Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⁶ Rayuan di Anggap Guyonan
"Iya sih, dia cemburuan. Kalo tau kita sedang makan malam di sini. Pasti dia akan menodong mu."
"Waduh, senjataku cuma satu, belum pernah di kasih tumbal pula," kelakar ku.
"Ahahaa ...," perempuan berhidung bangir itu justru terbahak.
"Saya tadi udah pamit ke suami kalo mau belanja di antar Arif kok. Sedikit aneh sih. Biasanya dia melarang ku untuk berhubungan dengan pria lain, walau sopir taxi sekalipun, tapi kali ini kok dia membiarkan ku di bonceng kamu ya?" Mbak Rifani menempelkan jari-jari di antara bibir dan dagunya.
"Rif, jika nanti kamu udah menikah, trus hingga beberapa tahun belum juga di kasih keturunan, apa kamu akan mencampakkan istrimu?"
Dia mulai berbicara dengan nada serius lagi. Maka aku harus menjawabnya dengan serius pula.
"Enggak. Jika aku mau menikah nanti, maka tujuan menikah ku adalah untuk menyempurnakan agama. Jadi, jika pun belum di kasih keturunan, mungkin Tuhan belum memberi kepercayaan berupa anak kepadaku. Aku hanya perlu berusaha dan merayu Tuhan ku dengan lebih rajin lagi."
Jawabanku malah membuat perempuan anggun itu meneteskan air mata.
"Eh, loh, Mbak Rifani kenapa?"
Dia gak menjawab, malah semakin sesenggukan. Mungkin kah ini efek dari PMS? Yang ku tahu dari tik tik, PMS itu'kan terjadi sebelum menstruasi, tapi bukan nya Mbak Rifani tadi pagi sudah beli pembalut di warung Emak ya? Ah dah lah.
Aku jadi serba salah. Mau memeluk nya, tapi takut kalo jadi kecanduan. Mau ku biarin aja, tapi beberapa pasang mata tengah memelototi ku dengan penuh curiga. Pasti di kiranya aku baru saja melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Duh, rasanya kayak jadi terdakwa, ini mah.
Akhirnya ku beranikan diri untuk memapah Mbak Rifani. Menjauhkannya dari orang-orang yang kepo dengan urusan orang lain. Tempat makan di sini menggunakan sistem pembayaran di awal. Jadi kami gak akan di teriaki maling jika meninggalkan tempat ini begitu saja.
Tidak jauh dari tempat makan, ku lihat ada sebuah taman. Sepertinya, aku perlu menenangkan Mbak Rifani dulu di sana. Sesampainya di taman, kami duduk berhadapan lagi.
"Mbak, boleh gombalin, Mbak Rifani gak?" tanyaku ketika Mbak Rifani sudah bisa mengatasi kesedihannya.
"Gombalin apa? Mana coba?"
Dih, Mbak Rifani malah nantangin. Gas aja lah, siapa tahu Mbak cantik ini bisa ceria lagi setelah ku gombali.
"Walau esok pagi aku akan tenggelam, tapi percaya lah hari ini, esok, atau nanti aku akan mendatangi mu kembali, karena aku telah tercipta untuk mu."
Perempuan yang berstatus istri orang ini mulai tersenyum. Aku berpikir sejenak, mencari diksi yang pas. Entah kenapa kalimat ini yang ketemu.
"Ketika harap telah menyelimuti kalbu, semoga kamu tak hirap di makan waktu."
Asyik, senyum nya mulai lebar.
"Mbak, tau gak, apa bedanya kunang-kunang sama, Mbak Rif?"
"Apa?"
"Kunang-kunang bersinar di kebun tetangga, kalo Mbak Rif bersinar di hatiku. Awokawokawoo."
"Tau gak, Mbak, kenapa malam ini, begitu terang?" tanya ku lagi.
"Karena ada saya?" jawabnya yang bernada tanya.
"Karena kita sedang ada di taman kota, kalo lampu nya gak di nyalakan, keindahan taman gak akan terlihat. Hihi."
"Yaaah...." Perempuan itu nampak kecewa.
"Biar ku tebak, dua bulan lagi ultah nya Mbak Rifani, 'kan?"
"Loh, kok tahu?" Perempuan di hadapan ku mengernyitkan alis.
