NovelToon NovelToon
Dari Dunia Lain Untuk Anda

Dari Dunia Lain Untuk Anda

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin
Popularitas:244
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Sepuluh mahasiswa mengalami kecelakaan dan terjebak di sebuah desa terpencil yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Dari sepuluh orang tersebut, empat diantaranya menghilang. Hanya satu orang saja yang ditemukan, namun, ia sudah lupa siapa dirinya. Ia berubah menjadi orang lain. Liar, gila dan aneh. Ternyata, dibalik keramah tambahan penduduk setempat, tersimpan sesuatu yang mengerikan dan tidak wajar.

Di tempat lain, Arimbi selalu mengenakan masker. Ia memiliki alasan tersendiri mengapa masker selalu menutupi hidung dan mulutnya. Jika sampai masker itu dilepas maka, dunia akan mengalami perubahan besar, makhluk-makhluk atau sosok-sosok dari dunia lain akan menyeberang ke dunia manusia, untuk itulah Arimbi harus mencegah agar mereka tidak bisa menyeberang dan harus rela menerima apapun konsekuensinya.

Masker adalah salah satu dari sepuluh kisah mistis yang akan membawa Anda berpetualang melintasi lorong ruang dan waktu. Semoga para pembaca yang budiman terhibur.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 - MASKER - RONALD VAN GIELS ( POV )

Dapat menikahi Mariam Diarso, adalah kebahagiaan terbesarku sekalipun sudah berjalan 5 tahun tanpa kehadiran seorang anak pun. ‘Honey, bersabar dan berdoalah,’ itulah yang kukatakan saat ia menangis sendirian di kamar, itulah yang kukatakan saat melihat tawa, teriakan dan tangisan anak – anak saat ada sendu di wajahnya. Tak bisa kuhitung berapa kali aku dicaci maki oleh kedua orang tuaku juga saudara – saudaraku di Netherland, tak bisa kuhitung berapa kali mereka semua berprasangka negatif terhadap kami. Tapi, bagiku semuanya kuanggap sebagai cobaan sekalipun telinga ini merasa panas dengan ocehan – ocehan miring orang.

Aku masih mengingat segalanya, perjuanganku dalam mendapatkan Mariam, betapa banyak celoteh negatif tentang kami berdua. Namun, saat malam pernikahan kami, semua orang terkesima dan kami membuat mereka semua merasa iri dengan penampilan kami di kursi pelaminan. Aku lega, puas dan bahagia bisa meminang Mariam Diarso. ‘Aku takkan pernah membuatnya menderita, menangis bersedih atau orang menghinanya. Kucintai dan kusayangi dia apapun yang terjadi,’ itulah janjiku pada diri sendiri dan sama sekali tak pernah kuungkapkan padanya. Sekalipun tanpa anak, aku bahagia menjalani hidup bersamanya 5 tahun terakhir ini dan aku memutuskan untuk mengajaknya pergi ke Malang, Panti Asuhan Prana Werdha. Tujuanku adalah mencari anak angkat sehingga kebahagiaan kami lengkaplah sudah.

Jarak kota Banyuwangi – Malang ditempuh dalam waktu lebih kurang 3,5 jam. Aku bisa melihat wajah Mariam berseri – seri, aku bisa membayangkan apa yang menari – nari di benaknya, aku pun bisa melihat kecantikan di wajahnya kembali seperti dulu, walau menurut orang lain wajahnya biasa – biasa saja. Yah, kecantikan itu kembali setelah 4 tahun sempat menghilang karena hasrat untuk memiliki seorang anak yang masih belum tercapai. Aku tak menyalahkannya.

Bangunan berarsitek Belanda tersebut tampak kokoh menantang langit, masih terawat dan banyak sekali ukiran – ukiran unik pada dindingnya yang bercat biru laut.

Hari masih pagi saat kami tiba di panti asuhan ini, pintu gerbang pembatas jalan dan halaman masih belum dibuka. Wajah Mariam tampak resah dan gelisah, berulang kali ia meremas – remas jari – jemari tangannya yang saling bertaut, jantungnya berdegub dengan kencang. ‘Honey, cobalah untuk bersabar sedikit, tenangkan dirimu agar kau tidak tampak kacau di mata calon anak – anak kita,’ aku menasihatkan. Nasihatku ini dijawab dengan anggukan kepalanya perlahan tapi, masih tetap tak bisa menyembunyikan perasaannya tersebut.

