Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Lampu redup, musik jazz lembut dan aroma alkohol bercampur tembakau langsung menyambut Aditya ketika ia masuk ke dalam bar. Beberapa orang menatapnya sekilas, mengenali sosok pewaris muda keluarga Wiranegara, namun tak berani menyapa.
Aditya duduk di kursi bar paling ujung.
“Tolong berikan aku whisky. Satu botol penuh,” ujarnya singkat pada bartender dan membuat bartender itu sempat tertegun.
“Tapi pak, biasanya Anda hanya—”
“Aku bilang, tolong berikan aku whisky, satu botol penuh.” ulang Aditya dengan tajam.
Tanpa banyak bicara, bartender itu menyerahkan botol whisky dan gelas bersih di depannya.
Aditya menuang whisky itu ke dalam gelas hingga hampir penuh, lalu meneguknya tanpa pikir panjang. Rasa panasnya langsung menyambar tenggorokan, membuat dadanya terasa seperti terbakar. Tapi sensasi itulah yang justru membuatnya merasa sedikit lebih hidup.
Satu teguk. Dua teguk. Tiga.
Setiap kali alkohol itu mengalir, wajah Reina muncul di pikirannya.
Wajah cantik gadis itu ketika menatapnya dengan senyum penuh harap. Tangan mungilnya yang selalu sibuk menyiapkan gorengan sambil bercanda kecil. Mata beningnya yang berbinar setiap kali berbicara tentang mimpi sederhana, mimpi yang ingin punya kedai sendiri, punya rumah kecil, dan hidup bahagia bersamanya.
Dan kini, semua itu terasa semakin jauh, seolah ditelan jurang antara dunia mereka.
Aditya menunduk, menatap bayangan wajahnya di permukaan meja bar yang berkilau.
“Kalau aku kehilangan Reina, aku nggak tahu apa aku masih bisa hidup seperti biasa,” gumam Aditya lirih.
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Aditya, nyaris seperti doa yang terperangkap di antara suara musik yang pelan.
Ia memejamkan matanya, menggigit bibirnya yang masih terasa nyeri akibat tamparan ayahnya tadi. Tanpa terasa air mata nyaris jatuh membasahi pipi Aditya, tapi ia tahan dengan genggaman keras di gelas.
“Tidak,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku nggak akan menyerah. Aku nggak akan melepaskan Reina. Apa pun yang terjadi.”
Waktu berjalan lambat. Alkohol mulai menguasai tubuh Aditya, membuat pikirannya melayang-layang antara kesadaran dan amarah. Di ujung bar, dua orang pemuda duduk sambil mengobrol pelan. Suara mereka terdengar samar di telinga Aditya, tapi cukup jelas untuk membuatnya menoleh sedikit.
“Hei, jadi seriusan lo mau nikah minggu depan?” tanya salah satu pemuda dengan nada tak percaya.
Pemuda satunya tertawa kecil sembari mengangkat gelasnya.
“Serius. Nggak nyangka juga sih, tapi akhirnya bokap-nyokap gue nyerah juga. Mereka setuju merestui hubungan gue sama cewek gue.”
“Gila, padahal dulu mereka yang paling keras nolak hubungan lo sama cewek lo, kan?”
“Iya,” sahut pemuda itu dengan santai. “Tapi lo tahu sendiri kan, cara paling cepat biar orang tua lo nggak bisa nolak?”
Temannya menaikkan alis.
“Maksud lo?”
Pemuda itu tersenyum kecil, lalu meneguk minumannya.
“Ya tentu aja bikin dia hamil duluan.”
Temannya terdiam beberapa detik, lalu nyaris tersedak oleh minumannya sendiri.
“Lo becanda?!”
“Serius.”
Suara tawa pelan terdengar.
“Gue tau kedengerannya gila, tapi bokap-nyokap gue tipe orang yang lebih peduli sama nama baik keluarga. Jadi begitu tau pacar gue hamil, mereka langsung panik dan setuju nikahin kita sebelum orang lain tau.”
Temannya menggeleng tak percaya.
“Dan lo bener-bener tega ngelakuin itu sama cewek lo?”
Pemuda itu tertawa pendek.
“Gue cuma ngelakuin apa yang perlu gue lakuin buat dapetin dia. Sekarang, gue bisa hidup bareng cewek yang gue cinta. Dan orang tua gue nggak bisa berbuat apa-apa.”
