NovelToon NovelToon
Benci Jadi Cinta

Benci Jadi Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Pernikahan Kilat / Menikah dengan Musuhku
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi rani

Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.

mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 6

Pagi yang cerah menyambut hari ini. Naira berangkat lebih awal sebab harus menjemput mamanya yang baru pulang kerja sif malam. Kurang sekitar tujuh menit dari jam pelajaran dimulai, Naira baru sampai di sekolah dan langsung memarkirkan motornya di parkiran khusus roda dua. Helm diletakkan pada setang motor, bersiap untuk masuk ke kelas. Namun, baru saja langkahnya terayun, seseorang menahannya.

"Nai, tunggu!"

Jelas saja Naira sangat mengenal suara itu. Dia menghentikan langkah, lantas menoleh ke arah si

pemilik suara.

Tampak di sana Artha berjalan dengan langkah lebar, sedikit berlari dan berhenti tepat di depan Naira. Tanpa banyak bicara, Artha menarik tangan gadis itu.

"Ini buat lo!" Sebuah kotak makan diletakkan Artha di atas telapak tangan Naira, membuat gadis bermata bulat mengerutkan kening.

"Gk usah ke-GRan! Nyokap maksa buat ngasih bekal buat lo."

"Oh," kata Naira singkat.

"Makasih. Tante Siena baik banget."

Artha menurunkan tangannya, tak ada niatan menanggapi perkataan Naira. Dia gegas berlalu meninggalkan sosok yang masih berdiri sembari

membawa kotak makan pemberian mamanya.

Siapa sangka kejadian itu disaksikan oleh sepasang mata yang menatap mereka dengan perasaan geram. Thalita yang juga baru datang melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang Artha rupanya diam-diam memberikan sesuatu pada Naira. Hal itu jelas membuat rasa

kesal di hatinya semakin menjadi-jadi

"Naira? Apa sih yang dilihat dari Naira?" gumamnya dengan mengepal tangan erat. Dia turut melangkah untuk bergegas ke kelas sebelum bel masuk berbunyi.

Hari ini adalah hari kedua bagi Artha belajar di sekolah baru. Semua berjalan baik, tidak ada hambatan. Sikap Artha yang selalu membangkang di sekolah lama tampaknya sudah semakin menurun melihat tidak ada bekingan yang bisa meringankan hukumannya di sekolah. Sampai saat pelajaran Matematika berlangsung.

Pak Malik, guru pria berkumis selalu menyisir rambutnya rapi belah samping. Beliau tiba-tiba mengadakan ujian dadakan. Sontak semua langsung berseru protes atas tindakan tidak berperikesiswaan itu.

"Kumpulkan tas kalian ke depan. Hanya boleh ada kertas kosong dan alat tulis di atas meja," perintah Pak Malik tegas yang disambut gerutuan para siswa.

"Dimas, yang dikumpulkan tas dan bukunya, bukan tas kosong!" Pak Malik menghardik saat melihat Dimas mengeluarkan buku pelajaran

dan menyimpannya pada laci.

"Astaga, ketahuan!" gumam Dimas kesal.

Sudah biasa menjadi predikat guru yang tak memiliki hati nurani. Seenaknya memberikan ujian dadakan, PR yang menumpuk layaknya renungan dosa, dan satu lagi, hafalan teori dan rumus sepanjang kenangan mantan.

Tidak ada pilihan lain selain menerima ujian dadakan dengan lapang dada. Pekara hasil mereka tidak ambil pusing. Ada anak pintar yang bisa dihardik untuk dimintai jawaban.

Satu per satu maju untuk mengumpulkan tas dan membiarkan satu lembar kertas dengan alat tulis di atas meja. Wajah Naira tampak pias saat mengumpulkan tas nya ke depan. Pelajaran Matematika merupakan salah satu pelajaran yang paling tidak disukainya selain Fisika dan Kimia. Dia juga bingung mengapa dulu mamanya memilihkan jurusan MIPA, padahal tahu sendiri jika otak anaknya pas-pasan.

Semua anak terlihat serius menekuri lembaran

soal ujian. Begitu juga dengan Artha dan Naira. Kening Naira berkerut dalam, beberapa kali menggaruk kepala yang mendadak gagal tanpa sebab. Dia sepertinya kesulitan dalam mengerjakan soal. Namun, hal berbeda terjadi pada Artha. Gerakan tangannya lincah ketika menjawab setiap soal yang ada. Otaknya sebenarnya cerdas, hanya saja terkadang tidak dipergunakan dengan baik.

Ujian berlangsung begitu menegangkan dalam kurung waktu tak lebih dari 45 menit. Pak Malik berjalan menghampiri satu per satu bangku para siswa demi menjemput paksa lembar jawaban mereka. Tak ada hati, itulah kadang sebutan untuk guru berusia kepala empat ini.

"Baru separuh yang dijawab?" tanyanya saat

melihat lembar jawaban salah seorang siswa.

"Waktunya kurang banyak, Pak. Coba waktunya ditambah sedikit lagi."

Dengan wajah masam, Pak Malik menanggapi perkataan siswanya.

