**(anak kecil di larang mampir)**
Di tengah kepedihan yang membungkus hidupnya, Nadra mulai menjalani hari-hari barunya. Tak disangka, di balik luka, ia justru dipertemukan dengan tiga pria yang perlahan mengisi ruang kosong dalam hidupnya.
Arven, teman kerja yang selalu ada dan diam-diam mencintainya. Agra, pria dewasa berusia 40 tahun yang bersikap lembut, dewasa, dan penuh perhatian. Seorang duda yang rupanya menyimpan trauma masa lalu.
Dan Nayaka, adik Agra, pria dewasa dengan kepribadian yang unik dan sulit ditebak. Kadang terlihat seperti anak-anak, tapi menyimpan luka dan rasa yang dalam.
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Nadra dan ketiga pria itu berubah menjadi lingkaran rumit perasaan. Mereka saling bersaing, saling cemburu, saling menjaga namun, hati Nadra hanya condong pada satu orang: Agra.
Keputusan Nadra mengejutkan semuanya. Terutama bagi Nayaka, yang merasa dikhianati oleh dua orang terdekatnya, kakaknya sendiri dan wanita yang ia cintai diam-diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahri musdalipah tarigan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Pertemuan Aneh
Hari-hari terus berganti. Sudah seminggu berlalu sejak malam saat Nadra bertemu tatap dengan pria misterius, Nayaka di kafe itu. Tapi di rumah kecil miliknya, nggak ada yang berubah. Masih dengan suara bentakan, masih dengan lemparan kata-kata yang bikin hati nyeri. Masih dengan ibu yang terus bekerja keras dan ayah yang makin jauh dari kata "bertanggung jawab".
Saat itu, Nadra udah nggak tahan. Ia keluar dari rumah tanpa pamit. Langkahnya santai, meski hati dan pikirannya nggak tenang. Langit di atas mendung menggantung, seperti menahan tangis yang nggak jadi-jadi.
Nadra berjalan kaki, menyusuri trotoar yang mulai padat oleh lalu lintas kota. Hiruk pikuk mobil dan motor, suara klakson, orang lalu lalang, semua terasa ramai tapi sunyi buat Nadra.
Ia menatap ke sekeliling, toko-toko buka, orang tertawa, ada yang ribut di pinggir jalan, dan ada juga yang tampak sibuk dengan hidupnya masing-masing.
"Nggak cuma aku kok yang punya hidup berantakan," gumamnya pelan sambil narik napas panjang.
Udara siang agak pengap, tapi tetap ia hirup dalam-dalam. Buat nenangin diri. Buat yakin kalau semuanya bisa ia lewati, meski sendiri. Tapi tiba-tiba.
"NGEEEEEENGG!!"
Suara sepeda motor sport melaju kencang, ban belakangnya menggesek keras aspal. Seketika, Nadra menoleh. Sebuah motor hitam melintas cepat banget di sisi kirinya. Pengendaranya, pria berjaket kulit gelap, tampak menoleh sekilas padanya, tatapan mereka sempat bertemu, walau cuma sepersekian detik. Dan justru karena itu.
BRAKKK!
Motor itu oleng. Nabrak pembatas jalan lalu nyeret ke arah kiri. Orang-orang yang tadi cuek langsung berlari ke arah suara benturan, termasuk Nadra.
"Ya Allah," gumam Nadra kaget, kakinya bergerak cepat tanpa sadar.
Ia menghampiri lokasi kecelakaan itu. Di sana, motor hitam itu udah terguling, dan si pengendara terbaring, separuh tubuhnya rebah di trotoar. Helmnya terlepas, wajahnya bisa terlihat jelas. Itu dia, pria itu. Yang seminggu lalu menatapnya dari balik dinding kaca kafe.
Kerumunan makin ramai. Beberapa orang mulai merekam dengan ponsel mereka, sebagian lagi ribut saling menyalahkan siapa yang harus bertindak lebih dulu.
Nadra masih berdiri di tempatnya. Napasnya berat. Matanya memandangi pria yang tergeletak itu, dan perlahan-lahan ia mundur. Bibirnya mulai bergetar. Ada rasa takut yang tak bisa dijelaskan. Wajah pria itu dingin, tajam, dan tak terbaca, membuat jantungnya berdegup lebih cepat.
"Kenapa ekspresinya kayak liat ayah," batinnya bergemuruh.
Bukan ekspresinya yang mirip, tapi sorot matanya. Tatapan yang seperti tak mengenal kelembutan. Tapi saat Nadra hendak berbalik dan meninggalkan lokasi. Tiba-tiba pria itu, Nayaka, dalam kondisi terluka, setengah sadar, mengulurkan tangannya pelan. Lalu dengan suara lemah, nyaris tak terdengar, menyebut namanya, "Nadra".
Dunia seakan berhenti berputar. Semua orang menoleh ke arah Nadra, seakan mendapat petunjuk siapa gadis itu sebenarnya. Beberapa orang saling berbisik. Nadra terdiam, tubuhnya kaku. Wajahnya memucat. Ia bahkan tak tahu harus menjawab apa.
