Narendra (35) menikah untuk membersihkan nama. Adinda (21) menikah untuk memenuhi kewajiban. Tidak ada yang berencana jatuh cinta.
Dinda tahu pernikahannya dengan Rendra hanya transaksi. Sebuah kesepakatan untuk menyelamatkan reputasi pria konglomerat yang rusak itu dan melunasi hutang budi keluarganya. Rendra adalah pria problematik dengan citra buruk. Dinda adalah boneka yang dipoles untuk pencitraan.
Tapi di balik pintu tertutup, di antara kemewahan yang membius dan keintiman yang memabukkan, batas antara kepentingan dan kedekatan mulai kabur. Dinda perlahan tersesat dalam permainan kuasa Rendra. Menemukan kelembutan di sela sisi kejamnya, dan merasakan sesuatu yang berbahaya dan mulai tumbuh : 'cinta'.
Ketika rahasia masa lalu yang kelam dan kontrak pernikahan yang menghianati terungkap, Dinda harus memilih. Tetap bertahan dalam pelukan pria yang mencintainya dengan cara yang rusak, atau menyelamatkan diri dari bayang-bayang keluarga yang beracun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrettyDucki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hasrat dan Kendali
Seharian ini sangat melelahkan. Jadwal mereka padat, dan tubuh Dinda nyaris tak sanggup lagi. Ia hanya mengganti pakaiannya karena mandi rasanya terlalu berat.
Dini hari ia terbangun dan mendapati wajah Rendra tepat di hadapannya. Dia sedang tidur, napasnya tenang, dan dia bertelanjang dada. Dinda tersentak. Kenapa dia bertelanjang dada? Jantung Dinda mendadak berdegup kencang, namun matanya tak bisa lepas dari otot dada dan lengan kekar pria itu. Saat tersadar ia buru-buru bangkit dari tempat tidur, namun tangan Rendra menahannya.
"Mau ke mana?" gumamnya, mata masih setengah terpejam.
"Kamar mandi." jawab Dinda cepat.
Rendra membuka mata perlahan, sorotnya masih buram, tapi tajam. Tatapannya langsung mengunci wajah Dinda yang panik. Rambut gadis itu berantakan, piyama sutranya miring sebelah, dan pipinya masih merah karena posisi tidur.
"Nanti." bisik Rendra, suaranya berat dan dalam. Tangannya yang tadi menahan lengan Dinda, kini turun menggenggam pergelangan tangannya. "Jangan kemana-mana."
Rendra mengangkat tubuhnya sedikit, cukup untuk mendekatkan wajah mereka. Napasnya hangat, masih mengandung aroma tidur, tapi ada sesuatu di tatapannya yang mulai berubah. Ia lebih sadar, dan jarak di antara mereka nyaris tak ada.
Napas Dinda tertahan. Situasi apa ini? Kenapa ia merasa seperti akan dimangsa?
Kemudian pria itu mendudukkan tubuhnya. Jari-jarinya mulai naik perlahan. Dari pergelangan tangan Dinda ke lengan, lalu bahunya, lalu menyelipkan rambut yang menutupi wajahnya. Sentuhannya sangat ringan.
"Mas Rendra.." Rintih Dinda. Ia tau sesuatu menantinya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa termasuk bicara lebih banyak.
Tangan pria itu menyusuri rahangnya. Tatapannya tidak pernah lepas dari mata Dinda, tapi mulutnya masih belum menyentuh apa-apa. Hanya napasnya yang membakar jarak.
"Kamu masih ingat soal kebutuhan fisik yang pernah aku singgung?" Tangannya lalu meluncur pelan ke punggung Dinda, menelusuri lekuknya yang masih tertutup tipis kain tidur.
Dia menunduk, menempelkan keningnya ke dahi Dinda, "Boleh ya.."
Bibirnya mendarat di pipi Dinda, lembut, lalu turun ke sudut bibir, lalu menelusuri rahang dan lehernya. Ia bermain-main di sana, lama. Dinda tercekat, dan Rendra masih menahan diri.
"Bilang kalau kamu nggak mau," bisiknya di antara ciuman ringan, sesekali menatap Dinda, menilai reaksinya. "Aku akan berhenti."
Dinda tidak bilang apa-apa, tapi ia mulai mendesah. Ada sensasi aneh yang membuat tubuhnya bereaksi dan menginginkan lebih. Oh astaga, dia seharusnya menyelamatkan diri, tapi tangannya malah naik menggenggam lengan Rendra dengan erat.