Kami menunggu pintu gerbang terbuka dengan harap – harap cemas, alasannya sederhana, kami masih gugup jika bertemu dengan calon anak kami, kami pun khawatir kehadiran kami tidak diterima oleh mereka karena pada jaman seperti sekarang ini, banyak kejadian buruk menimpa anak – anak yatim piatu yang diangkat anak namun pada kenyataannya justru diperlakukan secara tidak manusiawi. Kasus – kasus seperti itu sering terjadi hingga anak – anak malang tersebut terpaksa menjalani nasib yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Kulirik jam tanganku, pukul 08:00, dari kaca depan mobil kami melihat seorang pria paruh baya berjalan ke arah pintu gerbang, dia menganggukkan kepala, senyumnya begitu ramah. Pintu gerbang terbuka perlahan – lahan dan ia memberi isyarat untuk memasukkan mobil. Roda – roda mobil kami melindas bebatuan yang tersebar hampir di seluruh halaman rumah panti asuhan yang luas dan ditumbuhi beraneka ragam tanaman perdu dengan tatanan rapi tersebut. Wajah Mariam berseri – seri manakala melihat beberapa anak laki – laki dan perempuan berkejaran ke sana – kemari, sebagian bermain di taman bermain yang terletak di samping kiri rumah utama.

‘Honey... lihatlah anak – anak itu,’ suara Mariam memecah kesunyian. Aku tersenyum, ‘diantara sekian banyak anak ini, kau bisa memilihnya untuk dijadikan anak angkat kita,’ kataku sambil mencari tempat yang nyaman untuk parkir dan kupilih sebuah tempat yang cukup teduh, tepat di bawah pohon mangga berdaun lebat. Setelah kupastikan mobil yang kami tumpangi aman, kamipun membuka pintu dan turun untuk kemudian berjalan menuju ruang depan. Tampak seorang wanita setengah baya tengah duduk di sebuah sofa sambil membaca sebuah surat kabar.

“Permisi, apakah Anda yang bernama Bu Zahra, kepala panti asuhan Pran Werdha ini ?” tanyaku. Wanita itu mengangkat kepala, sepasang bola matanya bergerak ke arahku juga Mariam, sorotnya tampak tajam penuh selidik. Sedetik kemudian ia tersenyum ramah, “Oh, selamat pagi pak, bu ... benar saya Bu Zahra. Maaf saya baru menyadari kalau ada tamu. Ada yang bisa saya bantu ?” sambutnya sambil berdiri dan berjalan menghampiri.

“Oh, perkenalkan saya bernama Ronald, dan ini isteri saya Mariam,” kataku sambil menyalami wanita itu.

“Oh ... kalau tidak salah Anda yang menelepon kami beberapa waktu lalu, ya ? Mari silahkan duduk, pak,” katanya sambil menjabat tangan kami berdua. Dia adalah wanita yang mudah sekali membawa diri dan menyesuaikan keadaan juga membuat lawan bicaranya merasa nyaman. Salah seorang pelayan menyajikan minuman dan makanan ringan seadanya hingga akhirnya sambil menikmati hidangan yang sudah disediakan kami mulai mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan kami.

Kami diajak berkeliling, menemui satu persatu anak yang tinggal di Panti Asuhan Prana Werdha. Jumlahnya lebih kurang 60 orang, sebagian besar didominasi anak – anak perempuan. Sudah 34 anak perempuan dan 25 anak laki – laki yang dikenalkan kepada kami, mereka semuanya baik dan lucu – lucu. “Menurut Bu Zahra, disini ada 60 orang anak yatim, tapi, yang ibu kenalkan kepada kami hanya 59 anak, kemana anak yang satunya lagi, bu ?” tanya Mariam.

Zahra menghela nafas panjang, “Oh, Arimbi Ayuningtyas. Ia tidak ikut berkumpul disini, bu. Dia selalu mengurung diri di dalam kamarnya di lantai 2. Apa ibu ingin menemuinya ?” tanyanya.

“Mengapa demikian ?” tanyaku.

“Dia adalah anak yang aneh, pak. Hanya beberapa orang anak saja yang bisa menjadikannya teman atau sahabat. Tapi, menurut saya ... dia adalah anak yang baik, kok. Mari ikuti saya, saya akan menghantarkan Anda berdua ke kamarnya,” sambil berkata demikian Zahra melangkahkan kakinya menaiki anak – anak tangga, kami mengikutinya dari belakang.

