Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 INOVASI BARU
Tak terasa sudah lebih dari seminggu sejak pernikahan itu berlangsung. Tidak ada yang berubah. Hari-hari Zia masih dipenuhi rutinitas yang sama—ke kafe, lalu pulang ke Calligo. Namun sudah beberapa hari ini, ia tidak melihat Viren pulang. Calligo terasa semakin asing, semakin sunyi.
Hari ini hari Kamis. Zia memutuskan untuk tidak pergi ke kafe karena perutnya terasa sakit. Sejak semalam, ia hanya berdiam di kamar. Nyeri yang mendera membuatnya tidak bisa tidur dengan nyaman. Pagi ini, tubuhnya menggigil, suhu tubuhnya naik, dan rasa sakit di perutnya seperti menggerogoti dari dalam.
Ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Zia menoleh dengan malas. Emi masuk, membawa nampan kosong.
"Nona, Anda belum makan dari semalam," ujar Emi lembut.
Zia mengerang pelan sambil meringis. Rasa sakit kembali menghantam perutnya. Ia menggulung tubuhnya di bawah selimut.
"Nona kenapa?" tanya Emi, panik.
"Aku... datang bulan," jawab Zia lirih. Suaranya nyaris tak terdengar. Nafasnya berat dan tubuhnya menggigil.
Emi mendekat dan menyentuh kening Zia. "Astaga, Nona juga demam. Saya panggilkan dokter, ya."
"Tidak... usah," cegah Zia cepat. "Ambilkan air hangat saja, Emi."
"Baik, Nona," Emi mengangguk dan segera meninggalkan kamar.
Di lantai bawah, Emi hampir menabrak Jake yang baru saja masuk bersama Viren.
"Kenapa kau terburu-buru?" tanya Jake heran.
Emi menunduk sedikit, "Nona Zia sakit."
Viren yang baru masuk dan melepaskan jasnya, menoleh tajam ke arah tangga. Ia tidak berkata apa pun, hanya menaiki tangga dengan langkah panjang. Jas yang ia pegang dilemparkan ke atas kursi di koridor.
Ia membuka pintu kamar pelan. Zia tidak menoleh. Ia masih bergulung di balik selimut, membelakangi pintu.
"Ah, Emi, bisa masukkan air itu ke dalam botol?" ucap Zia lemah, mengira Emi yang masuk.
Tidak ada jawaban.
Langkah pelan mendekat ke sisi tempat tidur. Zia menoleh pelan. Matanya menangkap sosok Viren yang berdiri di sana.
"Kau kenapa?" tanya Viren, datar.
Zia meringis, lalu menjawab pelan, "Aku tidak apa-apa."
Tak lama kemudian, Emi datang dengan kompres dan semangkuk sup hangat. Matanya membelalak ketika melihat Viren berdiri di sisi ranjang.
"Tuan... sudah kembali?"
Viren mengangguk. "Sejak kapan dia seperti ini?"
"Saya tidak tahu, Tuan. Saat saya masuk pagi ini, Nona Zia sudah menggigil."
"Emi..."
"Iya, saya berikan sekarang." Emi segera menyodorkan kompres kepada Zia.
Viren hanya diam. Ia tidak berkata apa-apa, tapi juga tidak pergi. Pandangannya lurus ke arah Zia, seolah sedang menimbang sesuatu yang tak terucap.
Zia merasa canggung. Ia memalingkan wajah. Entah kenapa kehadiran Viren justru membuat detak jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena rasa nyaman—tapi karena ia tak tahu harus bersikap seperti apa.
"Aku hanya pengganti kakakku yang kabur entah ke mana," ucap Zia dalam batinnya.
Viren tidak berpindah. Sorot matanya tak berubah, tapi untuk sesaat, ada sesuatu yang melintas di wajahnya—entah itu rasa bersalah, atau sekadar kelelahan yang samar.
Setelah beberapa detik sunyi, ia akhirnya berkata pelan, "Kau harus makan."
Zia hanya mengangguk.
Viren berbalik dan berjalan pelan ke arah pintu. Sebelum keluar, ia menoleh sebentar, lalu pergi tanpa sepatah kata pun.
Zia menatap pintu yang tertutup. Rasanya aneh. Viren tidak peduli, tapi juga tidak benar-benar meninggalkannya. Ia hanya... ada. Dan kehadiran yang diam seperti itu justru membuat segalanya lebih sulit.
Ia menarik napas pelan dan membenamkan diri dalam selimut lagi. Tidak tahu harus menaruh hatinya di mana.
Tidak tahu... seberapa lama lagi ia harus tinggal dalam pernikahan yang terasa seperti ruang tunggu.
Zia memejamkan matanya, menanti suhu tubuhnya menurun, menanti rasa nyeri itu mereda. Tapi bukan hanya rasa sakit di perutnya yang mengguncang, melainkan rasa asing yang kembali menyesakkan. Bahkan setelah suaminya kembali, tak satu pun kata hangat terlontar.
