Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Keesokan harinya.
Clara dipindahkan ke kamarnya. Ia berbaring tengkurap di atas ranjang, tubuhnya nyaris tak berdaya. Punggungnya penuh luka cambukan yang masih menganga, sebagian bahkan masih mengeluarkan darah segar.
Bibi Shu dengan hati-hati mengoleskan obat herbal ke luka-luka itu sambil menahan tangis. Tidak ada dokter yang datang, mereka hanya bisa bergantung pada obat seadanya untuk meredakan sakit.
Clara menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan perih yang terasa membakar hingga ke tulang. Kulit putihnya kini penuh bekas luka—jejak penderitaan sejak kecil hingga dewasa.
“Nona, tahanlah sedikit lagi... sebentar lagi selesai,” ujar Bibi Shu pelan, tangannya bergetar saat menyentuh kulit yang sobek itu.
Clara tersenyum lemah. “Bibi, aku tidak apa-apa. Ini bukan pertama kalinya aku terluka. Semua hukuman sudah pernah aku rasakan.”
Bibi Shu menatapnya dengan mata basah. “Nona... bagaimana kalau kita lapor polisi saja? Ini termasuk tindak kekerasan. Semua luka di tubuh nona bisa jadi bukti.”
“Kalau mereka tertangkap... apa yang akan terjadi padaku? Aku juga ingin melaporkan mereka, Bibi. Tapi racun di tubuhku menyerang setiap minggu. Sakitnya...” Ia menarik napas dalam-dalam, menahan gemetar. “Seolah ususku disayat dari dalam. Lebih baik aku terluka di luar daripada tersiksa dari dalam. Racun itu sengaja diberikan agar aku tetap patuh... agar aku tak pernah bisa melawan.”
Bibi Shu menggigit bibir, air matanya jatuh ke seprai yang ternoda darah. “Lalu... nona harus bertahan sampai kapan? Nona masih muda. Walau Tuan Zhou kembali, apakah dia bisa menolongmu?”
Clara memejamkan mata, suaranya bergetar pelan. “Bibi... apa pun yang terjadi, ingatlah ini. Di dunia ini hanya Bibi yang benar-benar baik padaku. Selain Bibi, tak ada seorang pun yang menganggapku manusia.”
Air mata Bibi Shu kian deras, namun ia hanya bisa menggenggam tangan Clara.
“Pa... Ma...” bisik Clara lirih, “Aku sudah cukup menderita. Tunggu aku... sebelum aku pergi menyusul kalian, aku hanya ingin menyelesaikan urusanku dengan Andrian.”
Malam hari.
Clara tertidur dengan wajah pucat, napasnya tersengal. Keringat dingin membasahi pelipis dan lehernya. Ia tampak gelisah, seperti tengah berlari dari sesuatu dalam mimpinya.
“Keluar... keluarkan aku... tolong jangan... aku takut...” gumamnya lirih, bibirnya bergetar, air mata mengalir tanpa sadar dari sudut matanya.
Dalam mimpinya, sosok seorang gadis remaja tampak dikurung di dalam kandang anjing yang sempit dan gelap. Gadis itu menjerit ketakutan, tubuhnya gemetar, kakinya terlipat karena tak cukup ruang untuk berdiri. Suara isak tangisnya menggema, seakan menusuk jantung siapa pun yang mendengar.
“Jangan... tolong jangan...” Clara semakin gelisah, tangannya menggenggam erat seprai, suaranya bergetar di antara tangis yang tertahan.
“Nona!” seru Bibi Shu yang terbangun dan segera berlari masuk setelah mendengar tangisan itu.
Ia menghampiri ranjang dan menepuk pelan bahu Clara. “Nona, bangun! Sadarlah!”
Beberapa saat kemudian, Clara membuka mata. Air mata terus mengalir di wajahnya, napasnya tersengal seolah baru saja keluar dari mimpi buruk yang nyata.
“Nona... apakah mimpi buruk itu lagi?” tanya Bibi Shu dengan suara lembut.
Clara mengangguk, lalu memeluk Bibi Shu erat-erat. “Bibi... aku takut... aku takut dikurung lagi di kandang itu...” suaranya pecah, penuh ketakutan dan trauma yang menahun.
Bibi Shu membelai rambut gadis itu dengan lembut, berusaha menenangkan. “Tenanglah, Nona. Tidak akan terjadi lagi, Bibi janji. Tidak akan ada yang menyakiti nona lagi.”
Clara terus menangis di pelukan Bibi Shu—satu-satunya sosok yang pernah memberinya kasih sayang seperti seorang ibu.
Seminggu kemudian.
Teriakan Clara menggema di lorong saat Jordy dan Jordan menariknya keluar dari kamar. Tubuh lemah itu terseret hingga ke ruang tamu. Begitu tiba, keduanya melepaskannya dengan kasar hingga Clara terhempas keras ke lantai.
Tubuhnya bergetar, luka di punggungnya kembali terbuka. Belum sempat ia bangkit, Sonia—istri James—sudah mendekat sambil membawa segelas air dan sebutir obat kecil berwarna merah.
“Buka mulutnya!” perintah Sonia dingin.
James menunduk dan menjambak rambut Clara, memaksa gadis itu membuka mulutnya. Sonia segera memasukkan obat itu dan menuangkan air ke bibir Clara dengan paksa.
“Uhuk... uhuk!” Clara tersedak hebat, air mengalir dari sudut bibirnya. Ia berusaha meronta, tapi tangannya dikunci erat oleh kedua sepupunya.
James menatapnya dingin. “Clara, malam ini suamimu akan pulang. Kau tahu apa yang harus kau lakukan. Ini kesempatan terakhir. Kalau kau gagal lagi...”
Ia mendekatkan wajahnya, suaranya menurun menjadi bisikan mengancam. “Jangan harap kami akan memberimu penawar.”
Clara menatap mereka satu per satu dengan mata penuh kebencian. Nafasnya berat, tapi suaranya tegas.
“Lebih baik aku mati... daripada harus mengorbankan harga diriku untuk menggoda Andrian. Sekalipun aku harus mati, biarlah aku mati dengan kehormatan," batinnya.
Malam telah tiba.
Clara berdiri di depan wastafel, menatap bayangannya di cermin. Dengan tangan gemetar, ia melepaskan bajunya. Terlihat kulit pucat yang dipenuhi bekas cambukan dan memar berwarna ungu kebiruan.
Matanya merah, wajahnya pucat seperti kehilangan seluruh cahaya hidupnya.
“James Wu, Sonia, Jordy, Jordan...” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Walau Andrian membenciku, aku tidak akan melakukan hal yang mengkhianatinya. Kalian tidak bisa lagi mengancamku... karena aku akan memilih jalanku sendiri. Aku bukan alat untuk kalian.”
Ia menatap dirinya di cermin—rapuh, tapi dengan sisa api kecil di matanya.
Kemudian, tangannya meraih ponsel di atas meja. Layar itu menampilkan sebuah pesan—foto Andrian bersama Lulu di hotel.
“Andrian... setelah bercerai, kau langsung menemui wanita itu?” gumamnya lirih. “Apakah karena dia... kau tak sabar untuk berpisah denganku?”
Ia menekan dadanya yang mulai terasa panas. Efek obat yang dipaksakan tadi mulai bekerja, membuat tubuhnya gemetar dan napasnya tak teratur. Ia menutup matanya rapat, berusaha menahan dorongan aneh yang membakar dari dalam.