Begitu sampai di lantai dua, aku menatap ke sekeliling, foto – foto tua dipajang teratur pada dinding – dinding lorong juga sebuah lukisan berukuran lebih kurang dua setengah meter tergantung pada dinding ruang tengah, lukisan seorang wanita duduk di sebuah kursi sambil menggendong seorang bayi, disamping kanannya berdiri seorang pria berambut keriting panjang sebatas bahu. Berhidung mancung, sebagai pembatas hidung dan mulutnya adalah kumis tebal melintang ke kiri dan ke kanan membentuk huruf ‘U’ berwarna coklat. Pakaiannya serba putih dengan hiasan 4 bintang di bahu kiri dan kanannya. Sebilah pedang bersarung emas tergantung di pinggang kirinya. Karisma kedua sosok dalam lukisan tersebut tampak mencolok dengan sepasang sorot mata setajam mata pisau. Lukisan itu tampak hidup dengan latar belakang dinding berwarna hitam.

Lukisan itu membuat kami terpana, terlebih lagi setelah melihat tubuh kecil seorang wanita berambut sebatas bahu yang berdiri membelakangi kami. Dan, wajah Mariam mendadak berubah menjadi ceria manakala melihat sosok tubuh itu. Bibir sensual Mariam didekatkan pada telingaku dan berbisik, “Honey, bagaimana menurutmu tentangnya ?” sambil berkata demikian dagunya terangkat seolah menunjuk sosok tubuh itu.

“Arimbi ... apa yang kau lakukan disini, nak ?” suara Bu Zahra mendahuluiku saat hendak menimpali perkataan Mariam. Sosok itu membalikkan tubuhnya dan tersenyum melihat kedatangan kami, “Bu... semalam mereka bilang, hari ini Arimbi akan meninggalkan Panti Asuhan Prana Werdha ini,” katanya sambil menunjuk ke arah lukisan di depannya. “Kau berkata apa, nak ?” tanya wanita separuh baya itu. “Mereka yang ada di lukisan ini semalam datang menemui Arimbi, mereka berkata kalau hari ini pasangan Van Giels akan datang dan mengambilku sebagai anaknya,” Ketua Panti Asuhan tersebut bengong dengan perkataan sosok wanita cilik itu. Tak lama kemudian ia menatap kami, “Maafkan dia, bu... dia memang selalu berkata demikian. Itu sudah terjadi 1 minggu yang lalu. Arimbi cepat sapa Tuan Ronald dan isterinya,”

Wanita cilik berumur lebih kurang 7 tahun itu berjalan menghampiri kami, ia menganggukkan kepala, “Selamat pagi, Tuan Ronald dan Nyonya Ronald, Arimbi datang menyapa,” katanya. Suaranya begitu bening, sebening air telaga pegunungan, mencairkan segala kebekuan yang saat itu melanda hati Mariam. Aku tak tahu apa yang menyebabkan perubahan suasana hati Mariam saat melihat wanita yang kini menjadi anak angkat kami.

Yah, kami mengangkat Arimbi sebagai anak angkat kami plus seorang sahabatnya yang bernama Naomi. Hari itu adalah hari yang paling membahagiakan Keluargaku yang 5 tahun tak memiliki anak. Mariam menempatkan dirinya dengan baik sebagai seorang Ibu demikian pula aku. Semula aku tak biasa dengan perubahan ini, rutinitas sehari – hariku bersama Mariam yang dulunya masih belum memiliki anak sesekali muncul, tapi, mereka, Arimbi dan Naomi merasa bahwa kami semua adalah KELUARGA YANG PALING BERBAHAGIA di dunia ini. KELUARGA VAN GIELS. Semula aku dan Mariam belum bisa menerima keanehan pada diri Arimbi. Bisakah anda bayangkan bila tiba – tiba Anda terbangun manakala mendengar suara – suara aneh yang berasal dari ruang dapur, lantai atas, kamar mandi dan sumur. Anda pasti mengira itu adalah suara tikus atau adalah pencuri masuk, akan tetapi ... ternyata suara itu disebabkan oleh anak Anda yang mencari makan atau mengerjakan pekerjaan rumah yang biasa dikerjakan oleh seorang isteri. Baik aku maupun Mariam, sampai kini belum paham dengan kemampuan yang dimiliki oleh Arimbi. Tapi, setelah mengangkat 2 orang anak, berbagi sedikit rejeki dengan pihak Panti Asuhan Prana Werdha, Robert dan Stephanie Van Giels lahir. Kebahagiaan Keluarga Van Giels lengkaplah sudah.

***

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!