Di lantai bawah, Jake sedang menyesap kopi saat Viren menuruni tangga.
“Dia baik-baik saja?” tanya Jake singkat.
“Ya,” jawab Viren dingin, lalu meraih map hitam yang sudah disiapkan Jake di atas meja. Ia mengenakan arlojinya, lalu melangkah ke pintu utama.
“Kau tidak akan bilang sesuatu padanya?” tanya Jake, sedikit lebih lirih.
Viren tak menjawab. Ia hanya membuka pintu dan melangkah keluar. Jaketnya mengepak saat angin pagi menyambut langkah cepatnya menuju mobil hitam yang sudah menunggu.
Supir sudah di balik kemudi. Mobil melaju tanpa banyak percakapan, menuju kantor pusat Kairotek Company—perusahaan teknologi raksasa yang menjadi topeng dari sesuatu yang jauh lebih kelam di balik layar.
Zia mendengar deru mesin itu dari balik jendela kamarnya. Ia tidak bangkit. Ia tidak menangis. Ia hanya diam... mencoba memahami bagaimana bisa pernikahan yang seharusnya berarti kebersamaan, justru membawa kesunyian yang lebih dingin daripada saat ia sendirian dulu.
Ia mengalihkan pandangan ke langit-langit. Entah kenapa, ia mulai menghitung...
Berapa lama lagi sampai pria itu benar-benar menganggapnya ada?
Suara dering ponsel memecah sunyi. Zia menariknya dari meja, membuka pesan baru.
^^^"Apa kau siap untuk^^^
^^^besok?"—Giin.^^^
Zia terdiam. Jemarinya menggantung di atas layar, ragu. Ia bahkan tak tahu apakah rasa nyeri ini akan mereda esok atau justru makin parah. Belum sempat membalas, ketukan pelan kembali terdengar di pintu.
Emi masuk, membawa nampan besar dengan aroma hangat yang langsung memenuhi kamar.
"Sudah lebih baik, Nona?" tanyanya, menatap Zia yang kini duduk bersandar sambil menekan kompres ke perut.
"Saya bawa bubur," lanjut Emi, meletakkan mangkuk itu di atas meja di samping tempat tidur, bersama potongan apel dan kiwi yang tampak segar.
"Terima kasih..." ucap Zia pelan.
Ia mendekat, aroma kaldu lembut dari bubur langsung mengisi inderanya. Uap hangat masih mengepul—jelas baru dimasak. Zia mengambil sepotong apel lebih dulu, lalu duduk sambil mengaduk perlahan isi mangkuk.
"Huh... huh..." Ia meniup perlahan suapan pertama, lalu memakannya perlahan, mengabaikan denyut nyeri yang masih terasa.
Sementara di Kairotek Langit masih pucat saat Viren melangkah masuk ke ruang rapat utama di lantai 21. Dinding kaca memperlihatkan siluet gedung-gedung tinggi, dan ruangan itu sudah dipenuhi beberapa orang penting—investor, penasihat keamanan, dan perwakilan pemerintah.
Jake bersandar di meja dengan map presentasi di tangannya. Ketika Viren tiba, semua mata langsung tertuju padanya.
“Terima kasih telah hadir siang ini,” suara Viren terdengar tenang namun penuh otoritas. Ia mengenakan kemeja gelap dengan dasi bercorak, wajahnya tenang, dan tatapannya menusuk.
Ia menekan remote di tangannya, layar besar di belakangnya menampilkan kata: SPEKTRA.
SPEKTRA – Next Generation Surveillance
“Bayangkan sebuah sistem pengawasan yang tak hanya merekam, tetapi juga mengidentifikasi, bahkan saat target menyamar. SPEKTRA adalah hasil pengembangan selama tiga tahun terakhir—menggabungkan pemetaan termal, pengenalan pola biometrik wajah tersembunyi, dan algoritma gerak tubuh.”
Ia menekan tombol lagi. Sebuah video demonstrasi diputar: seseorang masuk ke stasiun dengan topi dan masker. Kamera biasa menampilkannya sebagai pria anonim. Lalu, layar kedua dengan sistem SPEKTRA menunjukkan: Nama, usia, catatan kriminal, dan afiliasi organisasi.
Salah satu klien terperangah. “Dia pakai masker, bagaimana bisa…?”
“Melalui pemetaan titik tekanan wajah dan suhu otot bawah kulit,” jelas Viren. “Teknologi kami membaca kebiasaan unik setiap individu: cara berjalan, gerakan kepala, bahkan kecenderungan posisi tangan. SPEKTRA tidak bergantung pada wajah semata.”
