Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 32.
Kontras dengan suasana sakral saat pemberkatan nikah di gereja, resepsi digelar meriah di ballroom hotel bintang lima. Malik dan Anindya menjelma Raja dan Ratu sehari. Semula duduk di singgasana megah, lalu turun menyapa para tamu yang hadir.
Di pesta resepsi itu jugalah Anindya mendapat kesempatan untuk mengenal dan bertemu langsung dengan keluarga besar Malik. Di sana, dia baru tahu kalau Malik punya satu om dari pihak papanya yang masih betah melajang sampai umur 46 tahun. Beliau hobi traveling dan naik gunung. Katanya, agak merepotkan kalau punya pasangan sekarang karena kemungkinan besar akan sering cekcok kalau ditinggal-tinggal. Kecuali kalau mereka punya hobi yang sama. Namun sejauh ini, belum ada yang cocok.
Selain om yang belum menikah di usia matang, ada tantenya (dari pihak ayah juga) yang malah sudah punya empat anak di usianya 43 tahun. Beliau menikah muda di usia 19 dan langsung dikaruniai anak pertama di tahun kedua pernikahan. Meski begitu, beliau sudah sangat siap menjadi seorang ibu. Semua anaknya full ASI dan diasuh sendiri. Para baby sitter yang di-hire hanya membantu menyiapkan keperluan anak-anak.
Dua sosok itu berhasil menarik atensi Anindya daripada anggota keluarga yang lain, karena mereka tampak unik. Meski memilih jalan hidup yang berbeda, keduanya sama-sama saling mensupport. Tidak ada judging atas keputusan satu sama lain.
Si Om yang memutuskan melajang, menyayangi keponakannya sepenuh hati. Menghujani mereka dengan berbagai hadiah, menyempatkan diri berkunjung untuk sekadar bermain bersama, dan terkadang sampai meluangkan waktu datang ke sekolah untuk menghadiri acara-acara tertentu. Si Tante yang menikah lebih dulu, tetap menunjukkan hormat kepada abangnya. Tidak menyinggung perihal pernikahan, dan selalu memilih topik lain untuk dibicarakan baik ketika hanya berdua maupun saat kumpul keluarga.
Kepada Malik dan Anindya pun, Om dan Tante itu sangat baik. Kalau para Om biasanya suka bicara soal hal-hal menjurus ke arah 18+ dan Tante suka rempong menanyakan rencana punya anak kepada pengantin baru, Om dan Tante Malik ini sama sekali tidak menyinggungnya. Mereka malah lebih asyik membicarakan soal hal lain. Tentang hobi, tentang perkembangan teknologi, sampai sesekali kompak meledek Oma, menyuruhnya kawin lagi.
Di sepanjang acara, Anindya tidak bisa berhenti tersenyum. Apalagi saat memperhatikan Malik, lelaki itu terlihat lebih bahagia daripada hari-hari biasanya. Malik tampak akrab dengan semua anggota keluarga. Dengan keponakan perempuannya yang berusia 6 tahun, Malik bahkan tampak seperti sosok seorang ayah.
Gadis kecil bernama Rui itu lengket sekali pada Malik. Padahal, menurut yang Anindya dengar, mereka belum tentu bisa bertemu sebulan sekali karena Rui tinggal di luar kota.
“Pas baru lahir, Malik yang pertama kali gendong,” ujar mamanya Rui, namanya Stella. Stella ini adalah sepupu Malik dari pihak Oma. Mamanya Stella dan Oma kakak beradik.
“Papanya Rui dulu masih di London, kami LDM. Terus selama hamil ya Malik ini yang selalu penuhin semua ngidam aku. Makanya nggak heran kalau Rui lengket banget sama Malik.”
Satu cerita lagi, cukup membuat Anindya semakin terkagum dengan sosok Malik. Bibirnya tersenyum, matanya memandang jauh sosok Malik yang kini berada di meja seberang, asyik berbincang dengan seorang sepupu laki-laki. Lama-kelamaan, otaknya mulai traveling.
