Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31. KENAPA?
Udara di ruang VIP rumah sakit itu seolah kehilangan kehangatannya. Lampu-lampu putih di langit-langit memantulkan cahaya dingin ke permukaan marmer, menciptakan bayangan samar di wajah ketiganya.
Raven duduk bersandar di sofa, menyilangkan kaki dengan tenang, tapi tatapan matanya menusuk tajam seperti bilah baja. Elias di sisi lain, diam ... terlalu diam dengan tangan yang bertaut di pangkuannya. Ruby duduk di antara keduanya, gelisah.
Hening itu panjang dan menyesakkan.
Bunyi AC pun terdengar bagai derit jarum jam yang memerlambat waktu.
Raven menghela napas pendek, lalu mengangkat ponselnya. "Ruby, boleh aku tanya sesuatu?"
Ruby mengangkat wajahnya, matanya masih tampak lelah dan merah akibat berlari ke rumah sakit setelah mendapat kabar kalau Elias terluka parah karena percobaan pembunuhan. Ia bahkan belum sempat menenangkan napasnya saat mendapati Elias duduk sehat-sehat saja di ruangan ini.
"Ya?" jawabnya ragu.
Raven menggerakkan ibu jarinya di layar ponsel, lalu mengulurkan tangan untuk menunjukkan ponsel ke hadapan Ruby. Layar itu menyala, menampilkan sesuatu; log panggilan.
Daftar nama dan nomor yang baru saja dihubungi.
"Kenal dengan nomor ini?" tanya Raven ringan, tapi matanya tak berpaling dari wajah Ruby.
Ruby mencondongkan tubuhnya sedikit. Seketika tubuhnya menegang. Nomor itu ...
Ia tahu nomor itu. Nomor yang selama ini hanya digunakan untuk pekerjaan.
Raven melanjutkan pelan, "Kami sengaja mencoba meneleponmu berkali-kali, Ruby. Nomormu yang pribadi dan satu lagi." Ia berhenti sejenak, menatap Elias sekilas. "Tapi entah kenapa, yang kau angkat justru bukan ponsel pribadimu. Kau mengangkat panggilan dari nomor ini."
Ruby menatap layar itu dalam diam. Jantungnya berdentum begitu keras hingga ia merasa suaranya memenuhi kepala. Ia ingin menjawab, tapi bibirnya seolah kehilangan fungsi.
Raven menyandarkan punggungnya. "Aneh, ya? Karena nomor ini bukan nomor yang biasa kau gunakan. Ini nomor yang sudah lama kami coba hubungi tapi tak pernah mau menerima panggilan."
Raven memutar ponselnya, menampilkan nama kontak yang tersimpan di situ. Huruf-huruf itu terasa seperti hantaman keras ke wajah Ruby.
CHIPER.
Dunia Ruby seakan runtuh seketika.
Dadanya terasa sesak. Napasnya tertahan di tenggorokan. Ia menunduk, menatap ponselnya sendiri yang sejak tadi ia genggam, ponsel yang berbeda dari biasanya, ponsel yang selalu ia gunakan untuk bekerja secara rahasia.
Ponsel yang seharusnya tidak pernah ia bawa keluar dari kamarnya.
"Tidak mungkin," gumamnya pelan, lebih pada dirinya sendiri. Ia menatap perangkat di tangannya, dan rasa dingin menjalar dari ujung jari ke seluruh tubuhnya.
Benar. Itu bukan ponsel pribadinya. Itu ponsel yang selama ini ia gunakan untuk mengerjakan proyek-proyek rahasia yang selama bertahun-tahun tak pernah diketahui siapa pun, bahkan oleh mereka yang paling dekat dengannya.
"Ruby," Elias akhirnya bersuara.
Nada suaranya rendah, serak, tapi bukan karena marah, melainkan karena kecewa yang kentara. "Jadi selama ini ... kau?"
Ruby menelan ludah. Ia mengangkat wajahnya perlahan. Tatapan Elias menembusnya, membuatnya ingin menghilang dari tempat itu.
Gadis tersebut tahu tatapan itu; tatapan pria yang telah mempercayainya, yang sempat membuatnya merasa aman, kini berubah menjadi tatapan orang yang baru saja dikhianati.
Raven mencondongkan tubuhnya ke depan, kedua lengannya bertumpu di lutut.
"Kami sengaja melakukannya, tahu? Meneleponmu dan nomor itu bergantian, berulang-ulang. Karena Elias menemukan fakta bahwa kau adalah Chiper beberapa hari lalu dengan tak sengaja melihat notifikasi di ponselmu itu ketika dia mencarimu di kamar katanya," beber Raven.
Ruby melihat Elias saat mendengar hal itu.
Senyum tipis muncul di sudut bibir Raven, tapi senyum itu dingin, bukan ejekan melainkan pengakuan tentang kebenaran yang akhirnya terungkap. "Dan ketika kau panik dan mengangkat panggilan itu ... yah, permainan berakhir. Elias benar, terkadang sumbu pendekmu itu bisa digunakan untuk situasi seperti ini."
Ruby menatap mereka berdua. Ia ingin menjelaskan, tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Setiap kata yang ingin ia ucapkan terasa seperti jebakan.
"Aku ...," suaranya gemetar, "aku bisa jelaskan."
