Di Surabaya, berdiri Sebuah pesantren megah pesantren Al - Ikhlas, sebuah lembaga pendidikan Islam yg dikenal dgn tradisi kuat dan menghasilkan santri" yg berprestasi. cerita ini mengikuti perjalanan 5.285 santriwan dan santriwati pesantren Al - ikhlas. ada banyak santri yg berjuang meraih keinginan orang tua dan menggapai mimpi mimpinya. namun terkadang menimbulkan pro dan kontra akibat persaingan di balik semua perjuangan para santri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blue_era, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. bayang bayang malam purnama
Dua bulan berlalu sejak malam nahas itu. Dua bulan yang terasa seperti abad bagi keluarga Al-Hasyimi. Dua bulan penuh doa, harapan, dan kecemasan yang tak berujung. Ning Azzahra Ghaniyyah Al-Hasyimi masih terbaring koma di ranjang rumah sakit, tubuhnya lemah tak berdaya.
Dokter menyatakan bahwa benturan keras di kepala Ning Azzahra menyebabkan kerusakan saraf yang cukup parah. Meskipun otaknya masih berfungsi, namun sebagian besar anggota tubuhnya tidak dapat digerakkan. Keluarga Al-Hasyimi hanya bisa pasrah dan terus berdoa, berharap keajaiban akan datang.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, Kyai Ahmad Ghozali dan Nyai Afiqah memutuskan untuk membawa Ning Azzahra pulang ke ndalem. Mereka mengubah salah satu kamar di ndalem menjadi ruang perawatan khusus, lengkap dengan peralatan medis dan perawat yang selalu siap siaga.
Perlahan tapi pasti, kondisi Ning Azzahra mulai menunjukkan perkembangan positif. Ia mulai bisa membuka mata, meski tatapannya masih kosong dan linglung. Ia juga mulai bisa merespons suara dan sentuhan, meski hanya dengan gerakan jari yang lemah.
Dokter mengatakan bahwa Ning Azzahra membutuhkan waktu yang lama untuk pemulihan. Ia harus menjalani terapi fisik dan terapi bicara secara intensif untuk mengembalikan fungsi tubuhnya. Keluarga Al-Hasyimi dengan sabar dan penuh kasih sayang mendampingi Ning Azzahra dalam setiap langkah pemulihannya.
Gus Hilman dan Gus Salman, yang merasa bersalah atas kejadian yang menimpa adik mereka, kini menjadi lebih perhatian dan protektif. Mereka selalu berada di sisi Ning Azzahra, memberikan semangat dan dukungan. Mereka juga membantu Ning Azzahra dalam menjalani terapi, membacakan buku, dan memutar musik kesukaannya.
Untuk memastikan Ning Azzahra mendapatkan pendidikan yang layak, keluarga Al-Hasyimi memutuskan untuk memindahkan sekolah Ning Azzahra ke Pesantren Al-Ikhlas. Mereka menyewa guru privat yang akan datang ke ndalem setiap hari untuk memberikan pelajaran. Dengan begitu, Ning Azzahra bisa tetap belajar dan berinteraksi dengan teman-temannya, tanpa harus merasa khawatir dengan kondisinya.
Namun, ada satu hal yang membuat Ning Azzahra merasa sangat terpukul. Ia tidak bisa lagi mengikuti kegiatan hadroh yang sangat ia cintai. Kejadian malam itu meninggalkan trauma yang mendalam pada dirinya. Setiap kali ia melihat alat-alat hadroh, ia selalu teringat akan lampu lighting yang jatuh menimpanya. Ia merasa takut, cemas, dan tidak berdaya.
Pada suatu siang, saat Ning Azzahra sudah mulai masuk sekolah dan berinteraksi dengan teman-temannya, tim hadroh pesantren datang menjenguknya. Mereka membawa alat-alat hadroh dan meminta Ning Azzahra untuk ikut berlatih bersama mereka.
Awalnya, Ning Azzahra menolak dengan halus. Ia mengatakan bahwa ia masih belum siap untuk kembali ke dunia hadroh. Namun, teman-temannya terus membujuk dan meyakinkannya. Mereka mengatakan bahwa mereka sangat merindukan suara merdu dan gerakan lincah Ning Azzahra.
