NovelToon NovelToon
Kabut Cinta, Gerbang Istana

Kabut Cinta, Gerbang Istana

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Murni / Fantasi Wanita
Popularitas:855
Nilai: 5
Nama Author: souzouzuki

Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.

Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.

Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.

Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Yang Dipeluk Bukan Kuda

“Lian He, bawa surat ini ke Kepala Kasim Kaisar. Suruh dia bacakan langsung pada Paduka... setelah gejala muncul.”

“Dan gadis itu?” tanya Lian He.

Jing Rui terdiam sejenak.

“Kalau dia cukup kuat untuk duduk... dia akan bicara sendiri.”

“Kalau tidak?”

Jing Rui melirik. “Aku yang akan bicara. Tapi aku harap bukan aku saja yang menyuarakan kebenaran.”

Lian He hendak membungkuk dan keluar, namun Jing Rui menambahkan cepat, nadanya lebih pelan:

“Dan pastikan... kuda itu benar-benar ada di barisan belakang.”

“Jangan biarkan siapa pun... berpikir bahwa aku hanya membawa rumor.”

---

Langit sudah cerah sepenuhnya ketika Parade Panen dimulai di pelataran timur istana. Spanduk-spanduk merah tergantung di setiap gerbang, menari pelan tertiup angin. Barisan prajurit kehormatan dan dayang elit berdiri rapi di sisi-sisi panggung kehormatan, sementara para pejabat tinggi dan bangsawan duduk berderet di tribun sisi kanan.

Di tengah lapangan utama, para pangeran yang diundang mulai menyiapkan tunggangan masing-masing.

Namun satu hal menarik perhatian banyak mata: kuda pemberian Kaisar, seekor jantan putih besar dengan tanda hitam di kaki kiri, tidak berada di barisan depan. Ia justru ditambatkan jauh di barisan belakang, dijaga dua penjaga kuda bersenjata dan seorang tabib yang berdiri siap-siaga.

“Aneh,” bisik salah satu bangsawan. “Bukankah itu kuda pilihan Kaisar untuk Parade kali ini?”

Di atas panggung utama, Kaisar sendiri memperhatikan dengan dahi sedikit mengernyit.

Pangeran Pertama sudah berdiri gagah dengan jubah keemasannya, menaiki kudanya lebih dulu. Ia menyapa ke arah para menteri dan keluarga bangsawan.

Di sisi kiri, barulah Jing Rui muncul, berjalan tenang di tengah lapangan, mengenakan jubah biru gelap beraksen perak.

Kuda yang ia tunggangi bukan kuda istimewa dari Kaisar, tapi kuda hitam biasa yang tampak kokoh namun tidak menonjol.

Ketika ia sudah hampir tiba di hadapan panggung kehormatan, suara Kaisar terdengar dari atas.

“Pangeran Keempat,” panggilnya.

Semua mata menoleh.

Jing Rui menunduk hormat dari atas kudanya. “Ya, Ayah?”

“Kuda itu…” Kaisar menunjuk ke arah kuda putih yang ada di barisan belakang. “Kenapa kau tidak menggunakannya? Itu hadiah pribadi untuk Parade ini.”

Hening menyelimuti lapangan.

Jing Rui menunduk sekali lagi, suaranya tenang namun jelas.

“Mohon maaf, Ayah. Saya tak ingin membahayakan keselamatan siapa pun… atau membuat malu keluarga kerajaan.”

Kaisar mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”

Di saat yang sama, suara gaduh terdengar dari sisi barisan belakang.

Kuda putih yang sebelumnya ditambatkan kini meringkik keras dan mengangkat kaki depannya—liar dan mulai tak terkendali. Dua penjaga kuda berusaha menenangkan, namun kuda itu mulai berputar panik dan mengibas liar. Salah satu tabib langsung bergerak, menyuntikkan ramuan penenang yang sudah disiapkan lebih awal.

Desas-desus mulai terdengar dari penonton.

Kaisar menegang.

Jing Rui menatap ke arah panggung. Suaranya masih tenang, tapi tajam:

“Kuda itu… telah disabotase.”

Kaisar berdiri dari tahtanya. “Apa?”

“Pakan kuda itu dicemari zat yang bisa membuatnya mengamuk tepat saat parade dimulai. Jika saya menungganginya... mungkin saat ini, ada yang terluka. Atau mati.”

Para menteri mulai saling menoleh. Beberapa bangsawan perempuan menutup mulutnya, terkejut.

“Siapa yang berani melakukan hal seperti itu?” tanya salah satu pejabat tinggi.

Jing Rui menoleh ke arah penjaga gerbang. “Bawa saksinya ke sini.”

Yu Zhen muncul dari sisi kiri, didampingi dua pelayan dan seorang pengawal perempuan. Wajahnya masih pucat, tapi langkahnya cukup mantap. Ia mengenakan seragam dayang bersih dan rambutnya dikunci sederhana.

Kaisar menatap bingung. “Dayang?”

“Seorang saksi, Yang Mulia,” jawab Jing Rui. “Ia melihat pelaku menyelinap pagi tadi, membawa ember mencurigakan ke jalur luar kandang.”