"Dia memanggil kamu, Dek. Kamu kenal, ya?" tanya seorang bapak paruh baya yang ada di sampingnya.
Nadra geleng cepat-cepat. "Nggak, nggak kenal. Aku, Aku nggak tahu siapa dia."
Namun, kebingungan Nadra terhenti ketika seorang petugas kebersihan yang sedari tadi berdiri di pinggir jalan berteriak panik.
"Tolong! Ada yang bisa bantu bawa ke rumah sakit? Ini orang nggak sadar! Cepat, dong!"
Beberapa orang mulai bergerak. Salah satu mobil sedan berhenti di pinggir jalan, jendela terbuka. "Masuk aja ke mobil saya! Biar saya antar ke rumah sakit!" kata seorang pria sopan dari balik kemudi.
Dengan sigap, beberapa pria mengangkat tubuh Nayaka, membopongnya ke dalam mobil. Nadra hanya memandangi, sedikit lega melihat situasi terkendali. Ia memutar tubuhnya, hendak pergi. Namun sebuah tangan menahan bahunya.
Seorang ibu-ibu separuh baya, menatapnya penuh rasa ingin tahu. "Dek, itu tadi manggil kamu. Kamu pasti kenal dia, kan? Temenin dulu, ya, kasihan dia. Sendirian."
"Tapi, Bu, Aku benar-benar nggak kenal," jawab Nadra tergagap, suara lirih.
"Yah, walau nggak kenal, kamu tadi dipanggil. Udah, ikut aja dulu. Nanti kalo uda ada keluarganya, kamu bisa pulang."
Semua mata menuntut hal yang sama. Nadra diam. Ia ingin menolak, ingin lari dari situasi yang membingungkan itu, tapi ia tak bisa jadi egois di hadapan luka orang lain.
"Oke," ucapnya pelan.
Beberapa orang tersenyum puas. Nadra pun naik ke dalam mobil, duduk di belakang, di samping tubuh Nayaka yang kini terbaring. Kepalanya tergelincir, hingga tanpa sadar bersandar pada paha Nadra. Darah tipis mengalir dari pelipis Nayaka.
Nadra menggigit bibirnya, hatinya berkecamuk. Tangannya gemetar, tapi tak tega untuk memindahkan kepala itu. Ia hanya duduk diam, membiarkan kepala Nayaka beristirahat di atas pahanya, sambil memandangi wajahnya dari dekat.
Mobil melaju stabil, menyusuri jalanan kota menuju rumah sakit terdekat. Di dalam mobil, suasana hening. Hanya suara napas Nadra yang kadang tak beraturan, dan desahan lemah Nayaka yang masih terbaring dengan kepala di pahanya.
Jalanan terlihat panjang, tapi waktu terasa begitu cepat. Dua puluh menit berlalu, dan mobil akhirnya berbelok ke halaman rumah sakit. Begitu berhenti, petugas medis langsung menyambut. Seorang perawat dengan sigap membawa branker, dibantu dua orang lainnya mengangkat tubuh Nayaka dengan hati-hati.
"Cepat, bawa ke ruang perawatan," kata salah satu perawat dengan nada tegas.
Nadra turun pelan, terdiam sejenak di pinggir mobil. Kakinya seperti ragu untuk melangkah. Tapi pandangan terakhir Nayaka yang sempat menatapnya di jalan tadi membuatnya berjalan pelan, mengikuti di belakang.
Pemilik mobil sudah pergi. Tanpa banyak bicara, lelaki itu hanya berkata, "Saya duluan ya, Dek," lalu melesat pergi.
****
Di lorong rumah sakit, Nadra berdiri sendiri. Wajahnya yang biasanya cuek, sekarang justru tampak tegang. Ia memainkan jari-jarinya, duduk sebentar lalu berdiri lagi. Jantungnya berdebar cepat tanpa sebab.
"Aku kenapa sih?" batinnya resah. "Tadi aku takut banget, sekarang malah nungguin orang yang bahkan aku nggak kenal."
Beberapa menit berlalu. Akhirnya, seorang dokter dan perawat keluar dari ruangan.
"Dek, kamu yang tadi bareng pasien?" tanya perawat itu.
Nadra mengangguk pelan, reflek berdiri.
"Tenang ya, dia baik-baik aja. Cuma lecet di pelipis, dan sedikit benturan ringan. Tapi kondisinya stabil. Sekarang dia masih tidur, mungkin sebentar lagi bangun."
Nadra menghela napas lega. Seolah baru menyadari betapa tegang dirinya tadi.
"Terima kasih, kak," ucapnya lirih.
Ia berbalik, bersiap meninggalkan tempat itu, tapi tiba-tiba dari arah resepsionis, namanya dipanggil.
"Dek! Tunggu. Kamu yang bareng pasien tadi, kan?" suara seorang petugas admin membuat langkahnya terhenti.
"E...iya?" Nadra menoleh.
"Kami butuh data penanggung jawab, setidaknya sementara sampai keluarga pasien bisa dihubungi."
