kisah cinta anak remaja yang penuh dengan kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cilicilian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kafe
Setelah pertengkaran sengit di ruang UKS tadi, ketiga sahabat itu kini tengah duduk di dalam mobil milik Dela. Dela melajukan mobilnya meninggalkan area sekolah, awalnya mereka sempat meminta izin untuk pulang lebih awal, dan beruntungnya, bel pulang berdering tepat waktu, menjadi alasan yang sempurna bagi mereka untuk meninggalkan sekolah.
Suasan di dalam mobil terasa sangat sunyi seperti tak biasanya, hanya suara mesin mobil dan deru angin yang berdesir dari luar.
"Ra, Sell," suara Dela memecah keheningan, suaranya terdengar sedikit ragu-ragu, "kita mampir ke kafe Abang gue aja, ya? Gue laper banget nih." Ia mencoba untuk mencairkan suasana tegang yang masih menyelimuti mereka.
"Gue juga," sahut Sella, suaranya terdengar samar dari balik earphone yang masih terpasang di telinganya. Ia tampaknya masih tenggelam dalam musiknya sendiri, mencari pelarian dari ketegangan yang ada.
Dela menambah kecepatan mobilnya, mencoba untuk segera sampai ke tujuan. Di kursi belakang, Dara memejamkan mata, wajahnya tampak kelelahan dan terlihat pucat. Di sebelah Dela, Sella asyik dengan musik di earphone-nya, tampaknya ingin mengabaikan suasana tegang yang mengelilinginya. Ketiganya larut dalam pikiran masing-masing.
Tak butuh waktu lama perjalanan dari sekolah ke kafe itu, kini mereka telah sampai di tempat tujuan. "Sell, bangunin Dara, kelihatanya tuh anak tidur deh," ucap Dela, ia menunjuk ke arah Dara yang tertidur pulas di kursi belakang, wajahnya masih tampak pucat.
Sella melepas earphone-nya, melihat Dara yang tertidur lelap. Ia mengulurkan tangannya mencoba membangunkan Dara. "Ra, bangun Ra kita udah sampai."
Dara mendengar suara samar yang memanggil namanya. Dara mengerjapkan matanya secara perlahan, ia merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku karena tidur.
Ia menguap lebar, menutup mulutnya dengan telapak tangan. "Oh, udah sampai, ya?" suaranya masih terdengar serak karena kantuk. Ia mencoba untuk menegakkan tubuhnya yang terasa pegal.
Ketiga sahabat itu keluar dari mobil Dela. Suasana ramai di kafe itu langsung menyapa mereka. Hiruk pikuk aktivitas pengunjung membuat Dara sedikit pusing.
Denyutan tajam di pelipis Dara semakin terasa. Sakitnya menusuk, membuatnya refleks memegangi kepalanya. "Aww," rintihan pelan keluar dari bibirnya, suara itu terdengar seperti desahan menahan sakit.
Dela dan Sella, yang sedari tadi memperhatikannya, segera menyadari perubahan ekspresi Dara. Tatapan mereka berubah khawatir saat melihat Dara memegangi kepalanya dengan ekspresi menahan sakit. Kecemasan terlihat jelas di wajah kedua sahabatnya.
"Ra, lo kenapa?" Tanya Sella dengan rasa khawatirnya.
"Kepala gue pusing banget," jawab Dara, suaranya terdengar lemah. "Gue nggak suka tempat ramai." Ia terlihat menahan rasa sakit, tangannya masih memegangi pelipisnya.
Dela, yang memperhatikan ekspresi wajah Dara yang pucat, segera memberikan solusi. "Oke, kalau gitu kita langsung ke ruangan Abang gue aja, ya? Nanti makannya di sana." Ia berusaha untuk menenangkan Dara dan memberikan solusi praktis.
Dara mengangguk lemah, menyetujui usulan Dela. Rasa pusing yang menusuk di kepalanya semakin menjadi-jadi. Ia baru menyadari bahwa rasa sakit di kepalanya itu berasal dari benturan yang dialaminya pagi tadi, benturan yang sama sekali belum diobati. Peristiwa pagi tadi kembali menghantuinya, menambah rasa pusing dan mualnya.