"Mau dikasih waktu sampai hari kiamat pun, kalau kamunya gak belajar ya gak akan bisa."

Satu per satu lembar jawaban beralih ke tangan Pak Malik. Kondisinya hampir sama. Ada yang terjawab sebagian, ada yang terjawab hampir selesai. Namun, ada satu lembar jawaban yang terlihat begitu rapi dan mengerjakannya secara sempurna.

Pak Malik manggut-manggut ketika mengambil alih lembar jawaban milik Artha.

Suasana kelas masih hening karena jam pelajaran belum usai. Waktu tersisa 15 menit digunakan Pak Malik untuk memeriksa lembar jawaban dan memindahkan nilainya di data pribadinya. Kepala menggeleng saat memeriksa satu lembar jawaban yang nilainya buruk dari yang terburuk, lantas menyisihkannya di tempa yang berbeda.

"Thalita, bagikan lembar jawabannya kembali pada teman-temanmu!" perintah Pak Malik yang

langsung ditanggapi anggukan oleh Thalita.

Gadis yang memiliki postur tubuh cukup ideal itu beranjak dari duduk, lantas melangkah menuju meja guru, melaksanakan tugas yang diberikan oleh Pak Malik.

Semua lembar jawaban sudah dibagikan, hanya

ada empat orang yang sengaja ditahan oleh Pak Malik.

"Saya menyimpan empat lembar jawaban yang unik di sini. Ada yang nilainya sempurna, mendekati sempurna, hancur, dan sangat hancur."

Pak Malik mulai berceramah.

"Huuuuuuuuuu!" Suara para siswa langsung

bergemuruh di ruangan itu.

"Diam semua!" teriak Pak Malik. Kepalanya

menggeleng melihat sikap urakan anak didiknya.

"Kalian seharusnya malu karena tidak ada yang memiliki nilai sempurna di sini. Beruntung ada satu orang murid yang mendapatkannya. Kasih tepuk tangan untuk Artha Pradipta. Nilainya sempurna."

Tepuk tangan terdengar riuh. Semakin kagumlah para siswa perempuan terhadap sosok Artha. Sudah ganteng, tajir, pinter pula. Sungguh sempurna ciptaan Tuhan.

Artha maju ke tempat di mana Pak Malik berdiri, mengambil hasil ujiannya. Wajahnya biasa saja, hanya menyunggingkan senyum tipis ke arah guru Matematikanya tersebut.

"Nilai terbaik kedua diraih oleh ... Thalita." Pak

Malik melanjutkan.

Kembali tepuk tangan riuh terdengar di dalam kelas.

"Bener, kan? Gue sama Artha sebenernya pasangan serasi. Nilai aja sama bagusnya," celetuk Thalita membanggakan diri sebelum maju ke depan. Dia berjalan dengan senyum mengembang, merasa bangga karena namanya disandingkan bersama nama Artha.

"Tingkatkan lagi belajarmu agar bisa mendapatkan nilai lebih baik dari ini," kata Pak Malik sembari menyerahkan hasil ujian pada Thalita.

Thalita mengangguk.

"Itu sudah pasti, Pak." Dia menjawab dengan penuh keyakinan.

Hingga tinggal dua lembar jawaban berada di

tangan Pak Malik yang artinya adalah nilai yang

paling rendah dan terendah.

"Bapak tidak tahu lagi harus bagaimana menjelaskan. Padahal jika tidak mengerti kalian bisa bertanya. Bagaimana bisa nilai yang didapatkan sebegini mengenaskan." Lagi, Pak Malik menggeleng seraya mengembuskan napas berat.

"Pokoknya ulangan selanjutnya Bapak ingin kalian ada perubahan. Bukan yang nyaris nol seperti ini," kata Pak Malik sambil mengarahkan tatapan pada seluruh murid di kelas.

"Dimas, maju!"

Dimas sudah tahu bahwa ini bakal terjadi. Dia selalu apes menjadi bahan ejekan guru-guru dan teman-teman sekelasnya. Langkahnya gontai ketika berjalan ke depan dan berdiri tepat di depan Pak Malik.

"Nilaimu dua puluh lima."

Sontak mendengar perkataan Pak Malik, semua murid tergelak. Sungguh tega mentertawakan nasib teman sendiri.

"Terima kasih," ucap Dimas setelah menerima lembar jawaban miliknya.

"Belajar yang bener kamu. Jangan malas malasan!"

"Iya, Pak!" Dimas menanggapi dengan cepat.

Tidak ingin banyak membantah yang pasti akan

makin mempermalukan diri sendiri.

"Selanjutnya ... Naira Ayudhia."

Seketika itu juga Artha langsung menatap ke depan di mana Naira berada. Gadis itu terlihat menunduk saat semua mata menuju ke arahnya. Ragu, terlihat dari gerak tubuhnya saat berdiri yang kemudian maju menemui Pak Malik.

"Nilaimu lima belas." Pak Malik menggeleng.

"Ada apa denganmu? Mengapa mengerjakan hal

mudah seperti ini saja banyak salahnya?"

Naira menunduk. Dia cukup tahu diri karena memang paling payah dalam pelajaran seperti ini.