Nadra bingung. "Tapi aku bukan siapa-siapanya."
Namun saat ia hendak melangkah ke meja resepsionis, pintu ruang perawatan terbuka. Nayaka muncul, tubuhnya tampak lemah, satu tangan memegang sisi pintu, wajahnya masih pucat tapi tatapannya jelas.
"Biar aku aja yang urus," katanya pelan tapi tegas. Matanya menatap lurus ke arah Nadra. "Terima kasih uda nganterin, kamu boleh pulang sekarang."
Nadra membeku. Untuk beberapa detik ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ada rasa lega karena pria itu sudah sadar dan bisa bicara. Tapi juga ada pertanyaan besar yang menggantung di benaknya.
"Kamu tahu nama aku dari mana?" Nadra akhirnya bertanya.
Nayaka tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya, dalam dan tajam, lalu berkata dengan lirih. "Dunia ini kecil, Nadra. Sangat kecil." Kemudian ia berpaling, berjalan pelan ke arah resepsionis.
Nadra masih berdiri di tempatnya. Matanya tak lepas dari wajah Nayaka yang tampak pucat, tubuhnya masih sedikit goyah berdiri. Ada banyak hal yang ingin Nadra tanyakan. Mulai dari kenapa pria itu bisa tahu namanya, sampai kenapa rasanya pria itu seperti terus mengawasinya sejak seminggu terakhir. Namun, pikiran Nadra mencoba menahan semua pertanyaan itu. Ia menarik kesimpulan sederhana yang mungkin lebih mudah diterima logika.
"Mungkin dia cuma pelanggan kafe, mungkin selama ini dia duduk diam di sudut, ngeliatin aku, dan aku nggak sadar," pikir Nadra sambil menghela napas pelan. Kakinya mulai melangkah mengikuti Nayaka.
Tak lama, dokter dan dua orang perawat menghampiri Nayaka. Salah satu dari mereka, seorang dokter pria paruh baya berbicara sambil menahan lengan Nayaka.
"Pak, Anda baru saja mengalami benturan di bagian kepala. Kami sarankan istirahat dulu. Setidaknya semalam menginap untuk observasi."
Perawat lainnya mencoba ikut membujuk. "Kalau pulang sekarang, kami khawatir kondisinya memburuk. Mohon kerja samanya, ya, Pak."
Tapi Nayaka mengangkat tangan menepis perlahan sentuhan mereka. Suara napasnya berat, tapi ucapannya tetap jelas.
"Terima kasih, Dok. Tapi aku baik-baik saja. Aku lebih tenang kalau bisa pulang." Ia melirik singkat ke arah Nadra yang kini berdiri di sampingnya. "Tempat asing justru buat aku semakin sakit."
Dokter tampak tak puas. "Tapi ini soal keselamatan Anda sendiri."
"Tenang, aku tahu tubuhku." Nayaka menyela cepat. Wajahnya mulai keras, dingin dan tak mau dibantah. "Kalau harus tanda tangan surat penolakan rawat inap, aku akan tandatangan sekarang."
Semua orang di sana saling pandang. Sikapnya tegas, meski tubuhnya belum seimbang betul.
Akhirnya, sang dokter menyerah. "Baiklah, kalau begitu. Tapi kami tetap minta Anda periksa ulang dua hari ke depan. Jangan anggap enteng cedera kepala."
Nayaka mengangguk pelan. "Noted, Dokter." Nayaka menoleh sekali lagi ke arah Nadra. "Terima kasih udah nemenin sampai sini. Harusnya kamu nggak perlu repot." Suaranya terdengar berbeda, lebih rendah, lebih tenang.
Nadra menunduk pelan. "Bukan repot, cuma kebetulan aja."
Nayaka mengangkat alis sedikit. "Kebetulan?"
Nadra mengangguk lagi, berusaha tersenyum kecil, walau canggung. "Mungkin kalau yang jatuh tadi bukan kamu, aku juga bakal tetap bantu. Jadi, nggak usah mikir jauh."
Ucapan itu mengambang di udara. Ada jeda sesaat sebelum Nayaka membalas dengan suara pelan.
"Berarti aku beruntung, ya. Karena yang lihat aku jatuh itu kamu."
Nadra menghindari tatapannya. Ia merasa kalimat itu terlalu dalam untuk pria asing yang baru ia temui. "Kalau gitu, aku pulang dulu." ucap Nadra sambil membungkuk singkat.
Ia membalikkan badan, langkahnya cepat menuju pintu keluar. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan ruang resepsionis rumah sakit, ia sempat menoleh sekali lagi. Nayaka masih berdiri di tempat, menatap punggungnya. Bukan dengan sorot menyeramkan seperti pertama kali, tapi dengan tatapan yang diam-diam mengundang rasa penasaran.
...Bersambung.......
...Terima kasih untuk yang sudah mendukung karya-karyaku....
...Maaf banyak yang hiatus. Disebabkan sedikitnya pembaca. Dan waktu itu aku belum benar-benar pandai menulis. Tapi sekarang, aku usahakan membuat cerita yang bagus....