NovelToon NovelToon
Cinta 'Terkontrak'

Cinta 'Terkontrak'

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Romansa / Slice of Life / Chicklit
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Luckygurl_

Senja Maharani, seorang sekretaris muda yang cerdas, ceroboh, dan penuh warna, di bawah asuhan Sadewa Pangestu, seorang CEO yang dingin dan nyaris tak berperasaan. Hubungan kerja mereka dipenuhi dinamika unik: Maha yang selalu merasa kesal dengan sikap Sadewa yang suka menjahili, dan Sadewa yang diam-diam menikmati melihat Maha kesal.

Di balik sifat dinginnya, Sadewa ternyata memiliki sisi lain—seorang pria yang diam-diam terpesona oleh kecerdasan dan keberanian Maha. Meski ia sering menunjukkan ketidakpedulian, Sadewa sebenarnya menjadikan Maha sebagai pusat hiburannya di tengah kesibukan dunia bisnis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Malam keputusan

Mendengar berita yang baru saja Maha ucapkan padanya, benar-benar membuat Niken terkejut bukan kepalang. Bagaimana bisa, dan apa yang diinginkan Sadewa pada sahabatnya itu. Niken buru-buru menutup mulutnya, tapi tatapannya tak kalah heboh. Ia kembali mendekatkan wajahnya ke Maha.

“Emang dia pikir kamu siapa, artis sinetron? Kok segitunya sampai sampai ngajak kamu jadi pasangan pura-pura?” Bisik Niken. “Gila, aku kaget banget. Tapi kenapa harus kamu, ya? Emangnya cowok sekelas Sadewa itu nggak punya cewek apa, ya? Mustahil banget nggak, sih,” lanjut Niken, keningnya mengerut, sementara matanya menyipit seolah sedang mencoba memecahkan teka-teki rumit.

Maha menundukkan kepalanya. “Aku juga mikir kayak gitu, Ken. Padahal kelihatannya, Sadewa, tuh tipe pria yang gampang banget dapetin cewek. Tampan, kaya juga dewasa. Wanita mana, sih, yang nggak bakal terpesona sama dia? Bahkan mungkin, hanya dengan mengedipkan mata, wanita separuh kota ini juga bakal meleleh,” ujarnya.

Niken mengangguk setuju. Tapi, tatapannya tetap penuh rasa tak percaya. “Terus? Kenapa dia sampai ngejar kamu?”

Maha mengangkat bahu, frustasi. “Aku juga nggak ngerti, Ken. Dan yang lebih parahnya, dia ngancem aku,” suaranya mulai bergetar. “Sadewa bilang kalau aku nolak bantuin dia, gajiku bakal dipotong lima puluh persen,” kata-katanya keluar seperti desahan lelah yang tertahan selama berjam-jam.

Niken langsung membelalakkan matanya. Ekspresi seakan mendengar kabar bahwa dunia akan kiamat besok pagi. “Apa! Dia bilang apa?!” pekiknya, tak mampu menahan keterkejutannya. Suaranya menggema hingga beberapa orang disekitar menoleh ke arahnya.

Plak!

Maha menepuk kening Niken dengan telapak tangannya, cukup keras hingga membuat sahabatnya itu meringis. “Astaga, bisa nggak pelanin suaramu, Ken?! Semua orang disini nggak perlu tahu masalahku,” gerutu Maha, wajahnya memerah karena malu.

“Sorry…” Niken mengusap keningnya yang masih terasa panas. Tapi ia benar-benar sangat penasaran, dan kembali mendekatkan wajahnya pada Maha. “Tapi seriusan, Maha? Sadewa sampai ngancam gaji kamu? Itu gila, sih! Kalau dia bukan bos, udah aku laporin ke polisi,”

“Terus ini aku harus gimana, Ken?” Maha merengek kesal. “Kamu bayangin misalnya aku nolak, Ken? Potongannya lima puluh persen, anjir! Sadewa, tuh, bener-bener nggak ngotak!” Tangannya ia remas, sementara kepalanya berdenyut hebat seolah memprotes semua tekanan yang harus dihadapi.

Niken terdiam, ia menatap sahabatnya yang tampak seperti kapal yang nyaris karam ditengah badai. Matanya menyipit, tanda tengah memutar otak untuk menemukan jalan keluar. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, akhirnya ia angkat bicara.