"Maaf, Pak!"

"Jangan cuma minta maaf. Belajar yang bener kamu!" tutur Pak Malik menasihati.

"Iya, Pak. Saya akan belajar lebih giat lagi."

Naira kembali ke bangkunya, tak ingin banyak membantah. Dia cukup sadar diri akan kemampuan sehingga lebih memilih diam, mengiakan setiap perkataan gurunya.

Ketika jam istirahat berlangsung, sekelompok siswa berkumpul di mading sekolah. Mereka tertawa renyah seakan melihat suatu hal yang lucu. Berniat ke kantin, Naira berjalan melewati

kelompok siswa itu. Dia tak ada keinginan untuk

mengetahui hal lucu yang sedang dijadikan bahan tertawaan teman-temannya. Namun, baru saja dia hendak menjauh dari area mading, suara Thalita mengalihkan perhatiannya.

"Hei, ini dia siswa yang memiliki nilai terbaik."

Perkataan Thalita ditanggapi dengan gelak tawa para siswa.

"Terbaik dari yang terbaik, ya?" celetuk yang lain. Bertambah ramai yang mentertawakan.

Awalnya Naira tak peduli. Akan tetapi, saat matanya melihat ke arah mading dia begitu terkejut menyaksikan lembar jawaban hasil ulangan matematikanya menempel di sana.

Merasa tidak terima, Naira memecah

kerumunan, mendorong tubuh siswa-siswa lain agar memberinya jalan.

"Bagaimana rasanya menjadi siswa terpintar?"

ujar Thalita sengaja menyindir Naira.

Tangan Naira menengadah ke atas di depan

wajah Thalita.

"Mana kuncinya?"

"Buat apa?"

"Gue bilang mana kuncinya?" Naira meminta kunci Mading.

"Lo nggak malu apa bikin pengumuman kek gini? Lo pikir ini lucu? Kampungan!"

"Lo berani ngatain gue kampungan? Sadar diri

lo!" Vania geram.

Di situasi seperti ini pun Naira masih bisa membalas perkataannya.

"Lo yang sadar diri! Apa maksud lo nempelin

hasil ujian gue di sini? Maksud lo apa? Hah?"

"Terserah gue! Mading-mading gue!" Thalita nyolot. Jelas saja dia tidak mau kalah dengan Naomi. Dia wakil ketua OSIS, sementara Naira hanya siswa miskin bego dan nggak punya otak.

"Mading lo? Ngimpi lo? Kelamaan tidur itu bangun. Udah siang, woy!" Walaupun dirinya

miskin, pantang bagi Naira direndahkan.

"Dasar lo belagu! Udah miskin, bego, enggak ada otak!" Thalita menarik rambut Naira sambil mengumpat. Dia teramat geram dengan sikap Naira yang dianggap angkuh. Seharusnya ini adalah waktu yang tepat mempermalukan gadis itu di depan semua orang. Biar Artha juga malu jika berdekatan dengan Naira.

"Apaan sih lo! Sakit tahu!" Naira meringis, berusaha melepaskan tangan Thalita dari rambutnya. Sayangnya hal itu tak dihiraukan Thalita. Setelah puas membuat rambut Naira acak-acakan, Thalita mendorong tubuh Naira. Namun, ketika tubuh gadis yang sejak tadi dipermalukan terhuyung ke belakang, sebuah lengan menahannya.

"Artha!" Thalita berkata lirih, tak menyangka jika

Artha membantu Naira. Seharusnya dirinya saja tadi yang terjatuh, bukan Naira. Mengapa

keberuntungan selalu terjadi pada gadis itu?

Setelah Naira berdiri, Artha melihat apa yang sejak tadi diperhatikan oleh teman-temannya. Thalita tersenyum, sementara Naira menunduk.

"Lo lihat sendiri, kan? Dia itu nggak punya otak," kata Thalita dengan penuh penekanan. Bukannya menanggapi perkataan Thalita, Artha justru

menanyakan hal lain.

"Mana kuncinya?"

"Apa?" tanya Thalita tak percaya.

"Gue tahu lo yang ngurus Mading ini. Mana

kuncinya?"

"Ta!"

"Gue bilang mana kuncinya? Lo budeg?" bentak Artha yang langsung membuat wajah Thalita memerah. Berniat mempermalukan Naira, justru dirinya yang dipermalukan. Dengan berat hati

Thalita menyerahkan kunci Mading itu pada Artha.

Artha menerimanya, langsung membuka kaca Mading dengan menggesernya. Hasil ulangan Naira dicabut dari sana, lantas berbalik untuk

melangkah ke arah Naira.

"Lo nggak malu punya nilai serendah ini?

Harusnya lo malu punya otak pas-pasan kayak gitu."

Naira menatap tajam Artha. Tadinya dia mau berterima kasih karena merasa dibantu, tetapi mulut pria itu ternyata menyebalkan. Naira langsung menyambar kertas ujiannya dari tangan Artha.

"Gue nggak malu," ucap Naira yang langsung berlari meninggalkan Artha.

1
Indriani Kartini
lanjut thor
karina
up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!