
Rupanya, Saskia datang ke ruang tengah setelah menyelesaikan pekerjaannya di dapur. Ia bermaksud mematikan TV, tetapi kelelahan setelah seharian membantu membereskan gudang dan melakukan aktivitas membuat kantuk nya tak tertahankan lagi.
Saskia tertidur.
Ia duduk menyandar dengan kepala sedikit miring ke samping, tangannya memegang remote control TV.
Ia masih mengenakan gamis rumahan, dan jilbabnya yang biasanya tertutup rapat kini sedikit melonggar karena posisi tidurnya, membiarkan beberapa helai rambut hitamnya terlihat samar-samar di pelipis.
Siluet itu, dalam remang-remang cahaya lampu meja, adalah kembar identik dari Adelia. Adelia sering tertidur dalam posisi serupa, di sofa yang sama, setelah lelah menunggu Reno pulang larut malam.
Reno tidak berpikir. Ia tidak sadar bahwa yang ia lihat bukanlah istrinya. Kerinduan yang membara, hasrat yang tertekan dan tertahan, dan kekeliruan identitas di kegelapan, semua menyatu menjadi dorongan primal.
Dalam benaknya yang masih terlelap, ini adalah istrinya, yang akhirnya menunggunya tanpa memegang ponsel atau membahas urusan kantor.
Ini adalah momen spontan, hangat, dan tanpa syarat yang selama ini ia rindukan dan ia bayangkan.
Reno bangkit. Langkahnya lamban, namun pasti, didorong oleh insting.
"Sayang..." bisik Reno serak, suaranya dipenuhi gairah dan kerinduan yang salah alamat.
Saskia tidak bergerak. Ia tidur pulas, tidak menyadari bahaya yang mendekat.
Reno berdiri di samping sofa. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekatkan wajahnya. Ia menghirup aroma Saskia , bukan aroma parfum elegan Adelia, melainkan aroma kemurnian yang sederhana, aroma sabun mandi dan kain bersih.
Aroma itu, alih-alih menghentikannya, justru memicu hasratnya. Hasrat Reno sudah mengaburkan logika.
Ia menyentuh pipi Saskia. Sentuhan itu lembut, menelusuri tulang pipi.
Saskia terkejut, matanya terbuka seketika. Ia melihat Reno, yang berada terlalu dekat, matanya memancarkan gairah yang tidak ia kenali. Ia tahu ini bukan Reno yang biasa. Ia melihat kelelahan dan kerinduan yang mendalam di mata Reno, yang kini diarahkan padanya.
Sebelum Saskia sempat bicara, atau bahkan berteriak memanggil nama Adelia, Reno sudah bertindak lebih jauh. Ia menundukkan kepalanya, mencari bibir Saskia.
Reno mencium bibir Saskia yang masih suci itu.
Itu bukan ciuman lembut yang penuh kasih sayang, melainkan ciuman yang dipenuhi hasrat, kerinduan, dan kekeliruan yang mematikan.
Reno memegang tengkuk Saskia dengan satu tangan, menarik tubuh Saskia yang terbungkus gamis itu mendekat. Ia menekan bibirnya dalam-dalam, menuntut respons.
Saskia membeku total. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Syok dan ngeri menyergapnya. Ia merasakan panas napas Reno, tekanan bibirnya yang kuat, dan kekuatan tangan Reno yang memeganginya erat.
Ia mencoba mendorong, tetapi kengerian dan kekuatan Reno membuatnya lumpuh. Ciuman itu terasa terlalu lama, terlalu panas, dan terlalu dalam bagi Saskia, ciuman yang merenggut semua kepolosan dan batasan yang ia miliki.
Reno, yang kini sepenuhnya mencurahkan kerinduan itu, merasakan perbedaannya. Ia mencicipi rasa bibir yang asing bukan rasa lipstik manis Adelia, melainkan rasa yang polos dan sedikit asin dari air mata yang kini menggenang di mata Saskia. Ia merasakan tubuh Saskia yang kaku dan tidak membalas.
Reno sontak membuka matanya. Ia melihat wajah Saskia yang hanya berjarak beberapa sentimeter, dipenuhi air mata yang mengalir tanpa suara, ketakutan murni, dan pengkhianatan. Ia melihat jilbab Saskia yang sudah melorot di bahu.
Ia menarik diri secepat sambaran petir. Ia melompat mundur dua langkah.
"Ya Tuhan..." bisik Reno serak, suaranya dipenuhi rasa jijik pada diri sendiri dan keputusasaan. "Kak... Kakak, maaf. Aku... aku kira kamu Adelia."
Ia tidak sanggup menatap Saskia. Ia telah melakukan dosa yang paling besar. Ia telah menodai kehormatan Kakak Iparnya di bawah atap rumah istrinya.
Saskia tidak berbicara. Ia hanya menatap Reno dengan tatapan yang penuh rasa sakit dan pengkhianatan.
Ia menggunakan sisa tenaganya, bangkit dengan gamis yang kini kusut dan hati yang hancur. Ia tidak berlari, tetapi berjalan cepat menuju kamarnya di lantai bawah, langkahnya gemetar, tangannya memegang bibirnya yang basah dan bergetar, seolah ingin menghapus jejak sentuhan terlarang itu.
Reno terduduk di lantai, menjambak rambutnya sendiri. Keinginannya untuk disentuh, untuk dicintai tanpa syarat, telah membawanya pada kejahatan yang memalukan.
Rasa bersalahnya kini bercampur dengan denyutan gairah yang tidak ia minta, gairah yang terpicu oleh sentuhan yang salah.
Ia mencium Kakak Iparnya. Dosa itu terasa manis, mematikan, dan menghancurkan semua yang ia yakini selama ini. Ia tahu, mulai saat ini, tidak ada lagi batasan moral yang bisa ia pertahankan.