Percakapan itu berhenti di situ, tapi bagi Aditya, setiap kata dari dua orang asing itu terasa seperti pisau yang menusuk ke dalam pikirannya.
Bikin dia hamil duluan supaya nggak bisa ditolak.
Kalimat itu terus menggema di kepala Aditya. Tangannya mengepal di atas meja. Jantungnya berdegup cepat, bukan karena alkohol, tapi karena sesuatu yang baru saja terpikir dalam pikirannya, sesuatu yang berbahaya, tapi terasa seperti jalan keluar.
Aditya menatap kosong ke depan. Suara tawa dari meja sebelah terasa jauh. Ia menunduk, dan menatap gelasnya yang kosong.
“Kalau Reina mengandung anakku, ayah dan ibu tidak akan bisa menentangnya lagi,” bisik Aditya pada dirinya sendiri.
Logikanya berteriak bahwa itu gila. Bahwa ia tidak boleh melibatkan Reina dalam keputusan yang lahir dari amarah. Tapi hati dan pikirannya sedang tidak sejalan. Alkohol telah menumpulkan sisi rasionalnya. Yang tersisa hanyalah keinginan untuk mempertahankan cinta dengan cara apa pun.
Aditya menatap ke arah pintu bar, lalu berdiri pelan, menatap bartender yang menunduk hormat.
“Kirimkan semua tagihanku kepada asistenku.” ucapnya singkat.
Lalu ia keluar dari bar itu, menembus dinginnya malam dengan langkah yang mantap tapi mata yang kelam.
Beberapa jam kemudian, Aditya berhenti di depan sebuah apotek yang buka 24 jam. Ia memarkir mobilnya, lalu turun dengan langkah cepat. Wajahnya masih sedikit merah, tapi sorot matanya masih fokus, terlalu fokus untuk seseorang yang baru saja menenggak alkohol.
Petugas apotek itu menatapnya agak gugup ketika pria berpakaian jas mahal dengan aura dingin itu berjalan mendekat ke meja kasir.
“Saya butuh sesuatu,” kata Aditya singkat.
“Baik, Pak. Ada resepnya?”
“Tidak perlu resep. Saya hanya butuh obat herbal atau suplemen yang bisa membantu meningkatkan kesuburan wanita.” ucap Aditya yang nada suaranya terdengar tenang, tapi setiap kata terdengar sangat jelas.
Petugas apotek itu sempat tertegun.
“Kesuburan wanita, Pak?”
“Ya,” jawab Aditya datar, menatap langsung ke matanya. “Yang paling manjur yang kalian punya.”
Petugas itu buru-buru mencari obat yang diminta oleh Aditya di rak belakang, lalu menyerahkan beberapa kotak suplemen vitamin kesuburan wanita kepada Aditya.
“Ini, Pak. Biasanya digunakan untuk program kehamilan.”
Aditya menatap labelnya sekilas, lalu mengangguk.
“Ambilkan semuanya.”
“Semua, Pak?”
“Ya. Semua.”
Petugas itu tak berani bertanya lagi. Setelah membayar, Aditya mengambil kantong berisi obat-obatan itu dan melangkah keluar. Begitu duduk di dalam mobil, ia menatap barang-barang itu cukup lama sekali.
Tangan kanannya menggenggam kantong kertas itu dengan erat, sementara tangan kirinya memegang kemudi.
Di dalam kepalanya, suara-suara mulai saling beradu, antara logika dan rasa sakit.
“Kalau ini satu-satunya cara agar mereka berhenti memisahkan aku dengan Reina,” gumam Aditya lirih, “Maka aku akan melakukannya.”
Matanya menatap ke depan, kosong, tapi tekad itu sudah bulat di dalam dirinya. Bagi Aditya, dunia ini sudah terlalu sering mempermainkan cintanya dengan aturan yang kejam. Dan malam itu, di tengah sepinya jalan Surabaya, seorang pewaris muda yang kehilangan arah akhirnya memutuskan satu hal bahwa ia akan melawan dunia, meski harus mengorbankan segalanya.
Mobil itu melaju pelan meninggalkan tempat parkir, membawa Aditya ke dalam malam yang lebih gelap dari sebelumnya.
Dan di bawah sinar bulan yang muram, wajahnya terlihat dingin namun pasti.
Karena bagi Aditya Wiranegara, cinta yang lahir dari luka hanya punya dua pilihan yaitu
berjuang sampai akhir, atau hancur bersama waktu.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/