Naina Hilda, gadis yang selalu menghitung mundur hari pernikahannya harus menerima kenyataan ketika kekasihnya memutuskan hubungan sepihak.
Sang kekasih menemukan tambatan hati yang lain yang menurutnya lebih sesuai dengan standarnya sebagai seorang istri yang pantas digandeng tangannya ketika kondangan.
"Maaf, Na. Perasaanku ke kamu, hambar."
Dua pekan sebelum ijab kabulnya terucap dengan sang pria.
Tenda dan katering sudah di pesan bahkan dibayarkan, untung saja undangan belum sempat disebar. Namun, bukan itu yang membuat tingkat stres Naina meningkat hingga ia lampiaskan pada makanan.
Naina baru tahu ternyata mantan tunangannya memiliki kekasih dengan spek idaman para pria. Tinggi, putih, langsing, glowing, shining, shimmering, splendid.
Apa kabar dengan Naina yang kusam, jerawatan dan gendut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisyah az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai Berisi
"Tidak mau mampir dulu, Nak Arga?"
"Terimakasih, Bu. Mungkin lain kali saja," tolak Arga pada bu Linda.
Arga segera memasuki mobilnya setelah sedikit menunduk. Ia juga sempat melambaikan tangannya sebelum range rover yang dikendarainya melesat dari hadapan bu Linda dan Naina yang berwajah masam.
"Kamu kenapa, Na? Apa nak Arga berlaku tidak sopan?" Sang ibu menatap putrinya iba.
"Pak Arga, baik," jawab Naina sekenanya.
Naina tidak ingin membagi apa yang dilihatnya di jalan. Sudah cukup keluarganya terluka. Biarkan Naina sendiri yang akan mengatasi masalahnya dengan Ivan tanpa melibatkan keluarganya lagi.
"Cerita sama ibu, dong!" Bu Linda memaksa, mengikuti langkah putrinya ke dalam kamar. Karena wajah murung putrinya.
"Kenapa?" tanyanya berulang.
Di dalam kamar Naina baru bisa memeluk ibunya. Isaknya tertahan. Tangisnya bukan karena Naina cemburu Ivan menggandeng wanita yang lebih cantik. Lebih pada marah, karena Ivan masih bisa tertawa setelah menabur luka pada keluarganya.
"Jika ada masalah jangan dipendam sendiri, ceritakan pada ibu. Kita hadapi bersama-sama."
"Beneran gak papa, Bu." Naina mengurai pelukan.
"Naina cuman merasa jadi adik yang egois. Saat kak Karina mengalami musibah, Naina malah senang-senang." Naina menunduk. Semoga alasannya kali ini bisa dimengerti ibunya. Meskipun dalam hati Naina, ada perasaan bersalah.
"Kamu juga sedang mengalami musibah, Na. Ibu memaklumi jika kamu ingin sedikit melonggarkan napasmu. Karina punya Dewa yang selalu ada di sisinya."
Hati Naina sedikit tenang mendengar ucapan ibunya. Namun tidak bertahan lama. Hal lain kini terlintas di benaknya.
"Bu?" panggil Naina.
"Gimana jika setelah ini para tetangga menggunjing pernikahanku yang gagal? Kasihan kak Karina, jika harus mendengar hal itu, dia bisa makin tertekan," ujar Naina.
Helaan napas terdengar dari bu Linda. Ia mengerti kegelisahan putrinya.
"Ibu sudah membicarakannya dengan Dewa. Ia ingin membawa serta istrinya keluar kota. Biar bisa langsung memantau kesehatannya."
Naina tersenyum lega. Dia tahu seberapa besar cinta Dewa pada Karina. Naina berjanji akan membuat Ivan membayar apa yang sudah terjadi pada kakaknya. Meskipun saat ini Naina belum tahu caranya bagaimana.
*****
Seusai makan malam, Naina bergegas menuju kamar. Sedangkan yang lainnya masih duduk-duduk bercanda sambil nonton tv.
Gambaran wanita yang digandeng Ivan terus melekat di pelupuk mata. Putih, langsing dan wajah selicin porselen. Naina membandingkan dirinya di depan cermin. Jelas berbanding terbalik dengannya.
Naina pikir, Ivan mencintainya tanpa memandang fisik. Ternyata sama saja, Ivan meninggalkannya untuk yang lebih licin. Naina ingin berubah, bukan untuk orang lain, setidaknya untuk dirinya sendiri.
Ia meraih gadgetnya, menggulir layar mencari tutorial-tutorial merawat wajah. Naina yang dulu mengabaikan perawatan wajah, mengumpulkan uang sebagai modal nikah. Tidak untuk sekarang, Naina akan menggunakan uang itu untuk menyenangkan hatinya.
"Dek, sekarang wajahmu berjerawat." Protes Ivan saat itu tak dihiraukan Naina. Ia hanya menjawab stres pekerjaan meningkatkan hormon esterogen sebagai memicu jerawat.
"Badanmu sekarang jadi berisi, ya, Dek?" tanya Ivan di pertemuan lainnya.
