Seseorang itu akan terasa berhaga, manakala dia sudah tak lagi ada.
Jika itu terjadi, hanya sesal yang kau punya.
Karena roda kehidupan akan terus berputar kedepan.
Masa lalu bagai mimpi yang tak bisa terulang.
Menggilas seluruh kenangan, menjadi rindu yang tak berkesudahan.
Jika ketulusan dan keluasan perasaanku tak cukup untuk mengubah perasaanmu, maka biarlah ku mengalah demi mewujudkan kebahagiaanmu bersamanya, kebahagiaan yang telah lama kau impikan. -Stella Marisa William-
Sungguh terlambat bagiku, menyadari betapa berharganya kehadiran mu, mengisi setiap kekosongan perasaanku, mengubah setiap sedihku menjadi tawa bahagia, maaf kan aku yang bodoh, maafkan aku yang telah menyia nyiakan perasaan tulusmu -Alexander Geraldy-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Akhirnya, disinilah kini mereka berada, palu hakim sudah di ketuk, yang artinya perpisahan mereka kini nyata adanya, Alex lagi lagi hanya terdiam membeku, tak ada tawa bahagia atau bahkan tangis kesedihan, wajahnya datar tak menunjukkan ekspresi apapun, yakin bahwa dirinya sendiri lah yang menjadi penyebab utama perpisahannya dengan Stella.
Usai keluar dari ruang gedung pengadilan, Alex masih menangis sendiri didalam mobilnya, tangis penyesalan yang begitu sedih dan memilukan, membayangkan ketegaran hati Stella yang lebih memilih berpisah darinya, agar Alex bisa kembali pada wanita yang dicintainya.
Sementara hak asuh sama sekali belum mereka bicarakan, tak bisa Alex bayangkan bagaimana nanti hidupnya tanpa istri dan anaknya, seharusnya dialah yang bertanggung jawab pada mereka, tapi kini mereka bahkan tidak bisa bersama.
Stella bahkan masih tinggal di rumah mereka, hanya Alex yang keluar dari rumah, Alex memilih tinggal di ruang kerjanya, menghukum dirinya disana, berharap dapat kata maaf dari istrinya pun percuma, karena Stella sudah sangat bulat pada keputusannya.
Anindita?
Ah entahlah, kini bahkan melihat namanya saja, membuat Alex bad mood mendadak, masih dengan tangis yang ia simpan seorang diri, Alex larut dalam kesedihan dan lagi lagi, alkohol sebagai pelampiasannya.
Ia minum cukup banyak hingga membuatnya benar benar kehilangan kesadaran.
Sementara itu, Stella kini tengah sibuk menyiapkan kepindahannya dari rumah yang ia tempati selama menikah, dia tidak peduli, apapun yang terjadi Stella sudah membulatkan tekadnya, bahwa dirinya akan memulai hidupnya yang baru, jauh dari mantan suaminya,melanjutkan kembali impiannya yang tertunda.
Langkah pertama yang ia tempuh adalah, kembali dulu kerumah keluarganya, disana kakak sulungnya tinggal bersama keluarga kecilnya, kesibukannya mengurus dua rumah sakit besar membuat Stella jarang berjumpa dengan Richard kakak sulungnya.
Beberapa saat sebelum putusan sidang dijatuhkan, Richard sempat berkomunikasi dengannya, Richard begitu murka mendengar kisah perceraian adik kesayangannya, dia sangat terpukul, pasalnya sebelum papa nya berpulang, Richard di beri amanat untuk menjaga Stella adik perempuan satu satunya, tapi nyatanya ia adalah orang terakhir yang diberi kabar oleh pengacara keluarganya mengenai perceraian Stella dan Alex.
Stella menatap sedih beberapa koper yang akan ia bawa bersama nya, biar bagaimanapun Stella merasa sangat bahagia dalam rumah tangganya yang singkat, walaupun pada akhirnya dia harus merasakan sesak yang teramat sangat, ia pernah tertawa bahagia, sebagai istri, merasakan kebanggaan sebagai seorang ibu, serta menantu yang sangat disayangi oleh keluarga besar suaminya.
Bulir bening itu menetes dari kelopak matanya, kini kisah Alex dan Stella harus ia tutup untuk selamanya, begitupun luka hatinya, harus segera di sembuhkan.
Stella terkejut manakala ada suara mobil memasuki pekarangan rumahnya, apakah Alex yang datang? bukankah sudah beberapa hari ini Alex pulang ke apartemennya? ada hal apa gerangan hingga Alex memutuskan datang kemari? ah pasti ia rindu si kembar, Stella terus bermonolog.