"Apa aku harus berhenti?" Tanya Rendra di sela ciumannya.
Dinda menelan ludahnya, lalu menggeleng. Suaranya hampir tak terdengar, tapi cukup jelas, "Jangan berhenti." Bisiknya.
Rendra tersenyum, ia anggap itu persetujuan.
Rendra mulai mencium bibirnya. Ciuman yang memabukkan. Ketika Dinda semakin terhanyut, Rendra menindih dengan tubuhnya yang hangat dan berat. Napas mereka berpacu, menyatu, dan setiap gerakan lidah pria itu membuat Dinda semakin hilang kendali.
Jari-jari Rendra sibuk membuka kancing piyama Dinda, cepat, dan tergesa. Matanya tajam memandang tubuh di bawahnya. Ia terdesak, kebutuhan seks sialannya sudah tak bisa lagi menunggu.
"Mas..." suara Dinda terputus jadi desahan. Pipinya merah, mata bergetar menahan malu karena ditatap dalam keadaan tak berpakaian.
"Percaya aku, sayang." Bisik Rendra, ia menunduk, bibirnya kembali memburu leher dan bahu Dinda. Tangannya turun ke bagian bawah gadis itu, menilai, memastikan bahwa ia sudah siap untuknya, membuat tubuh Dinda melengkung tanpa sadar.
Rendra merapatkan tubuhnya, memaksa masuk ke batas tipis yang menghalangi penyatuan mereka. Dinda langsung terhentak. Tubuhnya menegang, napasnya tertahan. Rasa perih yang tajam dan menusuk membuat matanya refleks menutup rapat.
"Mas... Sakit..." bisiknya hampir menangis. Merintih dan memohon. Ia ketakutan.
Rendra langsung berhenti bergerak. Ia menggeretakkan giginya menahan hasrat. Batinnya berkecamuk. Ia bisa saja memaksa, tapi wajah Dinda yang kesakitan menahannya untuk bergerak. Keningnya menempel pada dahi Dinda. Tangannya mengusap pipi Dinda lembut, menenangkan. "Shhhh... Tahan sebentar..."
Ia alihkan perhatian Dinda dengan cumbuannya. Di bibir, leher, dada, dan bahu. Ia bergerak sangat hati-hati dan sabar walau dahinya mulai berkeringat. Tubuhnya terbakar, menuntut untuk segera dipuaskan.
Dinda menggenggam lengan Rendra erat, kuku-kuku menekan kulitnya, mencakar, hingga menimbulkan luka gores di lengan kokoh pria itu. Tubuh Dinda gemetar, menahan rasa yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Beberapa detik terasa sangat panjang, sampai akhirnya rasa perih itu mulai bergeser. Ketegangan di tubuhnya perlahan luruh, berganti dengan sensasi lain yang berbeda. Lebih hangat. Lebih dalam. Dan lebih memabukkan.
Rendra masih menunggu, matanya tak lepas dari wajah Dinda. "Masih sakit?" tanyanya rendah.
Dinda membuka matanya perlahan, pipinya merona, napasnya terengah. Ia menggigit bibir, lalu menggeleng.
Senyum samar terbit di wajah Rendra, lalu ia kembali mengecup bibir Dinda. Lama, dalam, seolah ingin menyapu habis sisa sakit yang sebelumnya ada.
Dan kali ini, tubuh Dinda yang sebelumnya kaku mulai mengikuti ritme. Desahannya tak lagi menahan sakit, melainkan menyerah pada arus baru yang membuatnya tak terkendali. Ia mendesah, merintih, dan tak bisa lagi mengucapkan kata selain nama Rendra.
Malam itu, sakit pertamanya berubah jadi kenikmatan yang membuatnya terhanyut, dan akhirnya pecah dalam pelukan suaminya.
...***...
Dia masih perawan, Rendra sudah menduga. Tapi dia sangat berhasrat, itu mengejutkan. Bagaimana dia selalu menyambut setiap sentuhannya, membalas ciumannya tanpa teknik sama sekali, merintih dan menyebut namanya. Semua hal yang membuat Rendra menggila.
Tidak percuma ia menahan diri habis-habisan di hari sebelumnya. Hasratnya pada Dinda menggebu sejak awal, tapi ia tahu jika terlalu memaksa, gadis itu bisa takut. Ia biarkan waktu mengikis jarak di antara mereka. Ia buat Dinda merasa aman dan terbiasa dengan sentuhannya. Itu jelas bukan kebiasaan Rendra. Dia tidak pernah merayu untuk berhubungan seks. Dia minta dan mendapatkannya. Tapi entah kenapa kali ini ia rela menunggu.
