Sofia Putri tumbuh dalam rumah yang bukan miliknya—diasuh oleh paman setelah ayahnya meninggal, namun diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu oleh bibi dan sepupunya, Claudia. Hidupnya seperti neraka, penuh dengan penghinaan, kerja paksa, dan amarah yang dilampiaskan kepadanya.
Namun suatu pagi, ketenangan yang semu itu runtuh. Sekelompok pria berwajah garang mendobrak rumah, merusak isi ruang tamu, dan menjerat keluarganya dengan teror. Dari mulut mereka, Sofia mendengar kenyataan pahit: pamannya terjerat pinjaman gelap yang tidak pernah ia tahu.
Sejak hari itu, hidup Sofia berubah. Ia tak hanya harus menghadapi siksaan batin dari keluarga yang membencinya, tapi juga ancaman rentenir yang menuntut pelunasan. Di tengah pusaran konflik, keberanian dan kecerdasannya diuji.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yilaikeshi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
“Sofia, hanya karena aku melindungimu waktu itu bukan berarti kau boleh semena-mena….” Mimi, yang awalnya berniat menenangkan sahabatnya, langsung terdiam begitu melihat wajah Sofia Putri.
“Ya Tuhan,” gumam Mimi kaget. Meski Sofia berusaha menutupi mata merahnya dengan riasan, Mimi tahu persis. Ia bisa menembus penyamaran itu.
Tanpa banyak bicara, Mimi langsung meraih tangannya dan menariknya ke ruang belakang, jauh dari pandangan pelanggan maupun bos yang menjengkelkan.
“Mereka lagi, ya? Penyihir itu dan putrinya? Mereka menyakitimu lagi?” tanya Mimi penuh kekhawatiran.
Sofia hanya mengangguk. Ia terlalu lelah, baik fisik maupun batin, untuk menjelaskan. Kenangan kejadian pagi tadi saja sudah seperti pisau yang menusuk-nusuk hatinya.
“Ya ampun…” Mimi menghela napas keras, menangkupkan wajah di kedua tangannya. “Bagaimana bisa mereka tega merusak wajah secantik ini?”
Sofia tersenyum kecil. Kehadiran Mimi selalu mampu meredakan hatinya. Mimi adalah sahabat, sekaligus salah satu dari sedikit orang yang membuatnya tetap waras di tengah penderitaan.
---
Mereka pertama kali bertemu saat paman Sofia membawanya pindah ke kota ini, tidak lama setelah kematian ayahnya. Kehilangan itu membuat Sofia menjadi pendiam dan tertutup. Saat paman mendaftarkannya ke sekolah baru, ia sama sekali tidak berinteraksi dengan siapa pun.
Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Begitu duduk di bangku kelas, Mimi yang duduk di sebelahnya langsung menyapa ceria, memamerkan gigi putihnya yang berkilau. Sofia mengabaikannya, berharap gadis itu berhenti seperti kebanyakan orang lain. Tapi Mimi justru sebaliknya—ia terus berbicara, menceritakan hobinya, keluarganya, dan segalanya. Kalau saja tidak ada guru, Mimi mungkin tak akan berhenti.
Begitu bel pulang berbunyi, Sofia segera keluar tanpa sepatah kata pun. Tapi Mimi masih mengekorinya sambil mengoceh. Suara yang tadinya hanya mengganggu kini mulai membuat darah Sofia mendidih.
Akhirnya, Sofia tak tahan. Ia mendorong Mimi dengan kasar.
Mimi terhuyung, menabrak loker, dan seketika menjadi tontonan siswa di lorong. Tatapan mereka menusuk Sofia. Ia benci rasa kasihan yang terpancar dari mata-mata itu. Ia bukan tontonan sirkus. Ia bukan objek simpati murahan. Ia sudah cukup muak dengan itu di pemakaman ayahnya.
Ingin kabur dari semua tatapan itu, Sofia justru didorong balik hingga jatuh terduduk. Dan yang mendorongnya? Mimi lagi. Sorak-sorai penonton meledak.
Sesuatu dalam diri Sofia meledak. Tanpa berpikir panjang, ia menerjang Mimi. Mereka jatuh bergulat di lantai, saling mencakar, menjambak, berteriak. Hingga guru datang dan memisahkan mereka.
Hari pertama Sofia di sekolah berakhir dengan hukuman memalukan. Ia dan Mimi duduk terdiam, tidak berbicara satu sama lain sampai bel pulang.
Di luar dugaan, saat pulang sekolah, Mimi kembali muncul di sebelahnya. Sofia jengkel. Setiap langkah yang ia ambil, Mimi menirunya. Ketika ia memperlambat atau mempercepat langkah, Mimi ikut menyesuaikan.
“Kenapa kau menguntitku?!” akhirnya Sofia meledak.
Mimi hanya menyeringai. “Oh, jadi kamu bisa bicara? Kukira bisu.”
Senyum itulah yang membuat Sofia semakin kesal. Kenapa dia terlihat bahagia? Apa dia menertawakan status yatim piatu Sofia?
Mata Sofia mengeras. “Ikuti aku lagi, aku patahkan kakimu.”
Tapi Mimi malah mendengus. “Siapa yang ngikutinmu? Rumahku memang di ujung jalan. Dan soal tadi aku juga menahan tenagaku, jadi jangan sok menantang.”
Sofia memilih diam. Berkelahi di jalan tidak ada gunanya. Ia melangkah cepat, tak peduli. Hingga ia terkejut saat melihat Mimi benar-benar masuk ke sebuah rumah mungil hanya beberapa blok dari rumah pamannya.
Sofia berhenti, menoleh tanpa sadar. Mimi pun menoleh balik, seakan menunggu ucapan selamat tinggal.
Sofia memalingkan wajah buru-buru. “Apa yang kau lihat, hah?!” bentaknya. Padahal justru dialah yang menatap lebih dulu. Ia pun cepat-cepat masuk ke rumah pamannya, menenangkan diri dengan keyakinan bahwa ia sudah benar menahan diri untuk tidak melambaikan tangan.
Malam itu, untuk pertama kalinya bibinya benar-benar menunjukkan taring. Semasa ayahnya masih hidup, sang bibi selalu memperlakukannya dengan manis bahkan lebih manis daripada pada putrinya sendiri, Cantika. Namun, semua itu hanya sandiwara. Begitu mendapat laporan tentang perkelahian Sofia, sang bibi langsung mendisiplinkannya dengan cambukan menyakitkan.
Keesokan paginya, meski tubuh masih perih, Sofia tetap berangkat sekolah. Di depan gerbang, ia mendapati Mimi sudah menunggunya sambil memegang sesuatu.
“Ibuku marah besar setelah dengar kejadian kemarin. Dia menyuruhku bikin kue ini untukmu. Jadi… bisakah kita berteman sekarang?” katanya polos.
Sofia tercekat. Dirinya dihukum habis-habisan, sementara Mimi hanya dimarahi ibunya? Rasanya tidak adil. Ia ingin membuat Mimi merasakan sakitnya kehilangan, sakitnya diperlakukan tidak adil. Tapi di sisi lain, tawaran itu menggoda. Sofia lelah hidup sendirian.
Akhirnya, ia menerima kue itu. Dalam hatinya ia bersumpah, suatu hari akan membalas. Namun yang tak pernah ia sangka, rencana balas dendam kecil itu justru berubah menjadi persahabatan indah yang bertahan hingga sekarang.