Stella membenahi baju rumahan yang ia kenakan, agar terlihat rapi dan tidak menarik perhatian, bukan apa apa, ia dan Alex sudah bukan suami istri lagi, jadi Stella harus mulai menjaga jarak, demi kesehatan hati dan jantungnya.
Stella pun keluar dari kamarnya, disana terlihat Dimas tengah kewalahan membawa tubuh Alex yang bahkan sudah tak mampu berdiri dikakinya sendiri.
"Selamat malam Nyonya, maaf jika saya membawa tuan ke sini, tapi sudah berhari hari tuan seperti ini, tidak makan, tidak mandi, tidak pula bekerja, dia hanya mabuk dan menangis sepanjang hari," Dimas menjelaskan.
"Tolong bawa dia kekamar Dim," Stella meminta bantuan Dimas.
"Baik Nyonya," Dimas mengangguk patuh.
Dimas pun memapah Alex menuju kamarnya.
"Saya permisi Nyonya," Dimas pamit setelah menyelesaikan tugasnya.
"Dimas, bisa bicara sebentar?" Pinta Stella.
Dimas berhenti sejenak, kemudian mengangguk. "Silahkan nyonya."
"Setelah aku pergi, tolong jaga dia untukku, hanya kamu yang bisa kupercaya,"
"Dengan senang hati nyonya, Tuan Alex sudah begitu baik pada keluarga saya, saya sudah berjanji dengan diri saya sendiri, bahwa saya akan setia pada beliau, apapun yang terjadi."
"Terimakasih Dimas," ucap Stella tulus.
"Sama sama nyonya, apa nyonya juga ingin saya melaporkan kondisi tuan pada nyonya?"
Stela menggeleng, senyum pahit tersungging di bibirnya, "Tidak perlu seperti itu Dim, seperti aku yang ingin bangkit dari keterpurukan, aku pun menginginkan kak Alex juga demikian," Stella mengusap air matanya yang mulai mengalir, "Pastikan ia makan, dan istirahat teratur, agar ia bisa kembali merencanakan masa depannya bersama wanita yang ia cintai,"
"Tapi tuan mencintai anda nyonya, saya yakin sekali akan hal itu," ucap Dimas penuh kesungguhan.
Alangkah indahnya jika yang dikatakan Dimas benar adanya, "Tidak Dimas, aku tak ingin berharap, kemudian kecewa, biarlah Alex menemukan jalan hidupnya sendiri, aku tahu pasti Alex begitu memuja kekasihnya, aku pernah membaca sendiri pesan mesra mereka,"
Setelah kepergian Dimas, Stella pun kembali kekamarnya, Alex masih lelap tertidur, ditatapnya wajah pria yang amat di cintainya tersebut, "Takdir kita memang buruk kak, aku pun tak ingin berpisah, tapi bertahan pun tak akan membuatku bahagia, mungkin kita hanya akan saling menyakiti," Stella duduk disisi tempat tidur dan menumpahkn tangis sedihnya, satu persatu ia melepas kancing kemeja Alex, masih dengan wajah bersimbah air mata.
Dengan menggunakan handuk basah, disekanya wajah dan tubuh bagian atas suaminya, Alex kelihatan tak terurus, wajahnya kusam, dan jambang tumbuh di sekitar rahang dagu dan lehernya.
"Kakak harus sehat, dan mulai belajar mengurus diri sendiri, aku akan sangat bahagia melepasmu, jika kakak juga bahagia bersama wanita yang kakak cintai,"
Alex seolah mendengar apa yang Stella katakan, tiba tiba ia membuka matanya, tangannya terulur mengusap pipi Stella, "kalau begitu jangan pergi, dan tetaplah disisiku, aku akan sangat bahagia bila bersamamu."
Stella tahu Alex masih setengah sadar, terlihat dari pandangan Alex yang masih sayu, dan suaranya yang terdengar lirih,"maafkan kebodohanku, maafkan aku yang tidak bisa melihat ketulusan hatimu, kumohon kembalilah padaku," sesudahnya tangan Alex kembali terjatuh, bersamaan dengan jatuhnya air mata Stella.
"Bagaimana aku membalasmu, jika belum apa apa kamu sudah menyerah, aku ingin balas dendam padamu, aku juga bisa menemukan pria yang akan mencintaiku dengan tulus, kamu juga Harus menyaksikan kebahagiaanku bersamanya, agar aku puas membalasmu, kamu paham?"
Namun tentu saja alex tak mendengar itu semua.
Stella terduduk di lantai dan memeluk lututnya. tangisan sedih ia tumpahkan semua saat ini juga, karena esok ia tak ingin lagi menangisi kegagalan.
Alex telah memberinya pelajaran berharga, bahwa mencintai bisa terasa begitu menyakitkan, namun sungguh Stella tak pernah menyesal karena mencitai pria itu.