Perlahan Rendra menyingkirkan beberapa helai rambut halus yang menutupi wajah Dinda yang sedang tertidur. Ia memperhatikan setiap detail wajahnya dari dekat. Bulu matanya yang lentik, pipinya yang merona, bibir merah mudanya yang sedikit terbuka. Manis sekali dia. Terlalu manis. Rendra mulai tidak yakin pada apa yang sebenarnya ia inginkan. Seharusnya ini hanya taktik untuk menjinakkan istri polosnya kan?
"Oh..shit." Ia mendesah pelan, kesal dan bingung. Apa yang gadis ini lakukan padanya?
Dan malam ini, saat kulit tubuh mereka bersentuhan begitu intim, saat ia menjadi orang pertama yang menyatu dengan Dinda, tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Bukan hanya gairah yang meluap-luap, tapi sesuatu yang lebih menggetarkan.
Dan untuk alasan yang tidak bisa ia sebutkan, dan mungkin enggan ia akui, ia sepertinya tidak ingin menjauh.
...***...
Sekujur tubuh Dinda rasanya remuk. Tadi malam begitu panas. Seolah setiap ototnya dipaksa menyerah pada derasnya gelombang kepuasan yang datang silih berganti. Rendra memulainya dengan kelembutan, namun perlahan berubah menjadi lebih intens dan liar, seakan ingin menguji sejauh mana Dinda sanggup mengikuti iramanya.
Dinda tidak pernah membayangkan bahwa tubuhnya bisa merespons sedemikian rupa pada sentuhan seorang pria. Ada rasa perih yang menusuk, tapi anehnya bercampur dengan kenikmatan yang membuatnya sulit membedakan keduanya. Setiap sentuhan Rendra terasa tepat. Rasanya seperti ia tahu persis di mana harus menekan, di mana harus menahan, dan kapan harus melepaskan.
Satu demi satu, lapisan kesadarannya runtuh. Dinda melayang, terbawa pada dunia yang sebelumnya asing baginya. Ia tidak lagi sekadar mengikuti, melainkan tenggelam dalam kendali Rendra yang begitu terampil. Memainkan dengan sangat mahir.
Ada sesuatu yang menakutkan sekaligus menyenangkan dalam pengalaman itu. Betapa mudahnya ia kehilangan pegangan, betapa cepatnya ia menyerahkan diri.
"Kamu udah bangun?" Rendra mendekat. Ia baru selesai mandi. Rambutnya basah dan hanya memakai sehelai handuk di pinggang.
Dia begitu sempurna. Dinda tidak tahu apakah dirinya akan pernah terbiasa melihat sosok itu dari jarak sedekat ini. Ada sedikit ketegangan di dadanya, campuran rasa kagum, malu, dan sesuatu yang lebih dalam, perasaan yang tidak bisa ia jelaskan.
Rendra duduk di sisi ranjang, dekat dengannya. Kemudian ia mencium bibir Dinda, lembut sekali. Napasnya beraroma menthol, mungkin dari pasta gigi atau obat kumur. Tanpa sadar Dinda memejamkan matanya.
"Aku bikin kamu kesakitan ya?" Tanya Rendra.
Dinda hanya diam. Hanya suara napasnya yang terdengar.
Rendra membelai wajahnya, "Maaf." Kening berkerut, nada suaranya begitu rendah.
"Nggak apa-apa." Jawab Dinda pelan, menggenggam tangan Rendra yang masih di pipinya.
Lalu matanya menangkap gurat cakaran di lengan atas Rendra. Itu pasti karena ia mencengkramnya begitu erat semalam. Ia berani bertaruh, punggung pria itu pasti juga memiliki jenis luka yang sama.
"Aku juga bikin kamu sakit di sini." Dinda menyentuh guratan di lengan Rendra dengan telunjuknya.
Rendra melirik sekilas ke arah yang dimaksud Dinda lalu tertawa pelan, "Ini bukan apa-apa. Nggak ada rasanya."
Lalu ia membelai rambut Dinda, berlama-lama menatapnya dengan raut yang sulit diartikan. Ada kelembutan yang hangat, tapi juga ketegangan samar di wajahnya, seakan ia sedang berperang melawan dirinya sendiri.
Dinda merasakan ada debar setiap kali mereka bersentuhan. Pria ini seperti menyalakan sesuatu yang dulu tidak pernah ada di hidupnya.
...***...