Dara berjalan di antara Dela dan Sella, kedua sahabatnya menggandeng lengannya untuk menjaga tubuh Dara agar tidak terjatuh. Ia masih memegangi kepalanya, wajahnya pucat pasi, langkahnya tertatih-tatih. Pandangannya yang sayu tak lepas dari keramaian kafe yang terasa begitu menyilaukan dan membuatnya semakin pusing. Suasana ramai itu seperti bom waktu yang akan meletus kapan saja.
Ketiganya menyusuri lorong kafe yang luas, suara riuh pengunjung terdengar semakin dekat. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah ruangan khusus yang bertuliskan "BOS" dengan huruf kapital yang besar dan tegas.
Tanpa ragu, Dela langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan tersebut, Sella dan Dara mengikutinya dari belakang. Mereka tidak mengetuk pintu, karena mereka sudah terbiasa datang tanpa diundang.
Ruangan itu bernuansa gelap, berbeda dengan keramaian di luar. Seorang pria berbadan tegap duduk di balik meja besar, wajahnya tampak terkejut melihat kedatangan mereka yang tiba-tiba. Mereka segera membantu Dara duduk di sofa empuk yang ada di ruangan itu.
"Loh kalian?" tanya orang tersebut melihat kedatangan ketiga anak itu ke ruangan miliknya.
Tatapan matanya mengamati satu per satu wajah ketiga gadis itu. Ia menangkap raut wajah berbeda-beda. Kelelahan yang terpancar dari wajah Dara, kekhawatiran Sella, dan kecanggungan Dela yang berusaha menutupi rasa bersalah. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
Dela, dengan senyum sedikit canggung, menjawab, "Maaf, Bang. Kita nggak sempat ketuk pintu dulu." Ia berusaha menjelaskan situasi tersebut dengan nada yang ramah namun sedikit terburu-buru.
Orang itu Bos di kafe itu yang tak lain Abangnya Dela yang bernama Delino, biasa dipanggil Nino. Pria ini memiliki wajah yang tirus dengan rahang tegas dan hidung mancung. Ia memiliki rambut hitam yang disisir rapi ke belakang, memperlihatkan dahi dan garis rambutnya yang teratur. Ia mengenakan kacamata berbingkai tipis yang menambah kesan intelektual. Ekspresinya serius namun menarik, dengan tatapan mata yang tajam dan bibir yang sedikit terkatup. Kulitnya terlihat bersih dan cerah.
Memiliki postur tubuh yang tinggi dan langsing. Pakaiannya, berupa setelan jas abu-abu muda dengan rompi dan kemeja biru muda, menonjolkan bentuk tubuhnya yang proporsional. Bahunya terlihat lebar dan tegap, sementara pinggangnya ramping. Proporsi tubuhnya seimbang dan memberikan kesan yang elegan.
Keseluruhan penampilannya menunjukkan selera fashion yang tinggi, memberikan kesan modern, rapi, dan sangat elegan. Ia adalah definisi sempurna dari seorang pria yang sukses dan percaya diri.
Tatapan Nino kini beralih pada Dara yang tengah duduk di sofa, ia mengamati wajah pucat Dara dengan seksama. "Itu Dara kenapa?" tanya Nino, mencoba mencari penjelasan apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Dela, yang menyadari kekhawatiran Nino, langsung menjawab dengan sedikit ketus. "Dara pusing, jangan banyak tanya dulu Bang, kita butuh makan, terutama Dara!" Suaranya terdengar sedikit mendesak, menunjukkan kepanikannya akan kondisi Dara saat ini.
Nino mendekat ke arah Dara, ia duduk di samping gadis itu. Wajah pucat Dara semakin terlihat jelas di dekatnya. Dara tampak berbeda, wajahnya yang biasanya ceria kini terlihat lesu, mulutnya yang biasanya cerewet kini terkatup rapat, menunjukkan rasa sakit yang ia tahan. Hati Nino tersentuh melihat kondisi Dara. "Oke," katanya, suaranya tenang dan penuh pengertian, "Abang akan telepon waiters biar makanan kalian langsung diantar ke sini." Ia mengambil ponselnya, siap untuk memesan makanan agar Dara bisa segera mendapatkan tenaga.
