Sebuah kumpulan cerpen yang lahir dari batas antara mimpi dan kenyataan. Dari kisah romantis, misteri yang menggantung, hingga fantasi yang melayang, setiap cerita adalah langkah di dunia di mana imajinasi menjadi nyata dan kata-kata menari di antara tidur dan sadar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Kita
"Lo beneran suka atau gimana?" tanya Doni sambil menatap Bastian yang duduk di bangku halaman belakang sekolah, rokok di tangannya hampir habis. Asap tipis melayang, terpantul cahaya sore yang mulai jingga.
"Gak juga. Bukannya kita taruhan!" ucap Bastian, menghembuskan asap, pandangannya kosong ke arah lapangan yang sepi.
"Kapan lo beneran jatuh cinta sama cewek?" tanya Aldo, nada suaranya setengah menggoda tapi penasaran.
"Kapan-kapan. Tapi kalau untuk Nina, dia terlalu cupu!" ucap Bastian datar, meski ada sedikit nada ragu di ujung kalimatnya.
"Lo bilang gini ,bukan karena gengsi kan untuk ngaku ?" tanya Aldo lagi, mencondongkan badan sambil menatap wajah Bastian.
"Gak. Lagian ini kan taruhan kita yang ke-50. Reyna udah, Melisa udah, tinggal sekarang Nina." jawab Bastian, mematikan rokoknya di tanah.
"Kalau udah jadian, akan diputusinnya di lapangan kan?" tanya Aldo memastikan.
"Ya, sesuai janji ke-50." ucap Bastian, nada suaranya terdengar berat, tapi ia berusaha terlihat santai.
"Ya, tapi kamu harus bertahan satu minggu. Jika kurang berarti kamu gagal." jawab Doni sambil tersenyum kecil.
Bastian hanya mengangguk, menatap langit yang mulai gelap. Ada sesuatu di matanya , entah keyakinan atau keraguan tapi ia tak mengatakannya.
Nina terdiam di kelas, jari-jarinya memainkan pulpen. Tatapannya kosong menatap papan tulis. Banyak hal berputar di kepalanya terutama tentang Bastian yang tiba-tiba berubah sikap beberapa hari terakhir.
"Kenapa?" tanya Andre tiba-tiba datang membawa makanan di tangannya, membuat Nina terkejut kecil.
"Kenapa kamu menyogokku dengan makanan?" tanya Nina dengan nada datar tapi ada senyum tipis di sudut bibirnya.
"Kenapa? Bukannya ini pasti kamu terima, tapi kalau yang lain enggak kan?" tanya Andre sambil duduk di depannya.
"Ya, kamu selalu tahu itu." ucap Nina pelan.
"Ayo kita buka." ucap Nina sambil mengambil cemilan dari tangan Andre.
Baru saja mereka membuka bungkus makanan, Bastian, Aldo, dan Doni masuk ke kelas. Suasana langsung berubah.
"Kayanya aku harus pergi!" ucap Andre buru-buru saat melihat Bastian.
"Hati-hati ya. Eh, nanti sore kita pergi!" ucap Nina sambil melambaikan tangan ke Andre yang lewat di depan Bastian dan Aldo.
Bastian menatap sekilas, rahangnya mengeras. Nina menarik napas dan membenarkan kacamatanya, lalu membuka bukunya tanpa menoleh.
"Mau kemana nanti sore?" tanya Bastian pelan.
"Bukan urusanmu!" jawab Nina ketus, menatap ke buku tapi tak membaca apa pun.
"Nina, kamu gak nerima aku karena dia kan?" tanya Bastian dengan nada menahan emosi.
"Karena kamu gila." jawab Nina singkat, membuka bukunya lebih keras dari biasanya.
"Lo emang gak tertarik sama dia?" tanya Aldo penasaran.
"Menurut kalian?" Nina menatap mereka, matanya tajam tapi sedih. “Apakah ada cinta yang belok tiba-tiba? Walaupun cinta masa remaja, setidaknya jangan perlihatkan kelakuan kalian yang sok itu.” ucap Nina membuat ruangan hening.
Aldo dan Doni saling pandang, tak berani bicara. Bastian terdiam, menunduk sesaat, tapi kemudian kembali menyandarkan diri di kursinya — berpura-pura cuek.
"Andre!" panggil Nina dengan senyum lebar saat mereka bertemu di mall sore itu.
"Hai, Nin. Yuk, mau makan dulu apa nonton dulu?" tanya Andre, matanya berbinar.
"Makanlah. Yuk!" ajak Nina sambil merangkul lengan Andre, tawa mereka pecah ringan.
Di sisi lain, dari kejauhan, Bastian berdiri di dekat eskalator, memakai hoodie hitam. Tatapannya tajam, mengikuti setiap langkah Nina dan Andre.
Andre dan Nina terlihat bahagia — makan, nonton, mencoba baju, bermain mesin capit boneka. Nina tertawa lepas, untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu. Tapi di balik itu, Bastian terus membuntuti, wajahnya tegang, tangan mengepal di saku.
Sampai malam, mereka pulang. Di depan rumah, Nina memeluk Andre dengan hangat.
"Terima kasih ya!" bisik Nina, matanya berkaca-kaca.
"Sama-sama, Nin. Gak usah nangis." ucap Andre sambil menepuk bahunya lembut.
Bastian yang melihat dari seberang jalan langsung memukul batang pohon keras-keras, napasnya berat.
"Baru pulang, Nin?" tanya Reyna sedikit terkejut melihat Andre dan Nina berpelukan.
"Iya." jawab Nina cepat, langsung melepaskan pelukannya.
"Ya sudah, aku pulang dulu. Bye!" Andre pamit, melambaikan tangan.
Nina masuk ke rumah bersama Reyna.
"Daripada Andre, mendingan milih Bastian, Nin." ucap Reyna sambil menatapnya penasaran.
"Hanya aku yang tahu sepertinya." ucap Nina pelan, masuk ke kamar.
Ia menatap ponselnya penuh panggilan dan pesan dari Bastian. Nafasnya berat. Ia menekan satu tombol blokir.
Hari-hari berikutnya, Nina benar-benar mengabaikan Bastian. Walau duduk bersebelahan, ia memperlakukan Bastian seolah tak ada. Saat Bastian menelpon lewat ponsel Aldo atau Doni, Nina langsung mematikannya tanpa bicara.
Bastian hanya menatap diam, sering kali menunduk di meja, menahan emosi yang tak bisa ia jelaskan.
**
Hari berikutnya, gosip cepat menyebar Bastian mengganti target. Dan sore itu, Nina melihatnya dari lantai dua, berdiri diam saat Bastian memutuskan seorang cewek di lapangan. Suasana ricuh. Cewek itu menampar Bastian di depan banyak orang.
Nina hanya memandang, lalu menatap ke bawah, menghela napas. “Akhirnya...” bisiknya pelan. “Mungkin itu yang terakhir.”
Sebentar lagi mereka akan fokus ujian.
Nina masih duduk sebangku dengan Bastian. Kadang, tanpa sadar, ia melirik ke arah Bastian yang menatap meja kosong. Tak ada kata, tak ada sapa.
Hubungan mereka kini hanyalah diam tapi dalam diam itu, ada sesuatu yang belum selesai.