NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:738
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saksi mata

Kelopak mata Epi perlahan terbuka. Pandangannya kabur, tubuhnya kaku dan terasa berat. Sosok pertama yang terlihat—Fandi, dengan sorot mata tajam yang membuat jantungnya berdegup. Ia mencoba bergerak, tapi rasa sakit langsung menyebar ke seluruh tubuh sebelum akhirnya kembali pingsan.

“Yah, belum sempet ngomong udah tumbang lagi,” kata Kei santai.

“Mulut lo gak bisa diem, Kei?” tegur Alfin.

“Eh, gue cuma ngomong fakta, bro,” jawab Kei enteng sambil nyengir.

Tring… Tring… Suara ponsel di meja membuat mereka menoleh. Nama Rami muncul di layar, tapi panggilan cepat terputus. Muncul foto tiga gadis yang tersenyum ceria.

“Wih, manis-manis amat temennya,” ucap Kei.

Bugh!

“ARGHH! Fan! Si Alfin mukul kepala gue lagi!”

“Biar lo gak kayak anjing liat tulang tiap liat cewek,” balas Alfin ketus.

“Anjir sakit, gue cuma bilang cantik doang!”

“Mulut lo emang gak punya rem.”

Fandi mengambil ponsel itu tanpa bicara. Face ID langsung terbuka saat diarahkan ke wajah Epi.

“Woy! Itu privasi orang, Fan!” seru Kei.

Alfin menyikutnya. “Diam. Kita gak tau dia siapa, bisa aja musuh.”

“Musuh sih enggak keliatannya. Tapi kalo bikin masalah, nah itu bisa,” balas Kei.

Fandi membuka WhatsApp. Pesan belum terbaca menumpuk dari Rami dan Rora. Ia menemukan satu voice note dari pukul 22.00 dan langsung memutarnya.

Suara napas terengah terdengar.

“Rora… aku dikejar… gak tau, banyak banget mereka… aku takut…”

Langkah tergesa.

DOR! DOR!

“AAARGHHH!!”

Lalu hening.

Kei menelan ludah. “Gila… itu suaranya beneran, kan?”

Alfin menatap layar. “Iya. Dia beneran ketakutan.”

“Fan, lo yakin kita gak salah bawa orang?” tanya Kei pelan.

Fandi menatap ponsel itu lama sebelum berkata datar, “Dia bukan orang biasa.”

Alfin menimpali, suaranya dingin. “Kalau dilihat dari suara itu, dia nyaksiin sesuatu. Dan dari caranya ditembak… ini bukan kejadian acak.”

Kei menyeringai tipis. “Ya jelas bukan random. Nih cewek kayaknya lagi kabur dari neraka.”

“Mulut lo bisa lebih halus gak?” Alfin mencubitnya.

“Eh sakit bego! Gue serius, Vin. Liat aja mukanya—kayak baru diseret maut balik ke dunia.”

Alfin melirik tajam, tapi Kei cuma cengengesan.

Fandi akhirnya berkata pelan, “Jangan sentuh ponsel itu. Dan jangan tanya kenapa gue bawa dia ke sini.”

Ia keluar kamar tanpa menoleh.

Kei mengusap tengkuknya. “Bro, lo liat tatapan Fandi barusan?”

Alfin menjawab pendek, “Kayak abis nemu sesuatu yang gak seharusnya dia liat.”

Kei nyengir kecut. “Atau sesuatu yang bakal bawa masalah gede banget ke kita.”

Alfin menghela napas. “Yah, siap-siap aja. Rasanya siang ini baru mulai panas.”

Alfin dan Kei mengikuti Fandi keluar dari kamar itu.

“Terus, kita langsung ke mana?” tanya Kei, menatap Fandi yang berjalan di depan.

“Ya ke kantor lah, kayak biasa,” jawab Alfin sambil masuk ke mobil. Kei duduk di sebelahnya, tak lama Fandi ikut masuk. Mereka berangkat, suasana di dalam mobil terasa hening, tidak ada yang bicara.

Saat mobil berhenti di lampu merah, Kei akhirnya buka suara, “Itu nggak apa-apa kita tinggalin cewek itu di rumah gitu?” tanyanya dengan nada ragu.

“Yah, nggak apa-apa lah. Bisa apa dia, orang udah krisis gitu,” sahut Alfin santai.

“Eh, mulut lo, Fin!” tegur Kei kesal.

“Lah, kan emang bener. Lo nggak liat lukanya parah banget?” balas Alfin cuek. Kei cuma melengos, malas berdebat, lalu membuka ponselnya dan mulai scroll-scroll timeline.

“Eh, Fan, kok sama sih?” ucap Kei tiba-tiba.

Alfin melirik sekilas. “Sama apaan, lo?”

“Yang jelas lo gila, sumpah,” gumam Alfin sambil menggeleng.

Fandi tetap diam, pandangannya menatap keluar jendela mobil. Kei mencondongkan badan sedikit sambil menunjukkan layar ponselnya. “Eh, santai, santai. Nih liat, dua orang pejabat pemerintahan dibunuh di Jalan H. Bukannya cewek itu lo temuin di Jalan H juga, Fan?” tanya Kei, sedikit tegang.