“Fitur Unggulannya Antara lain: Satu, X-Vision Mode – melihat kontur tubuh di balik pakaian tertentu tanpa invasif, cocok untuk keamanan bandara dan lokasi publik." Ucapnya
"Dua, Adaptive ID Tracking – mengenali seseorang meski berganti pakaian, topi, atau menghindari kamera. Dan ketiga Predictive Threat Response – AI-nya mampu mengenali pola berbahaya, seperti orang yang menyembunyikan senjata, bom, atau menunjukkan perilaku mencurigakan berdasarkan detak jantung dan suhu tubuh."
Salah satu perwakilan keamanan negara bertanya, “Apakah ini sudah diuji di lapangan?”
“Sudah,” jawab Jake, “SPEKTRA berhasil mengidentifikasi dua buronan interpol dalam simulasi keramaian di pasar terbuka dengan tingkat akurasi 97.4%.”
“Privasi?”
“Privasi tetap dijaga,” lanjut Viren. “SPEKTRA hanya aktif dalam zona-zona yang ditentukan. Data mentah langsung dienkripsi dan dihapus dalam 72 jam kecuali jika ditandai sebagai ancaman. Kami juga membuka audit penuh untuk lembaga resmi.”
Salah satu investor mengangguk puas. “Berapa lama sampai produk ini bisa dipasarkan?”
“Dalam tiga bulan, versi pertama untuk area terbatas. Lalu distribusi global,” kata Viren.
Ia mematikan layar. “Ini bukan tentang mengawasi, tapi tentang mencegah. Dunia pasca-pandemi tidak butuh sistem yang menakutkan—ia butuh teknologi yang mengenali bahaya sebelum terjadi.”
Salah satu investor bertanya, “Bagaimana jika teknologi ini jatuh ke tangan yang salah?”
“Teknologi selalu netral,” jawab Viren. “Yang jahat hanyalah tangan yang mengendalikannya.”
Suasana ruangan hening sejenak, sebelum semua berdiri memberikan tepuk tangan.
Setelah sesi presentasi selesai, ruangan rapat dipenuhi obrolan rendah. Para pemegang saham, kepala divisi, dan beberapa investor saling bertukar pandang, sebagian sibuk membicarakan potensi pasar, sebagian lain sibuk menilai moralitas dari teknologi yang baru saja mereka lihat: SPEKTRA.
Viren berdiri di dekat dinding kaca, menghadap kota yang mulai dipenuhi cahaya senja. Jas hitamnya dilipat di lengannya, kemejanya masih rapi tanpa satu pun kerutan. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya—tajam dan penuh kalkulasi.
Jake menghampirinya. “Mereka mulai gelisah.”
“Aku butuh mereka tetap gelisah,” jawab Viren pelan.
“Investor dari Tiongkok dan Berlin bertanya soal batas etika. Mereka bilang sistem pengenalan wajah yang bisa menembus masker dan topi itu terlalu ekstrem.”
“Karena itu mereka akan membelinya sebelum orang lain melakukannya,” tukas Viren, tenang. Ia menoleh ke belakang, menatap ruang rapat. “Kita tidak menjual rasa aman. Kita menjual ketakutan. Dan orang akan membayar mahal agar tetap satu langkah di depan rasa takut itu.”
Samuel datang membawa tablet. “Data awal sudah masuk. Respons publik terhadap prototipe yang bocor kemarin malam positif, walau ada sedikit protes dari aktivis HAM.”
Viren mengangguk. “Biarkan mereka bicara. Kita butuh kontroversi untuk mempercepat adopsi.”
Jake tertawa kecil. “Kau benar-benar tahu cara membakar dunia tanpa menyentuhnya.”
“Dunia sudah terbakar,” balas Viren. “Aku hanya menjual cermin agar mereka bisa melihat apinya.”
Beberapa Saat Kemudian –Viren duduk di kursi hitamnya, di ruangan pribadi yang jauh dari hiruk-pikuk ruang rapat. Di mejanya, satu berkas bertuliskan SPEKTRA LEVEL-2 // INTERNAL ACCESS ONLY menyala samar dalam cahaya monitor.
Ia membuka file itu. Beberapa wajah muncul di layar—bukan hanya target kriminal. Tapi juga tokoh publik. Politisi. Wartawan. Bahkan seorang gadis... Zia.
Viren menatap foto itu lama. Zia sedang tersenyum dalam salah satu potret. Ia mengusap wajahnya, seolah ingin menghapus emosi yang muncul tanpa izin.
Jake masuk tanpa mengetuk. “Kita akan dapat konfirmasi pendanaan tahap dua besok pagi.”
Viren menutup file itu pelan. “Kita percepat produksi. Aku ingin distribusi awal dalam dua bulan.”
Jake tidak menjawab. Ia hanya diam, tahu bahwa kalimat itu lebih merupakan perintah pada diri sendiri daripada pernyataan objektif.
.
.
.
.
Terimakasih atas kunjungan serta dukungan kalian semua🤗Jangan lupa like dan juga komennya ya😘 karena itu bikin author semangat 🤗