Dia membayangkan bagaimana care dan sayangnya Malik pada anaknya sendiri nanti. Tak terbayang jika anaknya perempuan, pasti akan begitu disayang dan diperlakukan bak princess. Semua maunya dituruti, tidak akan dimarahi, dan pastinya Malik akan sangat sabar menghadapi sifat manja serta doyan merajuk (Anindya asumsikan, anak perempuan mereka kelak akan mirip dirinya).
Lalu kalau anaknya laki-laki, pasti akan sering diajak hang out dan didandani dengan outfit kembaran. Selain itu, Malik sudah pasti akan mendidiknya menjadi seorang gentleman. Yang bisa menjaga dan menghargai perempuan, seperti yang Malik lakukan.
Oh, manis sekali!
Sedangkan di sisi lain, Malik juga masih sesekali curi pandang. Seperti hendak memastikan Anindya baik-baik saja dengan kehadiran keluarganya. Ia lalu menghela napas lega karena tampaknya Anindya bisa beradaptasi dengan baik. Yah, seperti seharusnya. Dia tak perlu mengkhawatirkan gadis itu terlalu berlebihan.
“Aku kira kamu beneran nggak bakal nikah, Mas.”
Malik hanya tersenyum. Dari semua sepupunya, cowok 17 tahun ini memang yang paling ceplas-ceplos dan berani. Jika yang lain masih terkadang segan mengorek informasi pribadi, maka Hugo (nama si sepupu) selalu jadi garda terdepan yang paling gagah mendobrak pintu hati Malik.
“Dulu Mas bilang mau jomblo sampai tua, biar bisa temenin Oma terus,” lanjut Hugo.
Malik menjawab, “Ya ini juga demi Oma.” Sambil matanya berkeliling mencari-cari keberadaan neneknya. Wanita itu ternyata ada di barisan bangku yang agak jauh, bersama mama dan papanya Anindya. Ada dua orang lagi di sana, laki-laki dan perempuan. Malik belum berkenalan, tapi kemungkinan besar bukan anggota keluarga, melainkan kolega papanya Anindya.
Hugo memandang ke arah lain. Dari matanya saja sudah kelihatan betapa ia mengagumi sosok Anindya, yang malam ini cantik dalam balutan ball gown warna champagne. Modelnya sederhana, tapi sudah cukup membuat Anindya bersinar di tengah gempuran outfit para tamu undangan yang cetar membahana.
“Sekalipun demi Oma, kalau orangnya bukan dia, aku rasa kamu nggak akan mau.”
Malik tersenyum sebelah, lalu menenggak champagne dari gelas tinggi. “Kenapa begitu?”
“Karena aku tahu banget gimana Mas Malik.”
Gelas diletakkan perlahan. Malik melipat tangan di depan dada, menatap Hugo penuh minat. “Emangnya gimana aku ini di mata kamu?” tanyanya.
“Suram,” celetuk Hugo.
Daripada kesal, Malik malah tertawa pelan. Tidak perlu membantah. Ucapan Hugo memang cukup layak diamini.
“Terus kamu lihat istriku bagaimana? Terang kayak bola lampu?”
Hugo menggeleng. “Dia itu cahaya ilahi,” cetusnya.
Tak tertahankan tawa Malik. Dari sekian banyak celetukan Hugo, yang kali ini benar-benar menggelitik.
“Mamamu memang bilang kamu lagi rajin ke gereja,” ucapnya seraya menyeka bulir bening di sudut matanya.
Hugo tampak tidak mengerti. “Apa hubungannya rajin ke gereja sama omonganku barusan?”
“Ya itu, jadi bawa-bawa cahaya ilahi. Nggak apa, walaupun asbun, paling nggak aku ngerti kamu nggak molor selama misa.”
Hati Hugo asyik mencibir, tapi bibirnya tetap diam. Obrolan mereka masih berkutat di sekitar gereja dan misa selama beberapa waktu. Kemudian geser ke topik lain, lalu geser lagi, terus geser seakan tak habis-habis.
Malam itu bagi Malik, daripada sekadar menjadi raja selama sehari, dia lebih merasa seperti diberi kesempatan untuk merasakan kehangatan keluarga besarnya lagi. Tidak melulu berkutat dengan pekerjaan atau banyak overthinking soal Oma.
Yah... Setidaknya untuk sementara. Sebagai bentuk pengalihan karena sebentar lagi...
Bersambung....