Ritual yang dilakukan untuk menjadi penari yang sukses justru membuat hidup Ratri terancam, bagaimana nasib Ratri selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesajen dan perjanjian lama
Pagi menjelang dengan sunyi yang tidak wajar. Bahkan suara ayam jantan pun enggan terdengar. Ratri duduk di dapur bersama Aminah, menyeduh teh sambil merenungi malam sebelumnya. Perasaan lega semalam mulai tergantikan oleh kegelisahan yang pelan-pelan merayap.
Ustadz Subhan datang lebih pagi dari biasanya. Ia membawa selembar kertas tua yang berwarna kecoklatan, seperti lembaran lontar yang usang. Di dalamnya terdapat simbol-simbol kuno yang tidak bisa dibaca oleh orang awam.
“Apa ini, Pak Ustadz?” tanya Ratri sambil menyentuhnya dengan hati-hati.
“Ini adalah salinan dari perjanjian yang dibuat Rajiman dan beberapa sesepuh desa dengan makhluk halus penjaga tradisi Reog. Aku menemukannya dari seorang guru tua di luar desa. Ini bukan hanya legenda, Ratri. Ini perjanjian yang mengikat.”
Perjanjian itu mencantumkan aturan—bahwa setiap penari utama harus memberikan sesajen setiap malam Jumat Kliwon berupa darah ayam jago hitam, bunga tujuh rupa, dan asap dupa dari pohon randu yang tumbuh di dekat makam kuno.
“Jika tidak,” kata Ustadz Subhan, “maka kekuatan gaib yang selama ini menjaga si penari akan mencari gantinya… dan biasanya yang terdekat akan menjadi korban.”
Ratri tercekat. Herman. Ibu. Semua korban itu bukan kebetulan.
Ia berdiri. “Saya ingin memutus perjanjian ini.”
“Itu bukan hal sepele,” jawab Ustadz Subhan. “Memutus perjanjian berarti menantang kekuatan yang sudah diwariskan selama ratusan tahun. Kau harus menyiapkan ritual pemutusan yang tidak kalah kuat. Tapi sebelum itu… ada satu hal yang harus kau lakukan.”
“Apa itu?”
“Kembalikan semua sesajen terakhir ke tempat asalnya.”
---
Sore itu, Ratri dan Ustadz Subhan menuju hutan kecil di belakang desa. Di sana ada pohon randu besar yang sudah lama dianggap angker. Di sanalah selama bertahun-tahun, Rajiman dan ayah Ratri menanam sesajen sebagai bagian dari ritual pemujaan.
Dengan membawa kain putih berisi sisa-sisa sesajen: rambut, bunga, dan sebotol darah beku ayam jago hitam, mereka tiba di bawah pohon itu.
“Tanah ini tidak menerima sembarangan benda,” ujar Ustadz Subhan. “Tapi karena kau yang membawa dan kau juga yang akan menghentikannya, kita punya peluang.”
Ia menggali lubang kecil di bawah pohon. Ratri meletakkan sesajen di dalamnya satu per satu. Ketika ia memegang botol darah, angin tiba-tiba bertiup kencang. Pepohonan berderak, dan dari balik kabut tipis terdengar suara-suara samar.
“Kau melanggar perjanjian…”
Ratri menggigit bibirnya, lalu menumpahkan darah itu ke tanah. Tiba-tiba tanah bergetar. Asap hitam keluar dari lubang kecil itu, membentuk wajah yang menyeramkan. Mata merahnya menatap Ratri penuh kebencian.
“Tubuhmu milikku! Kau penari yang terikat!”
Ustadz Subhan segera mengangkat botol air zamzam dan memercikkannya ke wajah asap itu. Suara melengking terdengar, lalu bayangan hitam itu menghilang perlahan ke dalam tanah.
Ratri jatuh terduduk. Keringat dingin membasahi punggungnya. Tapi ia tahu—ini baru awal.
---
Malam harinya, Ratri bermimpi lagi.
Ia berada di sebuah panggung gelap. Tak ada lampu. Tak ada musik. Hanya suara napas dan langkah kaki. Dari bayangan, muncul perempuan bersanggul emas itu lagi. Tapi kali ini ia tak menari.
Ia berbicara.
“Jika kau menolak warisan ini… maka kau harus mengembalikan semuanya. Termasuk jiwamu yang telah ditukar.”
Ratri mencoba mendekat. “Apa maksudmu?”
Perempuan itu menunjuk ke arah rumahnya. Di sana, tampak Sugondo, ayahnya, sedang duduk diam. Tubuhnya penuh luka hitam. Matanya kosong.
“Ayahmu yang menukar jiwamu. Ia tahu kau tak akan selamat. Tapi ia tak peduli. Karena dalam Reog, kemegahan lebih penting dari darah.”
Ratri menangis dalam tidur. Ia ingin berteriak, ingin berlari, tapi tubuhnya kaku. Ia hanya bisa melihat… dan menyadari satu hal:
Perjanjian lama itu bukan hanya milik para sesepuh. Tapi juga milik darah dagingnya sendiri.
Ketika ia terbangun, suara gamelan kembali terdengar. Tapi kali ini, tidak dari luar rumah. Melainkan dari dalam tubuhnya sendiri.