Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.
Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.
Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan dengan Pengemis Tua
Malam merayap pelan, menelan sisa-sisa keramaian pasar Nurendah. Hiruk-pikuk siang hari telah berubah menjadi puing-puing kesunyian. Kios-kios gelap gulita, hanya menyisakan bau anyir ikan, aroma bawang busuk, dan kain terpal lusuh yang menutupi lapak. Angin malam berembus membawa lolongan anjing dari ujung kota.
Sultan Al Fariz berjalan sendirian di lorong belakang pasar. Kakinya menapaki bebatuan basah, jubah cokelat lusuhnya menyapu debu. Di balik ketenangannya, dadanya masih bergejolak menahan penghinaan di jamuan agung tadi. Tawa para bangsawan dan ejekan Duta Garamaya masih terngiang.
"Raja yang lebih miskin dari budak pasar..." bisiknya sendiri mengutuk.
Dia menarik napas panjang, menatap langit malam yang diselubungi awan. "Aku harus menanggung semua ini," gumamnya lirih, "demi sesuatu yang lebih besar."
Suara gaduh memecah keheningan. Dari balik lorong sempit, terdengar tawa kasar anak muda diselingi pukulan dan jeritan.
"Hahaha! Pukul lagi!"
"Ambil kantongnya!Siapa tahu ada koin!"
"Ayo cepat,sebelum penjaga kota datang!"
Al Fariz mempercepat langkah. Dalam sinar bulan temaram, tiga anak muda sedang memukuli seorang kakek berpakaian compang-camping. Tubuh renta itu terhuyung ke tanah, tangan kurusnya melindungi kepala yang sudah beruban.
"Cukup!" suara Al Fariz bergema.
Anak-anak itu terkejut. "Siapa kau? Jangan ikut campur!"
Tanpa banyak bicara, Al Fariz mendorong salah satu anak hingga terjatuh. Yang lain mencoba meninju dadanya, tapi ia tangkis dengan menggenggam pergelangan si penyerang.
"Pergi!" bentaknya tegas.
Ketiga anak itu lari terbirit-birit, meninggalkan kakek tua tergeletak di tanah.
Al Fariz berjongkok. "Pak Tua, kau baik-baik saja?"
Kakek itu menoleh perlahan. Wajahnya penuh luka dan debu, tapi matanya... Mata itu bukan mata orang biasa. Hitam pekat namun memantulkan cahaya aneh, tajam seperti bisa menembus jiwa.
Al Fariz terdiam, merasakan sesuatu yang asing dari tatapan itu.
"Kau masih membawanya..." suara kakek itu serak, "segel itu. Aku bisa merasakannya dari jauh."
Al Fariz terbelalak. "Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?"
"Aku cuma pengemis tua," katanya sambil tersenyum tipis, darah menetes dari sudut bibirnya. "Tapi mataku pernah melihat langit ketika sumpahmu diikat. Dan kini aku melihatnya lagi—seseorang yang dulu berdiri di singgasana, kini berjalan sebagai manusia biasa."
Al Fariz terdiam. Kata-kata itu menusuk tepat ke rahasia terdalamnya.
"Tidak mungkin..." bisiknya.
Pengemis tua itu menatap lebih dalam. "Kau ingin tahu siapa aku? Akan kuceritakan... jika kau masih berani menanggung kebenaran yang berat ini."
---
Lorong pasar semakin lengang. Lentera minyak bergoyang ditiup angin, menciptakan bayangan aneh di dinding bata. Al Fariz masih berjongkok di samping pengemis tua itu, hatinya lebih berat dari sebelumnya.
"Bicaramu berbahaya, orang tua," kata Al Fariz dengan suara bergetar. "Jangan main-main dengan kata-kata yang tidak kau pahami."
Pengemis itu tersenyum samar. "Oh, aku paham lebih dari yang kau kira, Paduka Sultan."
Al Fariz terkesiap. Panggilan "Paduka Sultan" dari mulut pengemis ini terdengar aneh.
"Siapa yang memberitahumu?" tanyanya menekan.
"Aku lebih tua dari para mata-mata, lebih waras dari bangsawanmu yang tertawa di balairung," jawab kakek itu. "Aku melihat malam ketika kau bersumpah di hadapan bintang, lalu melanggarnya demi hasrat dunia."
Darah Al Fariz mendidih. Ia ingat jelas malam itu. Malam ketika demi cinta dan ambisi, ia mengkhianati sumpah leluhur.
"Cukup!" bentaknya. "Jangan sebut malam itu lagi!"
Tapi kakek itu tak bergeming. "Kau bisa mengusir siapa pun dari singgasanamu. Tapi tidak bisa mengusir kebenaran dari jiwamu. Segel itu tetap menempel, meski kau sembunyikan dengan seribu kedok."
Al Fariz terdiam. Napasnya berat. Ingin menyangkal, tapi seluruh tubuhnya gemetar mengenali kebenaran dalam kata-kata tua ini.
"Kalau benar kau tahu..." suaranya melemah, "siapa kau sebenarnya?"
Kakek itu berdiri dengan bantuan tongkat kayu. Tubuhnya rapuh, tapi auranya tiba-tiba terasa besar.
"Aku," katanya perlahan, "saksi malam itu. Aku yang melihat sumpahmu dilanggar. Aku yang tahu jalan membukanya."
Al Fariz tersentak. "Bagaimana kau tahu semua ini?"
"Karena aku ada di sana, Nak. Aku yang melihat sumpahmu dilanggar. Kau pikir hanya kau yang menanggung? Tidak. Sumpah itu mengikat seluruh Nurendah."
Desau angin malam terasa semakin dingin. Al Fariz merasakan lututnya lemas.
"Kalau kau tahu jalan membukanya... katakan! Aku rela menanggung apa pun."
Mata pengemis tua itu menyipit. "Kau benar-benar rela? Hati-hati dengan kata-katamu, Paduka. Jalan membuka segel bukan jalan kebanggaan. Ia menuntut kerendahan lebih dalam dari tanah, pengorbanan lebih berat dari darah."
"Demi rakyatku. Demi Nurendah," jawab Al Fariz tegas.
Kakek itu mendekat, baunya apek bercampur dupa tua. "Kalau begitu... kau harus siap kehilangan sesuatu yang lebih berharga dari singgasana."
"Apa maksudmu?"
"Besok malam," bisik pengemis tua itu, "temui aku di Makam Leluhur, saat bulan tepat di puncak menara. Bawalah hanya keyakinanmu... dan ketakutan terbesarmu."
Sebelum Al Fariz sempat bertanya lagi, pengemis tua itu sudah berbalik. Langkahnya tiba-tiba gesit, menghilang dalam gelapnya lorong seperti ditelan bayangan sendiri.
Al Fariz terpaku di tempatnya. Tangannya masih menggenggam debu, pikiran dipenuhi pertanyaan. Siapa sebenarnya pengemis tua itu? Bagaimana dia tahu segel dan sumpah yang seharusnya hanya diketahui Al Fariz sendiri?
Dari kejauhan, suara guntur bergemuruh. Awan tebal mulai menutupi bulan. Al Fariz bangkit, tubuhnya berat bagai membawa beban berabad-abad. Dia tahu, keputusannya untuk menemui pengemis tua itu besok malam akan mengubah segalanya—bagi dirinya, bagi Nurendah, dan bagi sumpah yang mengikat takdir mereka semua.
Sementara itu, di ujung lorong yang gelap, sepasang mata masih mengawasinya. Mata yang sama yang tadi memancarkan kebijaksanaan kuno, kini menyipit penuh perhitungan. Sesuatu yang besar telah dimulai, dan nasib Nurendah kini bergantung pada pilihan seorang raja yang telah kehilangan restu langit.