“Menurutku, kamu terima saja tawaran Sadewa. Kalau dipikir-pikir, dia pasti kasih kamu kompensasi, Maha. Nggak mungkin, dong, dia minta bantuan dari kamu tanpa imbalan apa-apa? Logisnya, sih, gitu. Tapi… ya, semuanya balik ke kamu. Cuma… kamu yakin, sanggup kehilangan setengah gajimu? Apalagi kerja di perusahaan Angkasa Corporation, tuh, nggak gampang, ‘kan?”

Maha terdiam, kata-kata Niken menohok nya. Betul juga, Sadewa nggak mungkin semata-mata memanfaatkan orang tanpa menawarkan sesuatu yang sebanding, pikirnya. Tapi, tetap saja ada rasa enggan yang menggumpal di dadanya.

“Tapi, kalau nggak ada imbalannya, gimana?” Cetus Maha akhirnya.

Niken mengangkat bahunya dengan santai, tapi ekspresinya serius. “Ya udah, resign aja. Mau gimana lagi? Daripada hidupmu tambah ribet, mending cari tempat kerja baru yang bosnya lebih waras.”

Maha mendesah berat, bahunya turun bersamaan dengan punggungnya yang kini ia sandarkan sepenuhnya pada kursi. Matanya menatap kosong langit-langit kantin, sementara pikirannya melayang jauh.

“Aku bingung, Ken. Di satu sisi aku mikir, kalau misalnya aku nolak, masa depan karirku disini tamat. Tapi sisi lain, aku nggak yakin bakal sanggup jalanin permintaan Sadewa. Ini, tuh, bukan sekedar pura-pura, aku rasa bakal ada resiko besar yang menunggu di belakangnya,” Ucapnya lirih.

“Iya, aku ngerti kok, Maha. Berat, ya?” Kata Niken lembut, ia memandang Maha dengan tatapan iba. Lalu menepuk tangannya pelan. “Tapi kamu harus ingat, kamu lebih kuat dari apa yang kamu pikirkan. Apapun keputusanmu, aku disini buat dukung kamu.”

Maha tersenyum tipis, meski matanya menyiratkan keraguan. Ia tahu keputusan ini akan menjadi salah satu persimpangan terbesar dalam hidupnya, dan ia belum yakin apakah ia siap untuk melangkah.

...****************...

Malam yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Setelah percakapan panjang dengan Niken tadi siang di kantin. Maha kini berdiri diambang keputusan besar dalam hidupnya. Waktu seolah berjalan begitu cepat, dan saatnya untuk menghadapi tantangan itu pun datang.

Maha menatap jam tangannya yang kini menunjukan pukul 19.00, membuat detak jantungnya semakin cepat, pun tangannya gemetaran. Meskipun ia sudah menyiapkan dirinya, tapi rasa cemas tak bisa hilang begitu saja.

Dengan satu tarikan nafas panjang, Maha menatap pintu besar di depannya. Pintu yang menjadi gerbang untuk mengubah arah hidupnya. Ia menelan ludahnya, mencoba menenangkan diri.

Apapun yang terjadi malam ini, aku harus siap. Ini keputusan terbaik untuk hidupku. Ucap Maha dalam hati.

Sementara itu, Sadewa duduk di kursi kebesarannya dengan punggung tegak, sedikit menyunggingkan senyum ketika ia mendengar langkah sepatu hak tinggi yang khas mendekat dari luar ruangan. Suara derap heels itu semakin jelas, menandakan Maha sudah tiba.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan itu terdengar menggema di dalam ruangan yang tenang. Sadewa menggerakkan kursinya dengan perlahan, membalikkan tubuhnya untuk menyambut kedatangan Maha. Senyumnya tetap terpampang, tapi kali ini, senyum itu lebih mengarah pada ketertarikan yang sulit disembunyikan.

“Masuk…” titah Sadewa, suaranya terdengar dalam menembus kesunyian, begitu berwibawa. Namun, tetap memiliki nuansa kehangatan yang memanggil.

Pintu terbuka, dan Maha melangkah masuk dengan langkah pelan namun penuh keyakinan. Begitu berada di depan meja Sadewa, ia menghentikan langkahnya, menatap pria itu dengan perasaan yang was-was.