"Silakan, Ruby," Elias memotong pelan, suaranya tetap datar tapi mengandung perintah tegas. Ia bersandar sedikit, namun tangannya menggenggam lutut, kebiasaan lamanya ketika menahan emosi.
Ruby berdiri dari duduknya, tapi baru satu langkah ia ambil, Elias langsung menarik pergelangan tangannya.
"Ke mana?" tanyanya dingin.
Ruby menatapnya gugup. "Aku ... aku hanya butuh udara-"
Elias tidak membiarkannya melangkah lebih jauh. Ia menarik Ruby kembali hingga tubuh gadis itu jatuh ke arah sofa, dan tanpa berpikir, Elias mengunci pergerakannya.
Ia menarik Ruby hingga gadis itu terduduk menyamping di pangkuannya. Satu lengannya melingkar erat di pinggang Ruby, menahan agar gadis itu tak melarikan diri.
Ruby menahan napas. Jarak di antara mereka nyaris tidak ada, tapi bukan lagi kehangatan yang terasa, melainkan tekanan, ketegangan yang nyaris menyesakkan dada.
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi kemana pun sampai kau menjelaskan situasinya, Bunny," Elias berbisik pelan dan tidak menekan sang gadis.
Kata-kata itu menghantam Ruby lebih keras dari pada genggaman di tubuhnya.
Ia menutup mata sejenak, lalu membuka kembali, menatap Elias dengan sorot mata yang dipenuhi ketakutan dan rasa bersalah.
Raven menatap keduanya, lalu mengalihkan pandangan, memberi jarak emosional, tapi tetap awas.
"Jadi, sejak kapan kau jadi Chiper, Ruby?" tanya Elias.
Ruby terdiam cukup lama sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Sudah lama," jawabnya pelan.
"Berapa lama?" tekan Raven.
"Sejak ... aku berumur enam belas," jawab Ruby.
Raven dan Elias saling bertukar pandang singkat. Elias menatap Ruby lekat-lekat, wajahnya masih tanpa ekspresi. "Dan selama ini kau bekerja di bawah identitas itu, menyembunyikannya dari kami?"
Ruby menunduk, suaranya hampir tak terdengar. "Ya."
"Kenapa?" kali ini Elias yang bertanya, dan nada suaranya mulai retak. "Kami ... aku percaya padamu. Aku bahkan membiarkanmu tinggal di rumahku, Ruby. Kau bisa mengatakan apa saja padaku. Kenapa menutupi hal sebesar ini?"
Ruby terdiam, lalu akhirnya menjawab lirih, "Karena aku takut."
"Takut apa? Bahwa kami akan marah padamu?" Raven bertanya dengan nada yang sedikit lebih lembut dari sebelumnya.
Ruby memejamkan mata. "Takut kalian membenciku. Takut kalian melihatku seperti ... seperti mereka."
"Mereka siapa?" Elias menatapnya tajam.
Ruby membuka matanya perlahan. Tatapannya kosong, tapi suaranya penuh luka.
"Death Eater," jawab Ruby sengan suara bergetar.
Ruangan itu tiba-tiba menjadi hening kembali.
Kata itu menggantung di udara seperti racun.
Raven menegakkan tubuhnya. "Apa maksudmu?"
Ruby menarik napas panjang. "Aku tidak memilih menjadi hacker sebelumnya. Aku ... dibentuk." Ia berhenti sejenak, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku adalah bagian dari eksperimen mereka."
Elias menatapnya, matanya melebar tak percaya. "Eksperimen?"
Ruby mengangguk perlahan. "Mereka ... mereka ingin menciptakan manusia jenius. Sistem yang mereka bangun bekerja dengan cara mempercepat kapasitas otak lewat metode stimulasi ekstrem, hampir seperti memaksa otak bekerja di luar batas alaminya."
Elias dan Raven luar biasa terkejut, seolah seseorang menyiramkan air es ke tubuh mereka sekarang ini.
Suara Ruby bergetar, mengingat sesuatu yang seharusnya terkubur. "Dan aku salah satu dari anak-anak itu."
Raven tampak terkejut. Ia mencondongkan tubuh. "Tunggu ... kau bilang kau salah satu? Jadi ada yang lain?"
Ruby mengangguk pelan. "Banyak. Tapi hanya sedikit yang bertahan hidup."
Elias menatapnya lekat, rahangnya menegang. "Kenapa kau tidak pernah mengatakan apa-apa?"
Ruby menelan ludah. "Karena aku tahu siapa yang menyerahkan aku ke mereka. Dan aku tidak ingin sampai kalian yang tahu tentang hal ini terluka."
"Siapa yang menyerahkanmu pada orang-orang gila itu untuk dijadikan objek eksperimen?" Elias merengkuh pinggang Ruby cukup kuat karena amarah yang tidak bisa ia jelaskan.
Mata gadis itu beralih ke Elias, kemudian ke Raven. Suaranya berubah menjadi lebih pelan, hampir seperti bisikan yang menusuk telinga.
"Ayahku," jawab Ruby.
Kedua pria itu membeku.
Amarah menguasai Elias sepenuhnya. Air mukanya seperti predator yang siap menerkam mangsa dan mengoyaknya tanpa ampun. Tidak menyangka kalau Edward Adams bukan hanya jahat tapi juga sakit jiwa.
Kupastikan kau tidak akan hidup tenang, Edward, batin Elias menjerit.
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya