Bayang-Bayang yang Tidak Pergi adalah sebuah novel puitis dan eksistensial yang menggali luka antar generasi, kehancuran batin, dan keterasingan seorang perempuan serta anak-anak yang mewarisi ingatan dan tubuh yang tidak pernah diminta.
Novel ini terbagi dalam tiga bagian yang saling mencerminkan satu sama lain:
Bagian Pertama, Orang yang Hilang, mengisahkan seorang perempuan yang meninggalkan keluarganya setelah adik perempuannya bunuh diri. Narasi penuh luka ini menjelma menjadi refleksi tentang tubuh, keluarga, dan dunia yang ia anggap kejam. Ia menikahi seorang pria tanpa cinta, dan hidup dalam rumah penuh keheningan, sambil mengumpulkan kembali kepingan-kepingan jiwanya yang sudah dibakar sejak kecil.
Bagian Kedua, Bunga Mawar, Kenanga dan Ibu, melanjutkan suara narator laki-laki—kemungkinan anak dari tokoh pertama—yang menjalani rumah tangga bersama seorang istri polos, namun hidup dalam bayangan cinta masa lalu dan sosok ibu yang asing. Kenangan, perselingkuhan, dan percakap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Made Budiarsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari di mana toko itu tidak pernah di buka, dering telepon dan anak kecil
Dan instingku benar adanya. Toko itu tidak buka pada hari selanjutnya tapi hari berikutnya lagi, ada truk datang dan pemilik toko memasukkan barang-barangnya. Apa yang terjadi? Mengapa pemilik toko pergi?
Aku hanya diam saja dan memperhatikan bunga sedap malam yang ada di tiang. Sungguh bunga itu bisa bertahan berhari-hari. Aku tidak tahu apa bunga itu selalu di ganti atau tidak. Bagiku, bunga itu selalu saja sama.
Melihat pemilik toko, sepertinya aku tidak akan pernah membeli bunga. Entah mengapa, aku mulai membenci bunga sedap malam yang ada di dalam ruangan ini.
Aku keluar, menghampiri pemilik toko. Dia menyapa dengan senyuman, yang sering menjadi tanda tanya bagiku.
“Anda datang kembali.”
“Seharusnya aku yang berkata seperti itu.”
“Oh, iya. Beberapa hari ini ada sedikit masalah. Apa anda ingin membeli bunga?”
“Kau akan menutup toko?”
“iya, untuk di sini. Masa kontrakku sudah berakhir. Aku akan membukanya di tempat lain. Sayang sekali, kita tidak bisa bertemu lagi.”
Aku lalu memperhatikan truk dan menyadari ada seorang pria muda yang membantu memasukkan barang.
Penjual toko menyadarinya, kemudian berkata, “Dia menantuku.”
Aku hanya mengangguk dan menyadari putri dan cucunya tidak ikut.
“Nona, bunga apa yang anda inginkan?” dia buru-buru berkata seolah takut aku membuka pertanyaan.
“Aku tidak melihat bunga Dantura. Apa di tokomu ada bunga seperti itu.”
“tidak ada, aku tidak menjualnya.”
Dia lalu pergi dan mengambil beberapa tangkai bunga sedap malam yang segar. “Ini, anda suka bunga ini bukan?”
Dia mengulurkannya dengan senyuman. Aku mengambilnya.
“Terima kasih, aku memberikannya secara gratis, semoga kau suka. Aku ada banyak pekerjaan hari ini.”
Dia langsung masuk dan tidak ingin berbicara denganku.
Aku pergi dan tidak memperhatikannya lagi. Kembali melihat pria di jembatan lagi. Aku penasaran, apa yang dilakukannya. Aku membencinya sekarang. Sungguh membencinya.
Pergi ke sawah, tidak ada para gadis itu. Sungguh hari yang mengesalkan.
Kembali ke rumah. Telepon berdering. Mengangkatnya. Aku hanya perlu mendengar sepatah kata kemudian menutupnya.
Lalu membuang bunga yang diberikan penjual bunga itu. Bunga yang sebelumnya jauh lebih baik dari bunga segar ini.
Dan berhari-hari pun berlalu. Bunga sedap malam di bawah tiang akhirnya terjatuh dan kayu. Tidak ada yang peduli dan berusaha menyelamatkannya. Sementara bungaku tidak jatuh, tapi membusuk dalam diam hingga mencemari udara. Suamiku tidak berkomentar dan bahkan tidak peduli dengan itu. Kemudian saat aku memeriksa telepon, ada berita tentang bunuh diri. Itu adalah hal yang wajar, namun segera merebut perhatianku ketika menyadari orang yang bunuh diri tidak lain adalah pria yang sering kulihat di jembatan kecil.
...****...
Beberapa hari berlalu. Toko itu tutup, bunga di bawah tiang itu tidak pernah di pedulikan lagi. Aku juga tidak pernah melihat pria yang duduk di jembatan itu. Aku merasa lega, tapi juga membencinya, benci karena hal yang kubenci pergi. Meski aneh, aku merasa hidup ketika membenci sesuatu. Itu semacam rutinitas pekerjaan, membencinya, tapi itu membuat kita hidup.
Malam sebelumnya, setelah aku memberikan pelayananku pada suamiku, dia pergi lagi, entah ke mana dan hingga sore ini juga belum pulang. Ah, sudahlah, dia memang seperti itu.
Hujan lagi. Sore ini hujan lagi. Aku senang dan mengambil payungku. Berjalan-jalan. Diam sejenak di Jembatan dan pergi ke sawah. Sawahnya akhirnya di potong, menyisakan batang-batangnya. Aku tidak melihat gadis itu lagi. Sepertinya dia juga tidak datang hari ini. Sudahlah, aku kembali. Tapi telepon berdering kembali. Mengangkatnya.
Suara yang sama, beberapa hari yang lalu memanggilku. Aku hari ini hanya diam untuk mendengarkannya. Aku dapat merasakan kepiluan dalam suaranya. Itu adalah suara yang menyayangiku, suara yang membuatku merasa dunia ini indah. Suara itu juga yang memberiku harapan-harapan. Tapi, suara itu juga yang menghancurkanku. Aku menutupnya dan menghela nafas. Duduk di balkon, memandang vas bunga yang sebelumnya ada bunga sedap malam. Mengambilnya dan membuangnya. Tidak peduli entah vasnya cantik dan dapat menampung bunga baru yang lainnya. Vas itu sudah ternodai, jadi jangan di pakai lagi.
Suara ibu bergema dalam pikiranku. Aku tidak akan mengikuti apa yang dikatakannya, aku sudah pergi dan jangan pernah menggangguku lagi. Dia seperti datang, mencariku, meminta maaf, kemudian mengecewakanku. Aku adalah vas bunga yang indah terbuang dengan sia-sia bunga yang membusuk, sebaik apa pun mencucinya, akan ada aroma yang tersisa.
Menghela nafas dan ingatan adikku kembali muncul. Sepertinya aku akan berkunjung tapi tidak tau itu kapan.
Aku kemudian berdiri dan menatap ke bawah. Ada wanita yang berjalan memegang payung di antara ribuan tetes hujan. Aku hanya melihat Kakinya yang tua dan ramping, mengingatkanku dengan penjual bunga.
Melihat bunga di bawah tiang. Sekarang ada lagi bunga sedap malam di sana. Siapa wanita yang menaruhnya. Apa dia benar-benar penjual bunga itu? Namun rasa penasaranku tidak terlalu besar dan tidak ada yang bisa mendorong kakiku untuk melangkah jauh.
Ke-esokan harinya, aku diam di rumah, dan baru pada tiga hari lagi aku keluar. Itu saat hujan. Entah mengapa kota selalu turun hujan baru-baru ini.
Keluar, melihat toko bunga dan ingin bertanya, mengapa harus tutup. Melihat jembatan kecil, juga bertanya, mengapa pria itu harus menghilang. Kemudian berdiri di bawah jembatan dan melihat bunga sedap malam yang segar. Itu pasti ada seseorang yang menjaganya. Tidak tahu siapa.
Kemudian aku berjalan menuju sawah. Sawahnya sudah di potong, jadi tidak terlalu indah. Namun, aku melihat gadis kemarin duduk di kursi tua yang tidak pernah menarikku untuk duduk. Mengapa? Itu tidak lain mengingatkanku dengan masa kecilku dan aku baru kali ini mendekatinya.
“Apa yang kau lakukan?” tanyaku. Mungkin dingin, tapi aku tidak punya pilihan untuk mengatakan sesuatu yang lebih hangat. Nada suaraku sudah menjadi ciri khasku.
Gadis itu memandangku aneh. Ya, aku tahu, aku adalah wanita asing bagimu, termasuk diriku, mengasihi adiku yang bunuh diri, wanita yang tertabrak, terasa asing. Namun dengan berusaha dia berkata, “A-aku harus membuat cerita untuk tugas sekolah.”
Dia dari tadi memang memegang sebuah pulpen dan buku tulis yang beberapa titik basah karena hujan.
Dia melanjutkan, “Ini cerita tentang bagaimana mimpiku di masa depan. Menurutku, diam di sini dan memikirkannya akan membantuku untuk melakukannya. Hari ini aku sendirian, jadi terasa kurang nyaman.”
Aku diam sebentar mendengarnya. Mimpi? Aku juga pernah punya mimpi dan di antara hamparan sawah, aku dan adikku menulisnya, kemudian melipatnya menjadi pesawat kertas lalu menerbangkannya. Itu hari yang indah sekali hari yang menyebalkan.
“Apa mimpimu?”
“Aku ingin berguna bagi semua orang. Ingin membantu ayah dan ibu agar tidak bekerja keras lagi. Aku benci melihat mereka bekerja sepanjang hari.”
“Itu mimpi yang indah, tapi sangat sulit di wujudkan.”
“Kakak benar, oleh karena itu aku harus berusaha keras untuk mencapainya.”
“Bagaimana jika itu gagal?”
“Kegagalan? Awalnya pasti akan begitu, tapi ibu guru berkata, semakin sering kita gagal, maka semakin mendekat pada tujuan kita.”
“Kau di bohongi.”
“Siapa? Ibu guru. Ah, tidak, ibu guru tidak pernah berbohong.”
Jawabannya ya penuh keceriaan dan kepolosan membuatku harus berpikir untuk masa laluku. Aku pernah berada di posisimu, tapi jika dunia mengkhianatimu, maka kamu akan hancur. Anak gadis ini masih polos ternyata. Dia belum tahu bagaimana dunia bekerja.
“Bagaimana jika semua yang kamu lakukan itu sia-sia?”
“Tidak ada yang sia-sia.”
“Tidak, itu ada.”
“Apa yang kakak katakan? Aku tidak mengerti.”
Aku menghela nafas. Mengapa aku harus berdebat dengan anak kecil yang asing ini? Apa aku terlalu bodoh untuk melakukannya?
Diam sejenak, gadis itu berkata, “Kakak, aku harus membuat tugas, Tolong jangan ganggu aku.”
Aku tidak di terima. Ya, aku memang mengganggunya kemudian pulang dari sana.
Sepuluh hari berikutnya cuacanya berawan, dan aku sesekali pergi, melihat perkembangan anak kecil itu. Hanya melihat dan tidak berbicara dengannya lagi. Kami bahkan beberapa kali saling pandang.
Aku hanya bisa memperhatikannya, dan sawah yang telah kehilangan tanaman padi ini menjadi jauh lebih menarik karena ada anak kecil itu.
Kemudian satu bulan berlalu, dan selama itu empat deringan telepon muncul. Entahlah, itu dari ibu atau tidak, aku tidak ingin mengangkatnya. Aku ingin, menyiksanya dan memohon agar aku kembali dan meminta maaf kepadaku. Aku ingin melihat wanita itu menangisi kesalahannya.
Lalu sepanjang itu, beberapa kali suamiku pulang dan pergi begitu saja. Sarapan pagi dan malam sama saja, tapi tidak ada bunga sedap malam lagi di ruangan itu, sementara di bawah tiang, bunga itu selalu saja segar dan beberapa kali aku melihat orang asing menggantinya.
Awal bulan tanggal satu, ada deringan telepon lagi dan aku mencoba mengangkatnya dan ternyata itu bukan dari ibu, Namun orang lain yang sudah tua. Mengatakan untuk pulang, ibu meninggal. Aku menutupnya. Ibu meninggal. Sudahlah, aku tidak ada hubungannya dengan itu, tapi entah mengapa aku merasa ingin pulang sebentar.