Yu Zhen menunduk dalam-dalam, lalu menarik napas pelan sebelum mulai bicara. Suaranya tenang, tapi cukup jelas untuk terdengar oleh semua yang hadir di lapangan.

“Ampun, Yang Mulia,” ucapnya. “Saya hanya akan bicara sesuai apa yang saya lihat.”

Ia mengangkat wajah sedikit, tapi tidak menatap langsung ke Kaisar—hanya menatap ke depan, lurus, tanpa gentar.

“Pagi tadi, saya mendapat tugas membersihkan jalur luar kandang kuda, dari gerbang timur sampai pagar belakang. Saat saya sedang menyusun jerami, saya melihat seseorang lewat di lorong samping gudang.”

“Saya tidak melihat wajahnya jelas. Tapi orang itu memakai penutup kepala, dan membawa ember besar. Langkahnya cepat… dan sembunyi-sembunyi. Tidak seperti pelayan atau penjaga biasa.”

Yu Zhen berhenti sejenak. Hening menyelimuti pelataran. Ia melanjutkan:

“Dia meletakkan ember itu di dekat kandang kuda putih… yang diberi tanda di kaki kirinya. Saya tidak tahu itu kuda milik siapa, tapi baunya… aneh. Tidak seperti pakan biasa.”

“Saya tidak berani menyentuhnya. Tapi saya mengingatnya.”

Ia menunduk lagi.

“Kemudian... saya diserang. Dari belakang. Tapi sebelum saya sempat menjerit, seseorang datang lebih dulu.”

Yu Zhen tampak ragu. Pandangannya menyapu perlahan, lalu berhenti pada sosok pria berjubah biru gelap di sisi lapangan.

Ia menunjuk perlahan—sopan, dengan telapak tangan terbuka.

“Beliau.”

Hening sesaat.

Yu Zhen membuka mulutnya lagi—mungkin seharusnya berhenti di situ. Tapi... kebiasaan bicara jujurnya seperti mengambil alih.

“Saya tidak tahu beliau siapa. Tapi waktu itu... beliau datang sendiri. Bahkan sebelum para penjaga.”

Suasana makin hening. Wajah bangsawan-bangsawan perempuan mulai menegang… atau berbinar.

“Dan saat saya sadar… saya masih berada di dalam pelukan beliau.”

"Khmm!"

Itu suara Lian He yang tiba-tiba batuk pelan di barisan belakang. Entah karena tenggorokan gatal… atau karena mendengar kalimat itu terlalu langsung.

Beberapa pejabat laki-laki mulai saling melirik.

Sementara Jing Rui hanya menatap lurus ke depan—wajahnya tenang seperti biasa. Tapi semua orang tahu… pipinya sedikit lebih hangat dari matahari pagi.

Yu Zhen baru sadar apa yang baru saja ia katakan.

Wajahnya langsung memanas.

Ia buru-buru membungkuk lebih dalam. “M-maaf… maksud saya… saya tidak bermaksud—saya hanya jujur. Saya hanya menyampaikan kejadian sesuai—”

“Tutup saja, Zhen,” batinnya sendiri menjerit, “kau sedang bersaksi di depan kaisar, bukan berbagi diary!”

Kaisar menatapnya… lalu menatap putranya.

Di antara tatapan itu, Jing Rui akhirnya bicara. Suaranya datar, tapi nyaris terdengar seperti menahan napas.

“Saksinya sudah cukup jelas.”

Lalu ia mengangkat tabung surat dari lengan jubahnya dan menyerahkannya ke Kepala Kasim. “Dan ini... pengakuan dari salah satu pelaku, ditemukan terselip pada lengannya. Namun ia, sudah bunuh diri.”

Kepala Kasim Kaisar membawanya ke atas panggung. Saat Kaisar membaca, suasana lapangan kembali tegang.

Akhirnya, Kaisar menatap tajam ke bawah.

“Lencana ini milik pengawal Kediaman Timur. Dan surat ini… menuduh orang dari dalam keluarga sendiri.”

Semua orang tahu siapa yang dimaksud.

Wajah Pangeran Pertama berubah sedikit, tapi ia buru-buru menunduk. “Ayah… ini pasti fitnah.”

Namun sebelum ia melanjutkan, Kaisar mengangkat tangan.

“Diam.”

Ia berdiri. Tatapannya menelusuri seluruh kerumunan.

“Keadilan… dimulai dari dalam istana. Siapa pun yang menyentuh kehormatan keluarga ini demi ambisi, akan dihukum. Termasuk... darah daging sendiri.”

Pangeran Keempat hanya menunduk.

Di sisi lapangan, Yu Zhen masih berdiri diam.

Namun saat pandangan Jing Rui sempat menoleh ke arahnya… keduanya bertemu pandang.

Tak perlu kata apa-apa. Hanya anggukan dan senyum kecil tanda terimakasih dari Jing Rui, nyaris tak terlihat.

1
Arix Zhufa
pasti paman nya Yu zhen
Arix Zhufa
semangat thor
Arix Zhufa
saya mmpir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!