Asila Ayu Tahara. Perempuan yang tiba-tiba dituduh membunuh keluarganya, kata penyidik ini adalah perbuatan dendam ia sendiri karna sering di kucilkan oleh keluarganya . Apa benar? Ikut Hara mencari tahu siapa sih yang bunuh keluarga nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonjuwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kertas dengan perintahnya
Back to pov Author
Mobil Hakim terparkir tak jauh dari kerumunan ricuh, dengan tanggap ia berlari menghampiri Dewi dan Hara yang tengah menjauh dari keramaian
“Kamu yang nelpon saya kan?” tanya Hakim setibanya
Hara mengangguk pelan tanpa sepatah kata apapun.
Hara masih sama seperti tadi ia benar-benar tenang, pandangan nya kosong, sikapnya acuh. Lain hal nya dengan Dewi, temannya itu sangat-sangat panik dalam situasi ini ia sampai menangis meski tak bersuara, Dewi sangat ketakutan saat ini.
“Kamu kenal sama korban?” tanya Hakim yang kali ini sudah membuka buku catatannya
Sementara Kala ia tengah membubarkan kerumunan dan memasang police line di sekelilingnya, Hakim benar-benar tak menghampiri mayat itu bahkan menolehnya saja tidak. Ia benar-benar akan fokus pada dua gadis di hadapannya yang secara tak langsung membuat penasaran kenapa semua kejadian hari ini terkait dengan mereka.
“Tahara? Betul?”
Hara mengangguk ringan sambil memandang ke sembarang arah, Hakim yang merasakan keanehan itu jelas bertanya-tanya ia merasakan perilaku berbeda dari Hara.
“Kamu dari mana? Kenapa bisa disini?” tanya Hakim lagi
“Rumah saya dekat sini”
“Terus temanmu? Dia orang sini juga?”
Hakim bertanya seolah-olah tidak tahu padahal yang ia tahu rumah Dewi bukan di sekitar sini.
“Iya” jawab Hara
Gong nya Hakim sedikit melebarkan matanya sambil mengangguk-anggukkan kepala, meskipun begitu kedua gadis itu tak menyadarinya.
Hakim sedikit tersenyum dalam batin nya ia juga berkata
‘Makin mencurigakan aja nih anak dua’
“Dewi dan Tahara, mari ikut saya ke kantor polisi”
Dewi sontak memandang ke arah Hakim terkejut karna kenapa ia harus dibawa kesana?
Sedangkan Hara, yang Hakim lihat gadis itu hanya menyunggingkan sedikit senyumnya.
“Kok kita dibawa ke kantor polisi Pak?” tanya Dewi
“Untuk diminta keterangan lebih lanjut, kalian banyak bohongnya”
Dewi berontak ketika lengan nya di tarik paksa ke arah mobil, dengan bantuan dua orang polisi akhirnya Dewi berhasil masuk dengan tenang ke dalam mobil Hakim.
Sedangkan Hara, mereka tak perlu bersusah payah menggeretnya karna Hara berjalan sendiri masuk ke mobil yang ditunjukkan Hakim.
Hara dan Dewi akan memasuki ruangan berbeda, sebelum membuka pintu mereka sempat beradu pandang sampai saat Hara mengangguk pelan sambil tersenyum Dewi mulai mau membuka pintu. Hara sempat menelan ludahnya, tenggorokannya sedikit tercekat kala itu.
“Kamu bilang kamu kenal sama korban?”
Hara mengangguk dalam tundukkannya.
Aslinya Hakim benar-benar penasaran dengan gadis bermata dingin itu, menurut yang sudah-sudah mata itu adalah mata pembunuh paling kejam yang Hakim ketahui.
Tapi hatinya berkata lain, itu adalah sorot mata penuh ketakutan, kesepian, amarah yang terpendam dan sorot mata yang meminta perlindungan.
“Siapa korban itu?” tanya Hakim lagi
“Teman SMP saya”
“Kamu dekat?”
Hara menggeleng
“Atau kamu pernah cek-cok sama dia?”
Hara mengangguk
“Kapan?”
“Saat SMP”
“Kamu bunuh dia? Karna kalian pernah bertengkar?”
Hakim menatap lekat pada gadis yang belum menaikkan wajahnya.
Hara sontak mendengus kecil menyunggingkan senyum dingin itu lagi.
“Nggak Pak”
Hara mengangkat wajahnya menatap binar mata milik Hakim.
“Panggil saya Kak aja, sebutan ‘Pak’ terlalu tua buat saya yang masih muda” setelahnya ia sedikit menggerutu sebabnya tadi di telepon ia disebut Kak dan kenapa tiba-tiba disini Hara menyebutnya Pak.
Hara tak menjawab itu, ia malah terus menatap Hakim dengan dingin.