Akhirnya, Ning Azzahra luluh. Ia setuju untuk ikut berlatih bersama tim hadroh. Namun, baru beberapa menit ia memegang rebana, tiba-tiba ia merasakan pusing yang sangat hebat. Ia melihat bayangan lampu lighting jatuh menimpanya. Ia berteriak histeris dan memegangi kepalanya.
"Azzahra! Ada apa?" teriak para santriwati panik.
Ning Azzahra tidak menjawab. Ia terus berteriak dan menangis histeris. Tiba-tiba, darah segar mengalir dari hidungnya. Ia mimisan.
Gus Hilman yang mendengar teriakan adiknya segera berlari menghampirinya. Ia melihat Ning Azzahra tergeletak lemas di lantai dengan wajah pucat pasi dan hidung berdarah.
"Azzahra! Apa yang terjadi?" tanya Gus Hilman dengan panik. Ia segera mengangkat Ning Azzahra ke dalam gendongannya dan membawanya ke kamarnya.
"Jangan bawa alat-alat hadroh itu ke sini lagi!" teriak Gus Hilman kepada teman-teman Ning Azzahra dengan nada marah. "Azzahra masih trauma dengan kejadian itu. Kalian jangan memaksanya!"
para santriwati, Ning Azzahra terdiam dan merasa bersalah. Mereka tidak menyangka bahwa kehadiran mereka akan membuat Ning Azzahra mengalami trauma yang begitu mendalam. Mereka berjanji untuk tidak memaksa Ning Azzahra lagi dan akan selalu mendukungnya dalam setiap langkah pemulihannya.
Kejadian itu membuat keluarga Al-Hasyimi semakin khawatir dengan kondisi Ning Azzahra. Mereka menyadari bahwa trauma yang dialami Ning Azzahra sangat berat dan membutuhkan penanganan yang serius. Mereka memutuskan untuk mencari bantuan dari seorang psikolog profesional yang ahli dalam menangani trauma.
Ning Azzahra harus berjuang lebih keras untuk mengatasi traumanya dan mengembalikan kehidupannya seperti semula. Ia harus belajar untuk menerima kenyataan dan menemukan cara baru untuk meraih kebahagiaan. Apakah ia akan berhasil? Dan apakah ia akan bisa kembali ke dunia hadroh yang sangat ia cintai?
Keesokan harinya, seorang psikolog bernama Dr. Alisha datang ke ndalem untuk menemui Ning Azzahra. Dr. Alisha adalah seorang wanita muda yang ramah dan penuh perhatian. Ia memiliki pengalaman yang luas dalam menangani kasus-kasus trauma, terutama pada anak-anak dan remaja.
Dr. Alisha melakukan pendekatan yang lembut dan sabar kepada Ning Azzahra. Ia mengajak Ning Azzahra berbicara tentang perasaannya, ketakutannya, dan harapannya. Ia juga memberikan berbagai macam latihan relaksasi dan visualisasi untuk membantu Ning Azzahra mengatasi traumanya.
Perlahan tapi pasti, Ning Azzahra mulai membuka diri kepada Dr. Aisha. Ia menceritakan semua yang ia rasakan, mulai dari rasa takut saat melihat alat-alat hadroh, hingga rasa bersalah karena telah mengecewakan keluarganya. Dr. Alisha mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan dukungan yang tulus kepada Ning Azzahra.
Dr. Alisha juga membantu keluarga Al-Hasyimi untuk memahami kondisi Ning Azzahra dan memberikan dukungan yang tepat. Ia menjelaskan bahwa trauma adalah luka batin yang membutuhkan waktu untuk sembuh. Keluarga Al-Hasyimi harus bersabar, memberikan kasih sayang, dan tidak memaksakan Ning Azzahra untuk melakukan hal-hal yang membuatnya takut.
Dengan bantuan Dr. Alisha dan dukungan dari keluarga, Ning Azzahra mulai menunjukkan perkembangan yang signifikan. Ia mulai bisa mengendalikan rasa takutnya dan berani untuk melihat alat-alat hadroh. Ia juga mulai berani untuk berbicara tentang kejadian malam itu tanpa merasa terlalu emosional.