Sadewa menatap Maha dengan seksama, matanya menyelidik, mengagumi sosok yang kini berada di depannya. Penampilan Maha masih terlihat sempurna, meskipun sudah memasuki jam pulang kerja. Blus simpel yang Maha kenakan, memberi kesan keanggunan yang tak terbantahkan. Rambutnya tergerai lembut, dan mata yang memancarkan ketegasan—semua membuat Sadewa merasa seolah tidak bisa berhenti memandangnya.

Maha memang selalu mempesona, setiap detail tubuhnya, setiap gerakannya, memiliki daya tarik yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sadewa tahu, ada sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan begitu saja dari Maha. Bukan hanya wajah cantik gadis itu, tetapi sikapnya yang selalu tenang dan percaya diri, meski dibawah tekanan sekalipun.

“Jadi… bagaimana, Senja Maharani? Apakah kamu sudah mempertimbangkannya dengan matang?” Tanya Sadewa sambil menyandarkan dagunya di telapak tangan.

Maha, disisi lain, tampak gelisah. Tangannya bergetar. Suasana dalam ruangan yang mewah dan penuh kesan elegan, dengan cahaya lampu yang hangat dan jendela besar yang menampilkan langit malam yang gelap, tak mampu meredakan ketegangan nya. Ia merasakan jantungnya berdegup kencang, mengalahkan suara deru mesin pendingin ruangan yang berhembus lembut. Bahkan menatap Sadewa, pun terasa seperti tantangan besar, apalagi mendengarkan pertanyaan itu.

“Jika kamu menerima tawaran saya, akan ada bayaran setimpal yang bisa kamu dapatkan, bagaimana?” Lanjut Sadewa, senyum tipis mengembang di wajahnya. Suaranya begitu tenang, namun dibalik itu ada nada yang mengundang. Seperti janji yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Maha mengerut keningnya, perasaannya menjadi bingung bercampur ragu semakin menguasai pikirannya. Kata-kata Niken yang sempat ia dengar kembali terngiang jelas di telinga nya. “Kalau dipikir-pikir, dia pasti kasih kamu kompensasi, Maha. Nggak mungkin, dong, dia minta bantuan dari kamu tanpa imbalan apa-apa?” namun, benarkah ini pilihan tepat untuknya?

Setelah beberapa detik merenung, Maha memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya untuk menatap Sadewa yang tengah duduk santai di kursinya. Mata pria itu penuh dengan ketenangan dan kepercayaan diri hampir tak terbantahkan. Saat Sadewa tersenyum, entah mengapa hati Maha merasa seperti ada keajaiban yang menyelinap masuk kedalam hatinya. Sadewa yang biasanya dingin dan misterius, kini tersenyum padanya. Senyuman itu, meski dingin, memiliki kekuatan yang sulit untuk diabaikan.

“Ini kontraknya, kamu bisa baca dulu. Silahkan duduk.” ucap Sadewa, sambil mengulurkan sebuah berkas yang terlipat rapi kearah Maha.

Maha mengangguk pelan dan berjalan menuju kursi tamu didepan meja besar yang terbuat dari kayu gelap itu. Tangan Maha terasa kaku, gemetar saat ia meraih berkas itu. Rasanya seperti ada beban yang semakin berat di pundaknya. Dengan hati-hati, ia membuka lembar demi lembar kontrak itu. Matanya terpaku pada setiap kata yang tertulis dan berusaha mencerna dengan teliti.

Tiba-tiba matanya terbelalak. Angka yang tertera di atas kertas itu membuat dadanya terasa sesak. Nominal yang akan ia terima—itu lebih besar dari yang bisa ia bayangkan.

Huh, dua ratus juta, satu bulan?! Teriak Maha dalam hati. Namun, ia berusaha keras untuk tetap terlihat tenang di depan Sadewa. Uang yang luar biasa, sebuah jumlah yang mampu mengubah hidupnya, menawarkan kemewahan dan kenyamanan yang selama ini hanya bisa ia impikan.

Bibir Maha terkatup rapat, menahan segala reaksi yang hampir meluncur dari mulutnya. Hanya matanya yang sedikit membelalak, menyiratkan keterkejutannya.

Sementara Sadewa yang duduk di kursi, pun menatap Maha dengan penuh perhatian. Senyumnya tetap mengembang, seolah mengetahui apa yang akan terjadi.