“Kamu juga berbohong soal rumah Dewi, rumah Dewi bukan sekitaran situ kan?”
“Rumah Dewi sekitaran situ”
“Bohong, sebelum kamu menelpon saya, saya lagi ada di rumah Dewi. Dan bukan di sekitar situ”
“Yang Kakak datengin rumah orang tua nya ya?”
Hati Hakim mencelos saat itu dan benar juga, itu bisa dijadikan alasan.
“Lalu kenapa Dewi memberikan alamat itu saat interogasi tadi sore”
Hara mengangkat bahunya.
“Kamu ingat kucing yang mati tadi?”
Hara mengangguk
“Kamu ingat apa yang di pesan temanmu tadi sore?”
Hara kembali menatap Hakim sambil mengangguk ragu.
“Es matcha, carbonara sama kentang” jawab Hara
“Diperut kucing itu ada bau matcha.”
Hara terdiam sambil mengingat kembali apa yang ia lihat tadi sore dari mulai percikan merah, kertas note yang sama lalu ditambah fakta ini sungguh kebetulan.
“Kemungkinan darah dari kucing itu juga akan nyiprat kemana-mana, karna senjata pembunuh nya menggunakan benang”
Hara merasa nafasnya tersengal, merasakan sesak nya dalam dada yang amat memberatkan kepalanya. Membuat ia kembali mengingat noda merah di kemeja Dewi.
“Kamu tahu tidak kalo temanmu membunuh kucing dan orang barusan? Atau mungkin kamu tau kalo dia seorang pembunuh dan kamu ikut menutupinya?”
Sejujurnya Hakim bukan orang yang mudah menuduh saat masih dalam status penyidikan. Hanya saja ia ingin melihat ekspresi dari Hara, apa ia akan terkejut atau biasa saja.
Dan sejatinya Hara adalah orang yang tenang, seketika ucapan Hakim barusan tak menggertakkan hatinya, ia masih diam tak berkutik membuat Hakim lagi-lagi kebingungan ekspresi apa sebenarnya yang Hara keluarkan.
“Teman saya bukan pembunuh, dan saya juga bukan pembunuh” final Hara
Hakim meregangkan tubuhnya menyandarkan tubuhnya di kursi sambil mengusak wajahnya.
“Kim, ada tulisan ini di saku orang tadi”
Kala masuk dengan membawa secarik kertas yang sudah lecak.
Hakim membuka kertas itu dan membaca tulisan yang tampaknya ditulis dengan buru-buru karna tulisannya kurang terbaca.
...“...
...Hara, ini adalah contoh menghukum yang benar....
...Jangan biarkan orang jahat terus menerus menghukum mu, kali ini giliran kamu menghukum mereka....
...“...
“See, surat ini ditunjukkan buat kamu”
Hakim melempar kertas yang ringan itu ke hadapan Hara, dengan cepat Hara mengambil kertas tersebut karna penasaran mengapa ekspresi Hakim lebih serius dari sebelumnya.
Hara membacanya dengan alis yang berkerut, bukan hanya membaca kata-katanya ia juga membaca dan mengingat siapa yang memiliki gaya tulisan ini.
Hara menatap Hakim, kali ini dengan raut yang menyedihkan. Ia seperti kebingungan juga, ia takut, ia gelisah, dan benar seperti meminta perlindungan.
“Aku gak tau tulisan siapa ini”
“Jangan bohong Tahara!”
“Tulisan itu gak cukup buat nuduh aku dan temenku sebagai pembunuh”
Kala kembali masuk membawa sebuah ipad dan memberikannya kepada Hakim.
“CCTV ini bisa dijadiin barang bukti nggak, kalo sebenernya kamu terlibat?”
Hakim memberikan layar ipad itu pada Hara, ia menonton tayangan ulang CCTV dimana Dewi dan Hara yang tengah melangkah keluar dari rumah korban yang baru saja meninggal.
“Korban namanya Agri Reihan, siswa kelas 12 juga sama kaya kalian. Gak perlu saya jelasin lagi ya kan kalian pasti tahu”
“Apa yang belum kamu ceritakan disini?” lanjut Hakim
Hara jelas terdiam ia benar-benar tak tahu bahwa ada kamera yang merekam mereka berdua.
“Aku gak tau, karna aku cuma nganter Dewi”
Jawab Hara yang kini sudah menyandarkan dirinya di kursi. Hara benar-benar seolah menganggap enteng situasinya, terbukti dari gaya bicara yang kini sudah mulai melunak dan dari gerakannya yang terlampau tenang.
“Jelaskan lebih detail Tahara!”
Hakim sedikit meninggikan suaranya, karna sudah merasa kesal dengan tingkah Hara yang menyepelekannya.
Hara yang di sentak itu setelahnya menegakkan lagi tubuhnya, kembali dengan posisi semula yang menunduk dan memainkan kain rok nya.