"Itu karena mulutku buat makan, Kak. Bukan ghibahin orang."
Selalu saja ada alasan yang Naina kemukakan. Dia tidak menyadari adanya sinyal yang sudah lama Ivan berikan.
Jika sudah begini mau menyalahkan siapa? Pria memang selalu tertarik pada yang memanjakan mata. Sejak kapan tepatnya Ivan berpaling pada gadis lain.
*****
Selepas sholat shubuh, Naina tak kembali tidur seperti sebelumnya. Ia memilih menyiapkan baju training untuk dikenakannya pagi ini. Tekadnya sudah bulat, Naina akan mengurangi berat badannya seperti dua tahun yang lalu.
"Tumben," celoteh Karina. Ia terbiasa setiap pagi melakukan peregangan di teras rumah sendirian. Hari ini Dewa sang suami menemaninya.
"Aku ingin hidup lebih sehat," jawab Naina sambil mengikat tali sepatunya.
Ada sedikit penyesalan di hatinya ketika ia dulu selalu menolak ajakan Karina untuk olahraga. Kini ia memastikan tidak akan ada penyesalan yang datang terlambat lagi.
"Pulangnya belikan bubur ayam, ya. Pakai duit kamu dulu nanti aku ganti," teriak sang kakak setelah Naina mulai meninggalkan halaman rumah.
"Oke!" Naina menyetujui.
Baru lima menit Naina berlari, napasnya sudah terengah-engah. Ternyata sulit membangun kebiasaan baik yang pernah ditinggalkan dengan alasan lelah karena bekerja.
Naina hanya mengistirahatkan tubuhnya sebentar sebelum akhirnya kembali berlari. Ia memaksakan diri meninggalkan kemalasan yang sudah satu tahun terakhir menemaninya.
"Mayra!" Panggil Naina setelah berdiri di depan rumah sahabatnya.
Dari pintu menyembul gadis cantik menggunakan celana training hitam dan atasan kaos putih yang sedikit longgar. Rambut panjangnya dikuncir kuda. Kedua gadis itu sudah janjian melalui pesan sebelumnya.
Mereka mulai berlari menyusuri jalan yang masih berembun. Meski kadang berhenti sejenak untuk mengambil napas.
"Kamu tahu siapa gadis itu?" tanya Mayra disela istirahat mereka. Naina menggendikan bahu. Wajah gadis itu langsung Naina hapal, ia pasti akan mengenalinya jika suatu saat bertemu lagi.
"Bagaimana caramu balas dendam, siapa dia juga kamu tak tahu." Mayra penasaran.
Yang ia tahu Naina adalah gadis baik hati dan tak akan menyakiti siapapun. Kini Naina Membicarakan balas dendam yang membuat kening Mayra mengerut.
"Menjadi diriku yang lebih bahagia ketika tidak bersamanya," ucap Naina penuh tekad.
"Aku tidak akan mengotori tanganku untuk membalas perbuatannya. Cukup menyiksanya dengan penyesalan," imbuh Naina kemudian.
Mayra mengacungkan dua ibu jarinya pada Naina. Ia bangga pada sahabatnya. Meskipun Naina dicampakkan pada saat yang tidak tepat, ia tetap berpikir dengan positif.
"Aku dengar kamu kemarin pergi dengan pak Arga, ya?" Mayra menampakan wajah suram. Ia menyukai atasan kantornya sejak lama. Bahkan sebelum Naina bekerja di sana, sayangnya ia hanya bisa memendam tanpa bisa mengutarakannya.
"Iya."
"Kalian ngapain aja?"
Alis Naina saling mendekat karena pertanyaan sahabatnya. Pertanyaan ngapain aja terasa kurang tepat di telinganya. Memang apa yang bisa dilakukan atasan dan pegawainya.
"Gak ngapa-ngapain. Kami hanya membicarakan sketsa iklan untuk kenalannya. Makanya pak Arga ngajak bicara di luar, karena itu bukan project kantor."
"Terus?"
"Ya, aku, ambil. Lumayan duitnya buat beli skincare."
Mayra menyenggol bahu sahabat yang duduk di sebelahnya. Patah hati tidak selalu berdampak buruk. Banyak kemajuan positif dari sahabatnya. Semoga Naina Istikomah dengan tujuannya.
"Berapa Pak, semuanya?" tanya Naina pada penjual bubur ayam setelah pesanannya selesai di buatkan.
"Semuanya lima puluh ribu, Neng. Harga cuma naik dikit dari tahun kemarin. Neng Naina sih, lama gak mampir ke warung bapak."
Naina tersenyum polos. Pak Ahmad ternyata mengingat terakhir kali ia datang langsung untuk membeli dagangannya.
"Sibuk, Pak.'' Naina mencoba memberi alasan logis yang sebetulnya hanya mager. "Terimakasih, Pak."
"Iya, Neng. Sami-sami."
"Kita lari lagi kan?" tanya sang sahabat setelah menerima satu bungkus bubur ayam gratis dari Naina.
"Naik angkot saja, aku capek!"
Eh, busyet.
BERSAMBUNG....