Dela dan Sella memilih untuk duduk di sofa yang terpisah dari Dara, memberikan ruang bagi Dara untuk beristirahat. Keduanya terlihat sangat kelelahan, tubuh mereka tampak lemas, sama seperti Dara yang kembali memejamkan mata, mencoba untuk memulihkan tenaganya.
Nino mengamati Dara dengan penuh perhatian, jari-jarinya tanpa sadar mengusap telapak tangan Dara yang terasa hangat. Sentuhannya lembut, menunjukkan kepeduliannya yang tulus. Nino sudah menganggap mereka sebagai adiknya.
Suara ketukan pintu memecah kesunyian di ruangan itu. Nino segera membukanya, ternyata waiters yang tengah membawa makanan yang dipesannya tadi. Aroma makanan yang lezat langsung memenuhi ruangan.
Makanan itu disajikan di atas meja kecil di depan mereka. Sella dan Dela, yang juga lapar, segera mengambil makanan kesukaan mereka masing-masing. Mereka makan dengan tenang, sesekali melirik Dara yang masih terpejam.
Nino, dengan penuh perhatian, mengambil sepiring makanan kesukaan Dara. Ia tahu persis apa yang Dara sukai. Dengan lembut, ia membangunkan Dara, "Ra, bangun dulu, ya. Makan dulu biar kamu punya tenaga." Suaranya yang terdengar lembut, menunjukkan kepeduliannya pada Dara.
Aroma harum makanan kesukaannya, sesuatu yang selalu mampu membangkitkan selera makannya menembus indra penciuman Dara. Perlahan, ia membuka matanya, pandangannya masih sedikit kabur, namun aroma itu berhasil menarik perhatiannya. Makanan kesukaannya, disajikan di atas piring mungil, terlihat begitu menggugah selera di tangan Nino.
"Em, iya, Bang," jawab Dara dengan suara lemah, suaranya masih terdengar serak karena kelelahan.
Nino tersenyum lembut. "Nah, sekarang kamu makan, ya. Biar Abang yang suapin." Ia menawarkan diri untuk menyuapi Dara, menunjukkan perhatian dan kepeduliannya pada Dara.
Dara menggeleng pelan, menolak tawaran Nino. "Nggak deh, Bang. Aku makan sendiri aja." Ia masih merasa sedikit malu dan canggung.
Nino bersikeras, suaranya terdengar tegas namun lembut. "Diem. Biar Abang aja yang suapin, okey?" ucap Nino dengan penuh perhatian.
Dara, yang merasa sedikit risih namun juga nyaman dengan perhatian Nino, mencoba meraih sendok berisi makanan itu dari tangan Nino. Gerakannya masih lemah, menunjukkan kelelahan yang masih membebani tubuhnya. Namun, dengan sigap dan penuh perhatian, Nino menahan tangan Dara dengan lembut, mencegahnya mengambil sendok tersebut. Sentuhan Nino yang lembut namun tegas mampu menghentikan niat Dara untuk mengambil makanan itu sendiri
Sella, yang memperhatikan interaksi keduanya, menambahkan dengan nada bercanda, "Udah, Ra, biar Bang Nino yang suapin. Badan lo lagi lemes kayak ayam sayur." Candaannya mampu sedikit mencairkan suasana tegang yang sempat ada. Meskipun begitu, ada kepedulian yang tersirat dalam candanya itu.
Dara melirik Sella dengan tatapan tajam, sebuah kilatan amarah samar terlihat di matanya. Candaan Sella membuat dirinya kesal.
Berbeda dengan Sella yang masih terlihat jahil, Dela terlihat tenang menikmati makanannya. Ia mengunyah makanan dengan perlahan, tatapannya lembut, menunjukkan kepeduliannya pada Dara tanpa perlu kata-kata. Ekspresinya tenang dan damai, seolah menjadi penyeimbang suasana tegang yang ditimbulkan oleh tatapan tajam Dara dan candaan Sella. Ia seperti menjadi penghubung antara dua sahabatnya yang memiliki karakter dan emosi yang berbeda.