“Bagaimana?” Tanya Sadewa, suaranya terdengar datar namun penuh dengan ketegangan yang tersimpan. Ia tahu keputusan Maha sekarang sangat krusial.

Hati Maha bergolak, tapi ia mencoba menenangkan dirinya. Dengan tangan yang masih sedikit gemetar. Ia meraih bolpoin yang terletak diatas meja. Tanpa banyak basa-basi, Maha mengarahkan bolpoin itu ke kontrak yang terbuka di depannya. Dalam sekejap, ia menandatanganinya, seolah melangkah kedalam dunia yang sama sekali baru, dunia yang penuh dengan iming-iming kekayaan. Namun, juga misteri yang menanti diujung jalan.

Sadewa memperhatikan Maha dengan seksama, mengamati setiap gerakannya. Ketika suara bolpoin yang menorehkan tanda tangan itu pecah dalam keheningan ruangan, Sadewa merapatkan bibirnya untuk menahan sebuah senyum kemenangan di wajahnya.

Apa saya bilang? Maha jelas akan menerimanya, lagipula siapa yang akan menolak nominal yang saya berikan? Pikirnya dengan penuh kemenangan.

“Saya menerima perjanjian ini, bukan karena tergiur dengan nominal yang Anda tawarkan pada saya ya, Pak. Tapi karena saya tidak ingin Anda memotong gaji saya begitu saja,” ucap Maha, suaranya sedikit gemetar meskipun ia berusaha menjaga ketenangan nya. Dengan penuh keyakinan, ia berdiri menatap Sadewa, memastikan ia tak terlihat lemah dihadapannya.

Sadewa hanya mengangguk, ekspresinya tetap datar. “Terserah kamu saja. Saya hanya membutuhkan kontrak ini saja, dan saya tidak peduli apa alasanmu,” jawabnya singkat, matanya tetap tajam menatap Maha.

Maha merasakan amarah yang semakin menggelegak di dalam dirinya, saat mendengar jawaban yang dingin itu. Namun, ia berusaha menahannya. Tidak ingin memperpanjang percakapan yang membuatnya semakin sesak, ia pun berbalik dan melangkah cepat ke pintu. Setiap langkahnya terasa berat, tapi ia tahu tidak ada jalan mundur.

Begitu pintu terbuka, Maha melangkah keluar dengan cepat, meninggalkan ruangan yang penuh dengan hawa yang dingin itu tanpa sepatah kata. Sesampainya di luar, Maha menghela nafasnya. Keputusan yang baru saja ia buat terasa begitu berat, jauh melampaui logika yang biasa ia pegang. Rasanya seperti ada bagian dari dirinya yang tergadai.

Apakah harga diri ini harus ditebus dengan uang? Pikirnya. Namun, Maha segera menepisnya.

Hidup di ibukota bukanlah hal yang mudah dan kadang-kadang, uang menjadi satu-satunya alat untuk bertahan. Dengan tawaran sebesar itu, setidaknya Maha bisa menikmati hidupnya sedikit lebih leluasa. Satu tahun, hanya satu tahun dan ia bisa menyelesaikan masalah finansial nya.

Maha berhenti sejenak di koridor, merasakan angin malam yang dingin menyentuh kulitnya. Dunia luar terasa sangat berbeda, namun ia tahu, inilah pilihan yang ia buat. Dunia di luar sana tidak memberinya banyak pilihan, dan terkadang untuk bertahan, seseorang harus membuat keputusan yang tidak selalu diinginkan.

1
Bunda Mimi
thor bab 21 dan 22 nya kok sudah tidak ada ya
Bunda Mimi: ok siap thor
Lucky ᯓ★: terimakasih atas dukungannya kak, dan mohon maaf jika nanti update ulang dengan isi yang sama. aku revisi karena biar lebih nyaman untuk dibaca, juga ini saran dari editor saya
total 4 replies
Wayan Sucani
Luar biasa
Wayan Sucani
Rasanya berat bgt
catalina trujillo
Bikin ketawa sampe perut sakit.
Lửa
Ngakak sampai sakit perut 😂
Kiyo Takamine and Zatch Bell
Asiknya baca cerita ini bisa buat aku lupa waktu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!