"Karena nama lengkap Mbak, Rifani Oktavia. Pasti lahirnya di bulan Oktober. Hehe."
"Yaaa ... jadi mudah ketebak ya? Haha."
"Mbak, tau gak, perbedaan umur kita berapa?"
"Berapa?"
"Satu tahun. Aku sembilan belas, Mbak, delapan belas," jawabku merayu.
"Salah." Kali ini, dia ngakak.
"Bener loh, coba lihat ini!" Ku tunjukkan jepretan hasil nyuri yang baru saja ku lakukan.
Mbak Rifani melongok demi melihat gambar yang ada di gawai. Setelahnya dia tersipu malu, pipinya memerah. Tadi aku sempat memfotonya ketika sedang tersenyum cerah.
Dalam waktu yang singkat, aku berhasil mengedit fotonya dengan fotoku, hingga kami terlihat seakan-akan sedang duduk berjejer.
Jam yang melingkar di pergelangan tangan menunjukkan pukul setengah sepuluh, ketika aku mengantar Mbak Rifani sampai ke depan pintu rumahnya.
Sesampainya di rumahku sendiri, aku langsung merebahkan diri di kamar. Sengaja mengunci pintu nya, sebelum Emak menghampiri dengan ribuan pertanyaan dan omelan.
Malam ini, untuk pertama kalinya aku begitu dekat dengan perempuan cantik itu. Aku merayunya habis-habisan, tapi perempuan itu hanya menganggapnya guyonan. Gak di tanggapi dengan serius, karena memang dia hanya menganggap ku seorang adik.
Syukurlah, jika dia beneran baper, bisa-bisa aku mendapat stempel pebinor sejati. Ah gila.
Mbak Rifani juga banyak bercerita. Katanya pernikahan mereka sudah berlangsung selama tiga tahun. Namun, akhir-akhir ini hubungan itu tak sehangat dulu. Apalagi ia sempat melihat sesuatu yang aneh dari dalam saku suaminya.
Sebuah parfum berkelas, keluaran luar negeri yang harganya cukup fantastis. Padahal, sebelumnya Mas Nata gak pernah suka menghambur-hamburkan uang. Jika pun membeli parfum, ya yang sewajarnya saja.
Ketika di tanyakan nya pada Mas Nata, suaminya itu menjawab jika parfum itu milik atasan yang tertinggal di sakunya. Suaranya sedikit bergetar ketika menjawab pertanyaan tersebut.
Dari situ, Mbak Rifani mulai menaruh curiga pada sang suami. Negative thinking nya keluar. Ia berpikir jika perubahan sikap suaminya di karenakan ia belum bisa memberinya keturunan, padahal sudah tiga tahun menikah.
Hari-hari setelah malam itu, hubungan ku dengan Mbak Rifani semakin dekat. Apalagi saat Mas Nata sedang keluar kota. Kemana-mana, perempuan kalem itu meminta ku untuk mengantarnya.
Dan sialnya, aku gak bisa menolak permintaan itu. Sudah seperti sopir pribadi saja. Bahkan aku pernah mencancel orderan pelanggan demi memprioritaskan Mbak Rifani.
Tentunya tanpa memberi tahu perempuan itu. Jika dia tahu, pasti akan mengomel dan gak jadi minta di antar.
Mbak Rifani memperlakukan ku dengan sangat baik. Malahan, bisa di bilang ... lembut. Seringkali dia memberiku perhatian lebih seperti perhatiannya pada Angga-adik kandung nya sendiri.
Menyemangati ku untuk rajin narik orderan penumpang. Katanya, aku harus rajin menabung, biar tahun depan bisa melanjutkan kuliah.
Dari banyaknya perhatian yang dia berikan, sepertinya aku mulai ngelunjak. Entah sejak kapan aku mempunyai perasaan sayang pada Mbak Rifani. Bukan lagi rasa sayang dari adik ke kakaknya, melainkan rasa sayang seorang lelaki dewasa kepada perempuan yang di sukainya.
Quote-indahnya cinta tak semanis namanya yang pernah ku dengar dulu, nyatanya sekarang malah menimpaku. Pada kenyataannya, cinta ini hanya bisa ku rasakan dalam hati saja, tanpa bisa mengungkapkan pada dirinya.