Fandi menoleh pelan. “Fin, coba ke tempat yang dimaksud Kei,” ucapnya datar.

Tanpa banyak bicara, Alfin memutar kemudi, mobil melaju cepat menuju lokasi yang disebut Kei. Saat mereka tiba, jalanan sudah ramai. Garis polisi melintang, petugas sibuk mengamankan area.

Mereka bertiga menatap ke arah kejadian dari dalam mobil. Fandi memperhatikan dengan saksama, lalu menatap ke seberang jalan.

“Epi gue temuin sekitar tiga puluh meter dari sini,” ucapnya pelan.

Alfin menatap Fandi lewat kaca spion. “Menurut lo, ini ada kaitannya?” tanyanya serius.

“Kayaknya begitu,” jawab Fandi datar. “Mungkin aja dia juga target. Atau saksi mata.”

Mereka terdiam beberapa detik.

Sementara itu, di rumah Fandi, Epi perlahan sadar. Tangannya refleks memegang kepala, meringis kesakitan. “Aduh… badan aku sakit semua…” gumamnya lirih. Ia menatap sekeliling, matanya melebar.

“Ini… bukan rumah sakit…” bisiknya. Ia mencoba duduk, tapi tubuhnya lemah. Pandangannya berkeliling lagi, lalu wajahnya mendadak tegang.

“Apa mungkin aku… di rumah orang yang ngejar aku semalam?” napasnya memburu, ketakutan mulai muncul di matanya. “Astaga, aku harus pergi sebelum aku bener-bener dibunuh…” ucapnya panik, mencoba bangkit walau tubuhnya masih goyah.

Kembali ke Fandi, Alfin, dan Kei. Mereka masih di mobil, diam cukup lama. Sampai akhirnya Fandi buka suara, nada suaranya pelan tapi tegas.

“Putar balik. Kita ke rumah.”

Kei dan Alfin saling pandang sejenak, tapi langsung nurut. Alfin memutar setir, mobil melaju kencang. Sekitar empat puluh lima menit kemudian, mereka sampai.

Begitu masuk, Fandi langsung melihat Epi sedang berusaha keluar dari rumah. Tubuh gadis itu gemetar, matanya ketakutan. Ia tersandung dan jatuh, pikirannya hanya satu: ia harus kabur sebelum dibunuh.

“Tolong! Lepasin aku! Aku nggak akan ngomong ke siapa pun! Aku cuma nggak sengaja ngeliat!” teriak Epi panik sambil menangkupkan tangan, air matanya menetes deras di pipi.

Kei dan Alfin saling pandang. Kei maju sedikit dan berkata lembut, “Hei, gadis. Kami bukan orang jahat. Ini, teman kami—” ia menunjuk ke arah Fandi, “—yang nolong kamu semalam. Kamu korban tabrak lari, inget?”

Fandi masih diam menatap Epi.

Epi memandang Kei, wajahnya sedikit lega, tapi ketakutan masih jelas di matanya. “Kalau gitu… boleh aku keluar?” tanyanya pelan.

“Enggak,” jawab Fandi datar. “Kau tetap di sini.”

Jawaban itu bikin Epi makin takut. Alfin langsung menoleh ke Fandi. “Kenapa lo nahan dia, Fan?”

“Dia masih luka. Dan kemungkinan besar, lagi diburu,” jawab Fandi singkat. “Dia saksi.”

Fandi lalu berjalan mendekati Epi, mengulurkan tangan dengan nada lebih lembut. “Ayo, aku bantu. Aku nggak akan nyakitin kamu… asal kamu mau nurut.”

Kei menaikkan alis dan berbisik ke Alfin, “Wah, liat deh. Dia lembut banget ke cewek. Tumben banget, bro.”

Alfin menahan tawa kecil, hanya melirik tanpa komentar.

Fandi menuntun Epi ke sofa, membiarkannya duduk. Kei dan Alfin ikut duduk di seberang. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya Fandi membuka suara.

“Kenapa kamu bisa punya luka tembak, padahal aku liat kamu ditabrak lari?” tanyanya dengan nada datar, pura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Epi menunduk, terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan suara bergetar. “Aku… aku nggak sengaja liat mereka membunuh dua orang lelaki tua. Aku panik, terus kabur. Tapi mereka liat aku, dan… mereka nembak.”

Suaranya pelan, penuh ketakutan. Fandi memperhatikannya dengan ekspresi datar.

“Di mana kamu liat kejadian itu?” tanya Fandi lagi.

“Di Jalan H… waktu itu aku baru pulang kerja,” jawab Epi lirih.

Fandi mengangguk pelan. “Baiklah. Kamu istirahat aja di sini. Kalau kamu pulang sekarang, kamu bakal mati lebih cepat. Karena sekarang, kamu ini saksi mata.”

Nada datarnya membuat Kei melotot, lalu berbisik ke Alfin, “Gila… dingin banget tuh orang. Kasian banget ceweknya.”

Alfin langsung menyenggol lengan Kei dengan mata melotot, menyuruhnya diam.

Fandi berdiri, berjalan ke arah jendela sambil berkata datar, “Cari tau siapa orang-orang itu. Kalau perlu, bayar siapa aja yang punya CCTV di sekitar situ. Gue pengen tau siapa yang bunuh dua pejabat itu.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!