Hakim memperhatikan dengan seksama betapa ia melihat bibir Hara yang gemetar, Hakim melihat mata Hara yang banyak melirik ke kanan dan kiri dalam tundukkan itu.
“Liat saya Tahara!” sentaknya lagi
Bahu Hara yang semula diam tiba-tiba ia lihat kini bergetar hebat, dengan perlahan Hakim melihat kepala itu terangkat mungkin akan menatap Hakim dengan tatapan yang lebih dingin lagi pikirnya.
Oh, tidak rupanya.
Hara mengangkat wajahnya berusaha mencari manik mata milik Hakim dengan pandangan yang sedikit kabur karna tertutup oleh gumpalan air mata yang belum turun. Dada nya kembang kempis dengan cepat, kepalanya pusing tak karuhan, tenggorokan nya benar-benar merasakan panas yang seperti akan meledak rasanya.
Sontak Hakim yang melihat nya ikut panik, ia menghampiri Hara sembari berjongkok di sisi kursi Hara
“Hei? Tahara, you okay?”
Lembut sekali di telinga Hara, ia menoleh ke samping melihat raut wajah Hakim yang sangat panik. Kali ini dalam hidupnya lagi Hara merasakan penting, karna tatapan panik bercampur hangat dari Hakim.
“K-kak”
“Ada yang sakit?” Hakim mengusap pundak yang masih bergetar itu
Hara memejam, membiarkan bulir air mata nya jatuh begitu saja. Setelahnya ia menghirup panjang nafas dan menghembuskannya perlahan meski dengan sedikit isakan.
“Bisa di lanjut?” tanya Hakim pelan
Hara mengangguk. Kali ini Hakim paham, Hara tak bisa di bentak.
‘Mungkin karna di rumah nya gak pernah di kasari’ batinnya
Hakim banyak merapalkan permintaan maaf untuk Hara namun hanya dalam hati, hanya dia dan tuhan yang tahu.
Sejatinya Hakim bukanlah seorang yang kasar, ia hanya berlagak agar penyelidikannya memiliki sedikit jalan keluar karna sedari tadi Hara tak banyak menyatakan apapun itu membuatnya kebingungan.
Setelah beberapa jam berlalu, Hara dan Dewi dibebaskan karna tidak adanya bukti lebih yang menyatakan mereka membunuh Agri Reihan itu.
Hara masih terduduk di bangku tunggu, menunggu temannya yang belum selesai.
Namun tiba-tiba sodoran gelas berisi kopi ada dihadapannya, ia mendongak melihat siapa pemilik lengan honey skin itu.
Oh, Hakim rupanya.
Setelahnya Hara menerima kopi itu dan menggeser duduknya agar Hakim juga memiliki ruang apabila hendak duduk.
Betul saja, Hakim mendudukkan dirinya di sebelah Hara sambil meminum kopi.
“Tadi dari tim kepolisian nelpon ke rumah kamu, buat kasih kabar kalo kamu dikantor polisi tapi katanya di rumah itu gak ada yang namanya Tahara. Kamu kasih alamat palsu lagi ke kita?”
Hara hanya memandangi kopi panas dalam cangkir plastik tanpa menjawab pertanyaan Hakim barusan.
“Saya harap kamu gak terlibat lagi dalam kejadian kaya gini, terlebih dengan sikap kamu yang enteng terkesan menyepelekan ini. Oh iya, jangan banyak bohong supaya gak merugikan nantinya” lanjut hakim
Tak lama Dewi memanggil Hara sambil melambaikan tangannya, ia menoleh ke arah nyaring tersebut melihat Dewi yang tersenyum ramah bahkan tengah berbincang pada beberapa petugas kepolisian.
‘Dewi memang ramah, dan seriang itu. Bagaimana mungkin, dia seorang pembunuh' batin Hara
Hara berdiri hendak berjalan untuk menghampiri Dewi yang sibuk tertawa dengan petugas lainnya. Namun langkahnya terhenti sebentar dan berbalik ke arah Hakim.
“Temenku udah selesai aku pamit dulu ya Kak. Oh iya, untuk alamat yang aku kasih itu bener alamatku kok Kak. Hanya saja orang rumah emang gak pernah anggep punya keluarga dengan nama Tahara” Hara tersenyum
“Oh iya, satu lagi deh. Jangan panggil aku Tahara ya, kata Papa ku nama itu penuh kesialan. Makasih kopi nya Kak Hakim.” Hara sempat tersenyum sedikit
Lalu berbalik meninggalkan Hakim yang masih tercengang tak paham maksud dari perkataan Hara barusan.
Beberapa menit ia mencerna kalimat Hara, barulah paham mungkinkah Hara anak yang tak diinginkan?.